Masih di bulan kemerdekaan, Agustus di tahun 2016.
Tepatnya tanggal 22, mendekati penghujung bulannya. Touring JPRMI (Jaringan
Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia) ‘Jelajah Masjid Sumatera’ melintas di pusat
kota Bengkulu. Tepat di titik segitiga pada pusat kota tersebut, berdirilah
sebuah masjid bersejarah. Ia memiliki keistimewaan yang lebih dari
masjid-masjid bersejarah lainnya, karena yang merenovasinya adalah Presiden
Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Sebagai seorang arsitek, masjid yang berada di
jalan Letjen Soeprapto, kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka, kota Bengkulu
itu merupakan salah satu karyanya. Memang tidak secara keseluruhan dari bangunannya,
karena yang diperlukan hanya merenovasinya. Maka yang dirancang oleh Bung Karno
hanyalah bagian atap dan tiang-tiangnya, yang kemudian dilakukan proses
renovasi masjid tersebut sepanjang tahun 1938 hingga tahun 1942.
Masjid itu memang masjid lama. Bahkan sudah seabad
sebelumnya ia telah ada. Dahulu adanya di kelurahan Kampung Bajak, berdekatan
dengan makam Sentot Ali Basya. Sentot Ali Basya ini adalah teman perjuangannya
Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Bengkulu oleh penjajah Belanda, lalu wafat
di bumi Raflesia tersebut. Tapi tentu bangunannya sewaktu di Kampung Bajak
bukanlah bangunan permanen. Hanya beratap rumbai dan berlantai tanah. Surau,
mungkin begitu istilah kita sekarang. Sehingga ketika awal abad 18 akan
dipindahkan ke kelurahan Pengantungan yang sekarang berada, bukanlah hal yang terlalu
sulit.
Hingga
sampailah bertahun kemudian berada di kelurahan Pengantungan, masyarakat
sekitar memandang perlunya renovasi masjid tersebut. Bertepatan Bung Karno
sedang berada di Bengkulu karena dibuang oleh Belanda. Maka keinginan
masyarakat itupun bersambut dengan minat Bung Karno di bidang arsitektur.
Selain juga, melestarikan masjid berarti melestarikan kedekatan antara pemimpin
dan rakyat sebagaimana tradisi masyarakat di tanah Sumatera. Jadilah bertemu
antara minat Bung Karno, keinginan Rakyat, serta hajat mempertemukan
keterasingan pemimpin dan kerinduan masyarakat di masjid tersebut.
Meskipun
hanya bagian atap dan tiang masjid, namun karya Bung Karno tersebut cukup
menambah pesona dan kewibawaan masjid bersejarah itu. Pada atapnya, Bung Karno
merancangnya bertumpang tiga. Sehingga ada tiga lapis atap; yang lapisan kedua
dan ketiga hanya berbentuk limas kerucut dengan celah di tengahnya yang
berfungsi untuk sirkulasi udara. Adapun puncak atap pertamanya dipasang mustaka berbentuk laiknya
payung menguncup. Atap-atap ini terbuat dari seng aluminium. Sedangkan pada tiangnya, didesain dengan ukiran
pahat di bagian atasnya berupa sulur-suluran, beberapanya berwarna emas.
Inilah masjid kolaborasi antara rakyat dan
pemimpin saat itu. Sebab dana renovasinya berasal dari kantong masyarakat
sendiri, dan material bangunannya dari alam desa Air Dingin kabupaten Rejang
Lebong – Bengkulu Utara. Lalu modal dan bahan material yang telah dikumpulkan
oleh masyarakat itu bertemu dengan kreasi arsitektur dari seorang Bung Karno.
Jadilah Masjid Jamik Bengkulu seperti yang kita dapati sekarang.
__________
Tim Humas
JPRMI, 8 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar