Jumat, 30 September 2016

DI MASJID INILAH KHAZANAH SENI MANCANEGARA DITUANGKAN DAN SEJARAH PERJUANGAN INDONESIA DIABADIKAN


Terletak di jalan Ganting nomor 10, kelurahan Ganting, kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Sebuah masjid bernuansa neoklasik eropa masih bertahan kokoh sejak lebih dua abad silam. Namanya Masjid Raya Ganting, itulah masjid tertua di Padang. Kini telah masuk dalam cagar budaya nasional.


Di masjid inilah beragam khazanah seni mancanegara dituangkan. Bilik mukanya bergaya Portugis. Lantai semennya berasal dari Jerman. Lalu tegel yang dipasang kemudian hari berasal dari Belanda. Kubah dan mihrabnya adalah karya anak buah Kapten Lo Chian Ko dari Cina.

Di masjid ini pula, sejarah perjuangan Indonesia diabadikan. Dimulai fungsinya sebagai pemersatu 8 suku di Padang, lalu menjadi pusat dakwah Islam di sumatera tengah pada abad ke-19. Menjelang akhir abad itu atau tepatnya tahun 1895, masjid ini difungsikan pula sebagai embarkasi haji pertama di Sumatera Tengah dengan pemberangkatan dari pelabuhan Teluk Bayur. Kelak memasuki abad ke-20, secara intensif ulama-ulama Minangkabau berkumpul di masjid ini untuk mengurai permasalahan sosial dan politik di negeri ini. Hingga Haji Abdul Karim Amrullah (ayahnya HAMKA) mendirikan sebuah sekolah bernama Thawalib di halamannya, yaitu pada tahun 1921.

Semakin mendekati puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia, fungsi masjid ini semakin kuat. Sebab kemudian dari para alumni sekolah Thawalib itulah muncul wadah untuk semakin memantapkan eksistensi umat yang bernama Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Dari Permi itulah lahir Partai Masyumi yang fenomenal di Indonesia.

Selanjutnya sejarah telah mencatat bahwa di halaman masjid inilah Jambore Nasional Hizbul Wathan yang pertama diadakan pada tahun 1932. Hizbul Wathan adalah kepanduan dari organisasi Muhammadiyah. Selepas hajatan Jambore itu, lapangan masjid ini menjadi markaz perlawanan rakyat kepada penjajah. Selain itu, di lapangan yang luasnya empat kali lipat dari luas masjid tersebut, prajurit Gyugun yang terdiri dari para ulama dan prajurit Heiho yang terdiri dari para santri mendapatkan pelatihan. Bahkan jelang kemerdekaan, Soekarno pernah mengungsi di masjid ini. Oya, satu lagi, masjid ini juga telah menjadi saksi berpisahnya kesatuan tentara Muslim India dari kolonial Inggris yang kemudian bergabung dengan tentara perlawanan pribumi yang seakidah, lalu menyusun strategi bersama di masjid ini untuk mengusir para penjajah.

Inilah masjid fenomenal dalam keindahan arsitekturnya maupun dalam keagungan sejarahnya. Bahkan tidak hanya tertua, namun ia juga telah menjadi rujukan masjid-masjid setelahnya dalam penentuan arah kiblat. Sebab bila masjid-masjid pada umumnya sempat salah dalam arah kiblatnya, masjid ini telah benar arah kiblatnya sejak awal pendiriannya.

Inilah masjid yang dibangun pada tanah wakaf suku Chaniago. Dibangun pada tahun 1805 dengan nama awal Masjid Kampung Gantiang. Ada tiga tokoh masyarakat setempat yang terlibat dalam merintis masjid ini, yaitu Angku Gapuak (selaku saudagar), Angku Syekh Haji Uma (selaku kepala kampung Ganting), dan Angku Syekh Kapalo Koto (selaku ulama). Maka inilah masjid hasil kolaborasi antara saudagar, pemerintah dan ulama.

Bangunannya yang hanya seperlima dari luas tanahnya, telah menyisakan tanah lapang yang banyak bermanfaat bagi kegiatan keumatan. Di tanah lapangnya itulah shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha biasa dilaksanakan. Bahkan pada tahun 2010 ketika bangunan masjid terkena imbas gempa, maka shalat berjamaah dilaksanakan di halaman itu sembari merenovasi beberapa sisi bangunan yang rusak karena gempa. Saat itu renovasi menghabiskan biaya hingga 1,3 miliar rupiah dengan dana dari Bank Mandiri.

Kita patut bersyukur kepada para saudagar Minangkabau di penjuru Sumatera dahulu yang telah mendanai pembangunan masjid ini. Semoga saudagar dan ulama tetap dapat bergandengan tangan, menjadi pilar-pilar kebangkitan umat. Pilar-pilar yang terus mewarisi para Nabi, sebagaimana tercermin dalam 25 tiang masjid ini yang masing-masing tiangnya diterakan kaligrafi setiap nama nabi, dari Nabi Adam alaihissalam hingga Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.


__________
Tim Humas JPRMI, 30 September 2016


Tidak ada komentar: