sumber: lapassukamiskin.com |
Bila kita berkunjung ke Lapas
Sukamiskin di mana dahulu Bung Karno pernah ditahan, maka di sudut Barat akan
kita dapati Masjid Al Mushlih yang kokoh dibangun tahun 1918. Di tepi langit-langit
mihrab masjid itu terterakan kaligrafi salah satu firman-Nya di surat al Maidah
ayat 44, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir.”
Berkali-kali saya menyeksamai
kaligrafi itu. Unik, karena tertera di masjid yang berada dalam rumah tahanan. Bagaimana
tidak unik, karena ayat ini cukup menjadi diskursus sengit antara ummat dan
para penguasa, antara kehendak menyerahkan kuasa hanya kepada Allah dengan
kehendak berkuasa ‘mutlak’ para penguasa. Dan rumah tahanan adalah salah satu
simpul pertemuan interaksi penguasa dengan rakyat, yang biasanya berupa vonis
kezaliman atas nama kekuasaan bagi mereka yang menentang kekuasaan penuh yang
semena-mena para penguasa.
Sekali lagi, itu cukup menarik
bagi saya. Rumah tahanan adalah penampungan sekian banyak vonis hukum. Dan,
berapa banyak vonis hukum yang kontroversial? Berapa banyak pula vonis hukum
yang menggunakan logika manusiawi semata, mengabaikan panduan Illahi, dan
dominan pada ego para hakim? Lalu, kaligrafi itu menerakan sebuah ayat yang
menyatakan tentang keharusan memutuskan segala sesuatu dengan ketetapan dari
Allah subhanahu wata’ala, yang biasanya hal ini sering diabaikan oleh
para hakim yang menetapkan vonis bagi para terdakwa hingga ditampung di rumah
tahanan.
Pilihan ayatnya pun unik. Sebab
yang dipilih adalah ayat yang menyatakan konsekuensi kekufuran. Padahal ada dua
ayat serupa lainnya, pada surat yang sama, bahkan berada tepat setelah ayat itu,
namun dengan statemen konsekuensi yang berbeda; yaitu zalim dan fasik.
Kita bisa membaca ayat ke-45, “Barangsiapa
tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang zalim.” Kemudian ayat serupa juga yaitu ayat ke-47, “Barangsiapa
tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang fasik.”
Ketiganya sama ujung-ujung ayat.
Yang membedakan adalah statemen akhir pada masing-masing ayat; pertama statemennya
kufur, kedua statemennya zalim, ketiga statemennya fasik.
Yang tidak berhukum kepada Allah,
maka kafir, zalim, atau fasik. Begitu firman-Nya. Dan Syeikh Abdul Qadir al
Audah pernah menyatakan, bahwa mereka yang tidak menyerahkan kuasa sepenuhnya
kepada Allah azza wa jalla, maka tidak sedikitpun Islam di hatinya.
Ayat-ayat ini secara konteks
merupakan penekanan dalam perkara hudud, namun hikmahnya bisa dalam
segala hal ketetapan apapun pada kehidupan ini. Ayat ini diturunkan sebagai peringatan
dari banyaknya kesemena-menaan yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi dan
Nashrani. Sebagaimana sebab turunnya ayat ke-44 dari riwayat Barra’ bin ‘Azib
yang menuturkan bahwa suatu ketika, ada seorang keluarga penguasa di kalangan
Yahudi yang melakukan perzinaan. Namun, hukum rajam selalu ditunda-tunda. Tak
lama, ada seorang rakyat jelata yang melakukan perzinaan, dan hukum rajam
segera ditegakkan atasnya. Kaum jelata pun protes dan mengatakan, “Jangan kamu
rajam saudara kami sebelum keluarga penguasa itu dirajam.” Kemudian, mereka
meminta fatwa kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Rasulullah
pun bersabda, “Sesungguhnya aku memberi hukum seperti yang terdapat di dalam
Taurat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Jarir)
Maka, bila kita membaca secara
utuh ayat ke-44, di situ Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang
petunjuk-petunjuk-Nya dalam Taurat bagi orang-orang Yahudi, yang hendaknya
ditepati tanpa perlu takut terhadap manusia, sehingga menjual atau menggadaikan
ayat-ayat-Nya. Lalu di ayat ke-45, Allah subhanahu wata’ala menjabarkan
ketetapan-Nya akan hukum Qishash yang telah diturunkan dalam Taurat.
Adapun ayat ke-47, penekanan-Nya yang serupa pada Injil.
Untuk mendalami ketiga ayat itu,
kita bisa kembali pada kitab-kitab tafsir. Namun kiranya di sini kita dapat merenung,
kenapa Allah subhanahu wata’ala berikan statemen bagi mereka yang tidak
menetapkan sesuai ketetapan-Nya sebagai kafir, zalim dan fasik?
Sebab, mereka yang tidak menepati
ketetapan-Nya, biasanya karena beberapa faktor berikut: karena benci dan ingkar
kepada kuasa Allah subhanahu wata’ala, karena lebih cenderung pada hawa
nafsunya sehingga merugikan orang lain, serta karena pemberontakan kepada
kebenaran yang telah diketahuinya.
Untuk yang pertama, itulah sebabnya
mereka menjadi kufur; karena motifnya memang benci dan ingkar kepada kuasa
Allah subhanahu wata’ala. Sementara yang kedua, begitulah pengingkaran
kepada ketetapan-Nya telah menjadikan mereka zalim; sebab mereka cenderung pada
hawa nafsu dan egonya semata yang merugikan orang lain. Adapun yang ketiga,
sebagaimana orang-orang fasik; sesungguhnya mereka sudah mengetahui namun
mereka melanggarnya.
Semoga kita tidak termasuk dari
ketiga golongan itu. Bilapun kita belum mampu menepati seluruh ketetapan-Nya, hal
itu karena kelemahan dan keterbatasan kita; bukan karena mengingkari-Nya, bukan
pula karena hawa nafsu, serta bukan karena kehendak ingin melanggarnya.
Sembari
dengan sepenuh keinsafan kita berdoa sebagaimana doa yang diterakan pada ayat
terakhir surat al Baqarah. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Batam,
10 November 2015, 02.10
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART
(Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar