Bismillahirrahmaanirrahiim, demikian lahfadz yang selalu kita tutur sebagai adab memulai segala kebaikan dalam hidup ini. Artinya; dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ar Rahman dan Ar Rahim; itulah dua nama Allah dalam rangkaian awal asmaul husna.
Dua asma mulia itulah yang juga tersemat pada masjid-masjid istimewa di Serambi Makkah, Aceh. Masjid Baiturrahman merupakan masjid raya di pusat kota Banda Aceh, sementara Masjid Baiturrahim merupakan masjid raya di pesisir barat wilayah Aceh yaitu Ulee Lheue. Keduanya sama-sama kokoh ketika tsunami menerjang pada penghujung 2004. Keduanya sama-sama istimewa bagi penduduk Aceh bahkan para wisatawan yang datang ke Aceh. Keduanya memang memiliki ikatan sejarah, yang menyerasikan namanya menjadi Baiturrahman dan Baiturrahim.
Ceritanya, dahulu ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda, maka para jamaahnya menyelenggarakan shalat Jumat di masjid daerah Ulee Lheue itu. Kala itu, namanya Masjid Jami’ Ulee Lheue. Itulah masjid kayu dengan satu kubah yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh pada abad ke-17, antara tahun 1607 hingga tahun 1636 M. Tanah tempat dibangunnya merupakan wakaf Teuku Hamzah selaku hulubalang daerah itu. Jadilah masjid itu mulanya merupakan masjid Kesultanan Aceh.
Nah, sejak digunakan sebagai alternatif shalat Jum’at bagi jamaah Masjid Baiturrahman, maka dinobatkanlah Masjid Jami’ Ulee Lheue itu dengan nama baru Masjid Baiturrahim. Hingga kini kita bisa mendapatinya di kecamatan Meuraka, Banda Aceh. Tepatnya menjelang pelabuhan Ulee Lheue, tidak jauh dari pantai Ulee Lheue.
Masjid kayu ini kemudian dipugar lebih permanen dengan batu bata dan semen, namun tanpa besi penyangga. Pemugaran ini dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922. Hasilnya sebuah bangunan megah bergaya eropa dengan kapasitas 500 orang.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, masjid ini sempat dikembangkan lagi pada tahun 1981 hingga dapat menampung 1500 orang atau tiga kali lipat dari sebelumnya. Pengembangan ini dilakukan pada sisi kanan dan kirinya, dengan menggunakan bantuan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Tapi dua tahun setelah itu, gempa besar menggoncang bumi Aceh, hingga meruntuhkan kubahnya. Sejak tahun 1983 itulah Masjid Baiturrahim tak berkubah sampai sepuluh tahun kemudian. Karena pada 1993, Masjid Baiturrahim kembali direnovasi secara keseluruhan.
Memasuki abad 21, dua kali tanah sekitar masjid ini dilanda bencana. Pada tahun 2001, banjir besar melanda kawasan masjid tersebut. Lalu pada 26 Desember 2004, gempa sekaligus tsunami setinggi 21 meter menerjang Aceh hingga semuanya rata kecuali masjid ini. Begitu dahsyatnya tsunami menyapu wilayah tersebut sampai kapal PLN yang baru saja diresmikan terlempar hingga teronggok di pusat kota Banda Aceh. Tapi masjid ini tetap tegak berdiri, sungguh Maha Besar Allah.
Setelah sekian kali renovasi, Masjid Baiturrahim kini tetap tampak megah. Ia masih gagah menghadap Samudera Hindia. Wisatawan mengenalnya sebagai zero point tsunami. Bahkan saat Solo Touring JPRMI (Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia) mengunjunginya, masjid ini sedang direnovasi dengan penambahan payung elektrik di halamannya seperti payung-payung Masjid Nabawi di Madinah.
__________
Tim Humas JPRMI, 19 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar