Petang hari Jum’at, 15 Juli 2016. Ibukota Turki,
Ankara, mendadak dipecahkan oleh raungan Jet dan Helikopter Militer yang
berseliweran di langit-langitnya. Kudeta Militer! Demikian siar Reuters ke seantero
dunia. Bahkan Perdana Menteri yang baru yaitu Binali Yildirim –selaku pengganti
Davutoglu- pun telah mengkonfirmasi secara dini bahwa itu adalah upaya Kudeta.
Tapi secara dini pula ia menyatakan bahwa upaya itu akan gagal, seperti
dilansir dailysabah.com
Apa yang dinyatakan oleh Perdana Menteri itu bukanlah
pernyataan gegabah. Sebab jauh sejak 6 bulan sebelumnya, CIA maupun NATO pun
telah memperkirakan kejadian ini. Sebab ini memang bukan perkara internal
Negara, melainkan juga perkara kawasan bahkan internasional. Sehingga sangat
mudah sebenarnya untuk mengidentifikasinya. Hanya mereka yang tidak mengikuti
perkembangan kawasan-kawasan di dunia serta sengaja membutakan matanya, yang
akan mengatakan bahwa peristiwa 16 Juli dini hari itu hanyalah perkara dalam
negeri Turki saja.
Bila dirunut, sesungguhnya itu sebentuk kewajaran.
Itulah amarah sekelompok orang-orang culas di tubuh militer yang sedang ditata
oleh Presiden Erdogan. Demi kokohnya Negara, demikian alasan Erdogan akan
perlunya penataan tersebut. Sebab Turki dan rakyatnya sudah terlampau lelah
dengan drama Kudeta. Hampir setiap dekade drama itu dihadirkan bak lelucon yang
dipaksakan menghibur kegersangan jiwa-jiwa sekuler. Tahun 1960, 1971, dan 1980.
Hanya belakangan saja, sudah berlangsung 35 tahun belum ada lagi drama Kudeta
yang dahsyat. Meskipun bukan berarti sama sekali tidak ada, sebab pada Desember
2014 pun pernah ada percobaan Kudeta. Bahkan yang baru saja terjadi dinyatakan
sebagai kelanjutan dari yang sempat terjadi di penghujung 2014 itu. Dan dari 35
tahun itu, 15 tahunnya adalah era-nya Erdogan baik sebagai Perdana Menteri
maupun sebagai Presiden.
Maka bisa kita bayangkan, di satu sisi adalah rasa jengah
masyarakat terhadap guyonan Kudeta dan di sisi lainnya adalah rasa geram
sekelompok culas yang gregetan berlama-lama dalam pemerintahan Erdogan.
Sama-sama lahir dari perasaan. Dan perasaan ini merupakan perasaan yang kuat,
yang mampu menggerakkan akal sehat dan alam bawah sadar. Siapa yang unggul?
Kita telah saksikan kemarin; bahwa rasa jengah yang
tertebar di masyarakat jauh lebih prima menggerakkan seluruh persendian secara
refleks demi menghadang Kudeta. Sementara gregetannya para culas itu hanya
mampu memberikan stimulan gegabah pada gerak-gerak Kudeta mereka.
Beberapa saat setelah munculnya rongrongan sekelompok
militer ini, Menteri Kehakiman segera mengkonfirmasi bahwa pelakunya adalah
kader-kader Fethullah Gulen. Bahkan sang Menteri menambahkan, bahwa para
pengkudeta itu harus membayar mahal atas tindakannya. Apa yang dinyatakan oleh
Menteri Kehakiman adalah kesimpulan fakta bahwa pemerintah sedang melakukan
mutasi kader-kader Fethullah Gulen di tubuh Militer dan Kementerian Kehakiman.
Selain juga fakta sejarah 2014, di mana kader Fethullah Gulen pula yang
melakukan tindak percobaan Kudeta. Bedanya, di tahun 2014 yang melakukannya
adalah kader-kader di tubuh Polisi dan Jaksa, sedangkan yang sedang berlangsung
kini dilakukan oleh kader-kader di tubuh Militer.
Perang klaim pun segera berlangsung. Pihak pengkudeta
mengklaim bahwa mereka telah mengambil alih Negara. Pihak pemerintah terus
mengimbangi klaim tersebut, bahwa mereka masih berdaulat. Bahkan secara tegas
Presiden Erdogan memperingatkan, bahwa semua alat yang mereka gunakan untuk
aksi malam itu adalah milik Negara. Tidak selayaknya mereka mengkudeta Negara
dengan alat-alat rampasan milik Negara.
Inilah usaha para
militer pro Gulen, yang mereka semakin massif bergerak di tubuh militer era
2014 - 2015. Fethullah Gulen telah lama berada di Amerika. Sementara Gulenist
(Feto) telah dinyatakan oleh Kehakiman Turki sebagai gerakan teroris. Meski
demikian, Erdogan tidak serta-merta menumpas seluruh pengikutnya. Ada waktu
yang disediakan untuk berbenah, tentu dengan segala pengawasan. Kader-kader
Feto atau gerakan Fethullah Gulen inilah yang juga banyak menyediakan
beasiswa-beasiswa ke beberapa negara. Karenanya pula, apa yang terjadi di Turki
sangat mungkin terjadi pula di Negara-negara yang anak bangsanya menerima
beasiswa tersebut. Memang tidak bisa dijeneralisir, namun tidak pula mudah
diabaikan.
Nusantara, 17 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar