Secara Fiqh Bahasa, puasa juga dinamakan sabar. Karena
puasa menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri. Menahan diri,
itulah esensi kesabaran. Maka puasa memiliki esensi membina kesabaran.
Demikianlah kiranya hasil dari serangkaian puasa Ramadhan kita.
Dalam ‘Uddah as Shabirin, Ibnul Qayyim
menjelaskan bahwa sabar merupakan kekuatan puncak perbaikan jiwa seseorang dan
sumber kebajikannya. Karakter ini ketika dibawa dalam ranah dakwah, maka kita
akan dipertemukan dengan ayat ke 127 dan 128 dari surat an Nahl. Bahwa Allah subhanahu
wata’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya, “Bersabarlah (hai Muhammad),
tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang
yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Lebih jauh lagi, hendaknya kesabaran-kesabaran kita
juga dipertemukan dengan motif-motif sebagaimana yang Allah subhanahu
wata’ala firmankan dalam surat al ‘Ankabut ayat 1-3. “Alif Laam Miim.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah
beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia telah mengetahui
orang-orang yang berdusta.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
pun telah sabdakan, bahwasannya seseorang itu akan diuji berdasarkan kualitas
agamanya. Sehingga semakin agamanya kuat, ujiannya pun akan bertambah besar.
Ibnul Qayyim pernah mengulas kesabaran ini dalam
konteks seorang Da’i. Bahwa hendaknya kesabaran melekat pada seorang Da’i
sebelum berdakwah, ketika berdakwah, dan setelah berdakwah. Sebelum berdakwah
dengan meluruskan niat dan membulatkan tekad, sebab keduanya tidak mudah
diluruskan dan dibulatkan kecuali dengan energi kesabaran. Ketika berdakwah
dengan tidak terjebak dalam kemalasan dan sikap berlebih-lebihan, sebab untuk
dapat proporsional dalam proses yang tak pasti durasinya memerlukan modal
kesabaran. Setelah berdakwah dengan memelihara ketaatan, lebih-lebih saat harus
berpindah dari hal yang sifatnya rahasia menuju hal yang sifatnya terbuka tentu
sangat perlu mental kesabaran.
Ada yang menarik dari ungkapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, “Sesungguhnya sabar adalah bagian dari iman, bagaikan kepala
bagian dari badan. Tidak ada keimanan tanpa kesabaran.” Artinya, memang
begitulah Allah azza wa jalla telah menetapkan bahwa sabar sebagai
bagian dari unsur kehidupan beragama. Sebagaimana firman-Nya di surat al ‘Ashr,
ia dimasukkan dalam salah satu dari empat unsur penting menuju kesuksesan dan
kebahagiaan hidup manusia; Beriman, Beramal, Menasehati Kebaikan dan Menasehati
Kesabaran.
Maka mengajarkan nilai kesabaran generasi keturunan
kita merupakan hal penting, sebagaimana Luqmanul Hakim juga mengajarkannya
kepada sang anak. “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar,”
begitu nasehat Luqmanul Hakim. Lalu lanjutnya di surat Luqman ayat 17, “Dan
bersabarlah terhadap apa yang telah menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Demikianlah kebijaksanaan seorang ayah mengajarkan
kepada anaknya akan kesabaran. Sebab kata Allah azza wa jalla di surat
as Sajdah ayat 24, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar.” Maka
tidak ada seorang pun yang akan tampil memimpin dengan petunjuk-Nya, kecuali
setelah ia bersabar. Kenapa?
Karena jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu
daya mereka sedikitpun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadamu. Begitu
pernyataan Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ali Imran ayat 120.
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
memohon kematangan pribadi dan tekad jiwa yang diabadikan dalam riwayat
Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad, kita dapati ujung kalimat beliau yang menarik. “Pohon
kematangan dan tekad yang kuat tidak akan tegak melainkan berasaskan kepada
akar kesabaran.”
Dengan kesabaran kita akan menemukan keyakinan dan
kesyukuran. Dengan kesabaran pula kita akan mampu totalitas bertawakkal. Kita
perlu kesabaran agar tidak mudah bosan, tidak mudah berkeluh, serta tidak mudah
tergesa-gesa dan lepas kontrol dalam segala aspek.
Semoga kita bisa terus meningkatkan kualitas kesabaran
hingga memenuhi tiga syaratnya; ikhlas karena Allah, tidak mengeluh kepada
orang lain, serta tepat waktu pada awal permasalahan muncul. Itulah
sebenar-benar kesabaran. Sehingga dengannya kita akan mendapatkan kesuksesan
apapun, termasuk dalam dakwah. Seperti yang disampaikan oleh Syeikh Salim al
Hilali dalam ash Shabru al Jamil-nya, “Sedikit sekali orang yang
bersungguh-sungguh dalam suatu permasalahan dan ia selalu menyertakannya dengan
kesabaran kecuali ia akan memperoleh kesuksesan.”
Muhammad Irfan Abdul Aziz
29 Ramadhan 1437 H
Twitter: @Daybakh
BBM
PIN: 56C730A3
Channel
Telegram: @MadrasahRamadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar