Solo Touring JPRMI (Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia)
memasuki kota Lhokseumawe pada 7 September 2016. Perjalanan tersebut adalah
rangkaian “Red Dotting Sumatera Island. A. 5.500 KM Solo Touring”. Di pesisir
Barat Laut wilayah Indonesia itu, masih terasa persemayaman ruh kejayaan umat
yang di masa silam pernah menjadi pesona sejarah.
Samudera Pasai, itulah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Di
tanah Aceh, utamanya di Lhokseumawe dan sekitarnya, ia pernah tegak berdiri.
Tidak hanya menjadi pusat umat Islam di nusantara, melainkan juga menjadi pusat
umat Islam di Asia Tenggara.
Di tanah itulah dahulu Marco Polo dan Ibnu Batuthah pernah singgah
saat mengembara ke wilayah nusantara. Marco Polo singgah pada tahun 1292, sementara
Ibnu Batuthah singgah 53 tahun kemudian yaitu tahun 1345. Baik Marco Polo yang
datang dari Eropa maupun Ibnu Batuthah yang datang dari Maroko, keduanya telah
mencatatkan segala kesannya terkait tanah itu dalam lembaran-lembaran
dokumentasi yang mereka tulis. Bahkan dahulu yang menyambut Ibnu Batuthah
adalah Malik As Saleh sendiri selaku Raja Samudera Pasai.
Selain familiar disebut Samudera Pasai, kerajaan itu juga biasa
disebut Samudera Darussalam, artinya tanah yang sejahtera nan berjaya. Pendiri
sekaligus Raja pertamanya adalah Meurah Silu, yang sering disebut dengan
gelarnya Malik as Saleh. Ia mendirikannya pada tahun 1267. Setelah wafat pada
tahun 1297, kerajaanpun dilanjutkan oleh anak tertuanya.
Dahulu, karena padatnya arus perdagangan di wilayah Samudera Pasai,
maka kerajaan itupun mengeluarkan mata uang sendiri dari emas yang disebut
dirham. Maka sungguhlah ia secara nyata menjadi pusat ekonomi, selain juga
tentunya menjadi pusat dakwah. Sebab bila kita sekarang mendapati sebagian
keturunan Kerajaan Batak di Sumatera Utara ada yang memeluk Islam, maka itu
berkat sentuhan para da’i dari Samudera Pasai.
Seiring perjalanan zaman, sangat mungkin pesona-pesona sejarah itu
terkubur oleh lumpur-lumpur kealpaan. Lebih lagi pada tahun 2004 terjadi tsunami
besar yang merendam hampir seluruh wilayah Aceh, tak terkecuali kota
Lhokseumawe. Banyak peninggalan sejarah yang hanyut dan rusak. Termasuk
beberapa pesona-pesona masjid yang berdiri di tanah Serambi Makkah tersebut.
Dengan semangat menyemai kembali ruh kejayaan itulah, pemerintah
setempat menuntaskan pembangunan Islamic Center Kota Lhokseumawe yang memiliki
luas 16.475 meter persegi. Islamic Center itu sendiri sebenarnya sudah dimulai
pembangunannya pada tahun 2001, dengan membangun Masjid Agung-nya sebagai
bangunan utamanya. Lalu pasca Tsunami, pembangunan itu disempurnakan hingga
menghasilkan pesona baru zaman kini.
Maka tidak heran bila ada yang berkunjung ke Kota Lhokseumawe,
salah satu tempat utama yang dihampiri adalah Islamic Center tersebut dengan
Masjid Agung-nya yang mempesona. Masjid tersebut memang unik, karena bercorak
timur tengah. Dengan delapan kubah besar bermotif warna biru, menjadikan masjid
tersebut seperti masjid-masjid di Turki bila dipotret dari seberang sungai.
Masjid tersebut berada tepat di pusat kota Lhokseumawe. Tepatnya di
Jl. Tengku Hamzah, Bendahara – Simpang Empat, Kecamatan Banda Sakti, Kota
Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Konstruksinya terdiri dari tiga lantai,
dengan dua lantai sebagai tempat shalat. Adapun lantai paling bawah merupakan
tempat parkiran. Dua lantai untuk shalat itu dapat menampung kurang lebih 9000
jamaah, dengan perkiraan 6000 jamaah di lantai satu dan 3000 jamaah di lantai
dua.
Adapun gedung-gedung selain Masjid Agung yang berada dalam komplek
Islamic Center tersebut adalah Gedung Serba Guna, Gedung Pustaka, Gedung Sekolah,
Gedung Museum atau Rumoh Aceh, Gedung Wisma Tamu, rumah Imam Besar, serta
beberapa Kios Makanan dan Soevenir. InsyaAllah di areal Islamic Center Kota
Lhokseumawe tersebut, akan kembali disemai ruh kejayaan umat. Ruh keberagamaan
dan keilmuan yang akan melekat di setiap jiwa-jiwa yang menghampirinya.
__________
Tim Humas JPRMI, 27 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar