Islam memiliki perhatian yang besar terhadap Musyawarah
atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan Syura. Bahkan salah satu surat dalam al Qur’an dinamakan dengan surat Asy Syura. Dan di surat ini pula pada ayat ke-38, kita
mendapati perintah untuk bermusyawarah yang merupakan salah satu karakter orang
beriman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-nya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.”
Dari aspek sejarah, kita pun menemukan banyak kisah
perihal musyawarah dalam kehidupan manusia. Bahkan, salah satunya adalah kisah
musyawarah yang dilakukan oleh Ratu Bilqis dengan para pembesarnya, saat ia
menerima surat dakwah
dari Nabi Sulaiman alaihissalam. Sebagaimana yang diabadikan dalam surat An Naml ayat 32, “Berkata
dia (Balqis): ‘Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini),
aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu menyaksikan dalam
majelis(ku).’”
Adapun teladan kita Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam, beliau merupakan manusia yang paling banyak bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya. Kita bisa mendapatinya di banyak momentum, seperti
saat perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, perang Hudaibiyah, bahkan
terkadang untuk perkara-perkara pribadinya.
Setelah wafatnya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam, ummat Islam tetap menjunjung tinggi prinsip Musyawarah
dalam memutuskan perkara di antara mereka. Momen musyawarah yang paling dekat
setelah wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam adalah apa yang
terjadi di Saqifah Bani Sa’adah, saat ummat Islam bermusyawarah untuk
menetapkan Khalifah pelanjut kepemimpinan Rasulullah.
Setelah dibai’at sebagai Khalifah pertama, Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam memutuskan perkara terkait
kepemimpinannya sering kali bermusyawarah dengan Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu dan juga para sahabat lainnya, saat mendapati perkara yang tidak
didapat penjelasannya dari nash al Qur’an dan Hadits.
Begitulah prinsip Musyawarah sangat dipegang
oleh kaum Muslimin. Sebab kewajibannya jelas dalam firman-Nya pada surat Ali Imran ayat 159,
“...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah...”
Pun karena kesema-menaan itu dilarang dalam
syariat Islam. Sebab Allah subhanahu wata’ala pernah berpesan kepada
Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam sebagaimana yang tercantum pada surat Al Ghasyiyah ayat
22, “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”
Hikmah Musyawarah
Di antara cara kita menemukan hikmahnya adalah dengan mencermati
sejarahnya. Bahwa sejarah telah mempersaksikan, bagaimana Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam mengambil pendapat mayoritas walaupun itu berbeda dengan
pendapatnya. Sebagaimana yang terjadi dalam Musyawarah sebelum perang Uhud,
pendapat mayoritas untuk menghadapi musuh di luar Madinah akhirnya diambil
meskipun berbeda dengan pendapat Rasulullah untuk tidak keluar Madinah.
Begitupun sejarah telah mempersaksikan bagaimana proses-proses Musyawarah
ditepati oleh para Khalifah setelah Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam.
Walaupun, mungkin sebagian manusia merasa bahwa Khalifah setelah Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam pernah memaksakan pendapatnya tanpa menyertakan ummat. Misalnya,
seperti yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu
saat memutuskan untuk memerangi kaum Murtadin yang tidak mau membayar Zakat dan
seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu
saat memutuskan untuk tidak membagi tanah rampasan dari hasil penaklukan
wilayah Irak.
Namun, sesungguhnya anggapan bahwa kedua Khalifah itu telah luput dari
musyawarah adalah anggapan yang tidak benar. Sebab bila dicermati, sesungguhnya
pendapat Abu Bakar radhiyallahu ’anhu memiliki dasar nash al Qur’an
dan sesungguhnya pendapat Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu ditetapkan
setelah proses musyawarah hingga bertemu dengan keserasian dengan nash
al Qur’an.
Saat Abu Bakar radhiyallahu ’anhu menetapkan untuk memerangi kaum Murtadin,
sebagian mengatakan bahwa kebanyakan sahabat saat itu tidak menghendaki untuk
memerangi mereka yang tidak membayar Zakat. Tetapi sesungguhnya perkara itu
terdapat nash-nya, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala
berfirman: “Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka.” Berdasarkan ayat ini, maka yang enggan
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, ia harus diperangi sampai mau
melakukannya. Dan bila telah melakukannya, maka keamanan merekapun terjamin.
Begitupun dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Rasulullah shalallahu ’alaihi
wasalam bersabda: “Aku perintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah,
dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan
itu, telah terlindungi olehku darahnya dan hartanya kecuali dengan kebenaran
Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” Maka, sesungguhnya syariah pun
membenarkan tiadanya ijtihad bila ada nash. Dengan demikian,
keputusan Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu dalam hal memerangi
mereka yang tak mau membayar Zakat meskipun belum bersepakat dengan para
sahabatnya, tetaplah dibenarkan dan tidak bisa dimaknai mengabaikan Musyawarah,
sebab perkara itu memang telah ada nash-nya.
Adapun saat Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu memutuskan untuk
tidak membagi tanah Sawad di Irak yang telah direbut oleh Mujahidin, maka
sesungguhnya keputusan itu telah melalui rangkaian Musyawarah yang cukup alot. Sebab,
setelah Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ’anhu menerima surat dari
komandan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ’anhu untuk membagi tanah
yang telah diduduki bagi para Mujahidin, maka Khalifah pun segera mengutarakan
pendapatnya kepada sahabatnya dan meminta pendapat mereka. Saat itu, Umar bin
Khathab berpendapat untuk tidak membagi rampasan berupa harta yang tidak
bergerak seperti tanah, meskipun secara umum ada nash untuk membagi 1/5
bagi Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasulullah, yatim, dan kaum miskin serta ibnu
sabil, sementara 4/5 dibagi kepada pasukan yang turut serta. Berkenaan dengan nash
pembagian itu, Umar bin Khathab telah menunaikannya pada rampasan harta yang
bergerak, namun tidak untuk tanah sebagai rampasan harta yang tidak bergerak. Itulah
polemiknya. Beberapa sahabat mendukung pendapat Umar bin Khathab, yaitu 'Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Abdullah
bin Umar. Mereka sepakat bahwa tanah rampasan tetap dikelola oleh penduduk setempat
dengan kompensasi pajak dari hasilnya. Dengan demikian, maka akan ada pemasukan
yang berkesinambungan untuk membiayai operasional pengelolaan negeri itu serta
untuk menjamin kemashlahatan yang lebih langgeng bagi generasi setelahnya. Sementara
beberapa sahabat lainnya tetap bersikukuh sesuai nash untuk membaginya
sebagaimana harta rampasan, mereka adalah Abdurrahman bin Auf, Bilal bin Rabah,
dan Zubair bin Awwam.
Saat
Musyawarah dirasa buntu, maka Umar bin Khathab pun melibatkan dari kalangan
sahabat Anshar, lima orang dari suku Aus dan lima orang dari suku Khazraj. Umar
bin Khathab menceritakan persoalan kepada mereka dan menyampaikan dasar
pendapatnya untuk kemashlahatan yang lebih sinambung bagi ummat, sehingga
mereka kemudian setuju dengan pendapat Umar bin Khathab. Setelah melalui proses
Musyawarah yang panjang itu, akhirnya Umar bin Khathab dimantapkan hatinya
dengan empat ayat pada surat al Hasyr yaitu ayat ke-7 hingga ke-10. Bahwa di
situ dijelaskan akan tujuan pembagian pembagian agar harta tidak hanya beredar
di kalangan orang kaya, sehingga titik tekannya bukan pada pembagiannya, namun
pada kemashlahatan bagi semua orang. Lalu di ayat setelahnya secara
berurut-urut dibahas terkait kaum Muhajirin, kaum Anshar serta kaum-kaum yang
memeluk Islam setelahnya. Berdasarkan Musyawarah dan kemantapan dari surat Al
Hasyr ayat 7-10 itulah, akhirnya Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu
menetapkan sesuai pendapatnya semula. Dengan demikian, maka tidak benar bila
langkah yang telah diambil oleh Umar bin Khathab itu dianggap telah mengabaikan
Musyawarah, sebab sesungguhnya keputusan itu telah melalui proses Musyawarah
yang tidak sebentar.
Epilog
Begitulah
besarnya nilai Musyawarah dalam perjalanan kaum Muslimin. Oleh karenanya, almarhum
Dr. Abdul Qadir Abu Faris memasukkan Musyawarah sebagai salah satu prinsip
Sistem Politik dalam Islam. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu yang bisa kita dapati
dalam Syarh Nahjul Balaghah, “Sesungguhnya Syura itu adalah hak
istimewa di tangan kaum Muhajirin dan Anshar, jika mereka bersepakat atas
seorang yang mereka sebut sebagai Imam, maka hal itulah yang diridhai oleh
Allah subhanahu wata’ala.”
Maka kita mendapati proses
Musyawarah sebagai sekolah pembinaan; menuju kematangan beragama dan kematangan menjalani kehidupan. Sebagaimana
Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan kaum Muslimin akhirnya
mendapatkan pencerahan dari ayat-ayat al Qur’an dan hikmah dari beragam
pendapat. Kita pun mendapati proses Musyawarah sebagai salah satu sebab
kemenangan; sebab melahirkan keputusan dengan beragam pertimbangan untuk
mencapai hasil yang terbaik. Sebagaimana yang banyak terjadi dalam peperangan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasalam.
Maka nikmati proses Musyawarah.
Junjung tinggi prinsip Musyawarah sebagai sebuah kewajiban bagi ummat Islam. Semoga
setiap proses Musyawarah itu dapat mendewasakan ummat dan mengantarkan ummat pada
kesuksesannya.
Batam,
14 November 2015, 23.53
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART
(Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar