Di tengah kerumitan dunia politik, dan di tengah berkembangnya beragam
diskursus tentang sistem-sistem politik, maka Islam sebagai sistem kehidupan
yang universal dan integral pun tidak luput menyentuh sisi politik yang ada
pada kehidupan ini. Seorang ulama yang bernama Dr. Mohammed Abdul Qader Abu Faris -yang wafat pada 3 November 2015 lalu-
mengatakan bahwa sistem politik dalam Islam secara sederhana dipandu dalam
kerangka 4 prinsip.
Dalam
tulisan ini, masing-masing prinsip itu akan diulas secara ringkas, dan direnungkan
berdasar pada fenomena-fenomena keseharian kita. Semoga perenungan ini akan
mengantarkan beragam hikmah dalam membangun sistem politik yang bijaksana
sebagai suatu kebutuhan dalam kehidupan sosial.
Prinsip Pertama: Kekuasaan Milik Allah subhanahu
wata’ala
Sistem
Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip pertama bahwa kekuasaan itu hanya
milik Allah azza wa jalla semata. Sebab, sebagai Pencipta seluruh jagat
raya dan Pemilik seluruh isi jagat raya, maka Allah subhanahu wata’ala
memiliki hak kuasa atas segala ciptaan-Nya dan segala yang dimiliki-Nya. Dan
sebagai Rabb, maka Allah subhanahu wata’ala memiliki keistimewaan
ketuhanan. Yang Sayyid Qutb mengatakan, bahwa keistimewaan ketuhanan adalah
menetapkan hukum-hukum.
Allah
subhanahu wata’ala sendiri berfirman dalam surat al Furqon ayat 2, “...dan
Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.”
Begitulah, ketetapan-ketetapan seluruh ciptaan-Nya berdasar ketetapan-Nya.
Dan
memang, ketetapan-Nya adalah yang paling sesuai dengan ciptaan-Nya. Sebab
memang Dia-lah yang menciptakan, maka ukuran-ukuran bagi ciptaan-Nya hanya
diketahui oleh Pencipta-nya.
Maka
dikatakan, bahwa syariat Allah subhanahu wata’ala itu sesuai dengan
fitrah manusia. Sebagaimana yang digambarkan pada akhir surat al Baqarah, “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): ‘Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir.’”
Dan bila kita mau jujur,
sesungguhnya yang menyulitkan kehidupan manusia adalah aturan-aturan dari
manusia itu sendiri. Bukankah pada masa-masa berkuasanya komunisme dan
kapitalisme telah melahirkan banyak penderitaan bagi masyarakatnya?
Hanya saja, tidak mudah
memberikan kuasa hanya kepada Allah semata. Tidak mudah pula menegakkan kuasa
hanya kepada Allah semata. Oleh karena itu, dahulu ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam hadir membawa risalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’ yang
konsekuensinya memberikan hak-hak kuasa hanya kepada Allah semata yang
merupakan hak keistimewaan sebagai Tuhan, maka ada komentar begini: “Ini adalah
hal yang dibenci oleh para raja.”
Sebab, berapa banyak hak kuasa
para raja yang akhirnya terbatasi? Karena gejolak itu muncul dari hawa nafsu
manusia untuk berkuasa sekuasa-kuasanya.
Prinsip Kedua: Keadilan dan
Kesetaraan
Sistem
Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip kedua yaitu Keadilan dan
Kesetaraan. Sebab, semua manusia dicipta dari asal keturunan yang sama,
yaitu ayahnya Adam dan ibundanya Hawa. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al
Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Prinsip Keadilan dan Kesetaraan
juga didasarkan pada sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, “Wahai
manusia, sesungguhnya Rabb kalian adalah satu. Tiada keutamaan bagi orang Arab
atas orang non Arab, dan tiada keutamaan bagi orang non Arab atas orang Arab, dan
tiada keutamaan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, dan tiada
keutamaan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, kecuali dengan
takwa. Sesungguhnya yang paling utama dari kalian di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa.”
Jadi, prinsip Keadilan dan
Kesetaraan ini berangkat dari asal Pencipta yang satu dan asal keturunan yang
satu pula. Oleh karenanya, seorang hakim diperintahkan untuk memutuskan segala
sesuatu dengan adil dan tidak cenderung pada perasaannya maupun keinginannya. Sebab
Islam memang memosisikan manusia seluruhnya sederajat dalam ibadah, hukum dan
syariat.
Prinsip keadilan inilah yang akan
melahirkan jiwa-jiwa yang stabil, hati-hati yang tenang, urusan-urusan yang
lancar, masyarakat yang berkembang, dan kebaikan yang mendominasi.
Kaedah Ketiga: Ketaatan
Sistem
Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip ketiga yaitu Ketaatan. Sebab, tiada
sistem politik yang kuat kecuali dibangun dengan prinsip ketaatan kepada
pemimpin. Ketaatan rakyat kepada pemimpin lahir dari tradisi musyawarah antara
pemimpin dan yang dipimpin.
Dan Khalifah kedua ummat ini,
yaitu Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Tiada Islam
bila tanpa jamaah, dan tiada jamaah bila tanpa pemimpin, dan tiada pemimpin
bila tanpa ketaatan.”
Ketaatan memang merupakan bagian
dari karakter ummat Islam. Sebab ummat Islam dibangun dalam budaya berjamaah.
Adapun berjamaah itu memiliki konsekuensi perlunya pemimpin. Namun pemimpin itu
sendiri tidak akan benar-benar eksis wujudnya bila tanpa ketaatan. Sebab
pemimpin itu artinya komando, dan komando itu perlu ditaati.
Bila ketaatan tiada, maka artinya
tiada eksistensi pemimpin. Maka, tiada pula sistem politik yang terbangun di
atasnya.
Kaedah Keempat: Musyawarah
Sistem
Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip keempat yaitu Musyawarah. Sebab,
musyawarah yang mengakomodir prinsip keadilan dan kesetaraan (prinsip kedua), musyawarah
pula yang akan menjalin hubungan baik antara pemimpin dan yang dipimpin
sehingga dapat terwujud ketaatan (prinsip ketiga). Selain itu, musyawarah juga
merupakan turunan dari prinsip bahwa kuasa hanya untuk Allah semata (prinsip
pertama), sebab ia mencerminkan bahwa tiada seorangpun yang punya kuasa penuh.
Musyawarah
dalam Islam memiliki definisi sebagai forum membolak-balik pandangan dan
perspektif berbeda berkenaan pada sebuah masalah dari masalah-masalah, yang
dilakukan oleh orang-orang berakal dan yang memiliki pemahaman, sehingga dapat
mencapai suatu hal yang benar, atau yang paling benar dan paling baik darinya
untuk dikerjakan, sehingga terwujud hasil yang terbaik.
Epilog
Dari empat prinsip Sistem Politik
dalam Islam sebagaimana diulas di atas, kiranya ada beberapa hal yang bisa
menjadi renungan kita bersama. Terutama terkait fenomena-fenomena dewasa ini.
Bila sistem politik yang berjalan
masih menghadirkan kesulitan-kesulitan dalam kehidupan kita, mungkinkah karena
kita belum menyerahkan sepenuhnya kekuasaan kepada Allah subhanahu wata’ala semata?
Sebab hanya pada kuasa-Nya yang sesuai fitrah manusia; kuasa yang menghargai
kebertahapan, proses dan segala motif perbuatan.
Bila masih banyak jiwa-jiwa yang galau,
belum tenangnya hati-hati masyarakat, banyaknya urusan-urusan yang masih terhambat
dan berbelit-belit, belum berkembangnya masyarakat di sektor apapun, serta sulitnya
men-syiar-kan kebaikan, mungkinkah karena sistem politik yang berjalan belum
betul-betul menerapkan prinsip Keadilan dan Kesetaraan?
Bila sistem politik kacau, mungkinkah
karena prinsip Ketaatan belum terwujud? Bila para pemimpin merasa tidak
memimpin, mungkinkan karena masyarakat tidak menepati prinsip Ketaatan? Bila masyarakat
yang dipimpin merasa tidak memiliki pemimpin, mungkinkah karena pemimpin tak
mampu membangun prinsip Ketaatan dengan kapasitasnya?
Bila masih banyak hasil yang
tidak maksimal dalam kehidupan sosial kita, mungkinkah karena sistem politik
yang berjalan tidak mengindahkan prinsip Musyawarah? Atau ada Musyawarah, namun
tidak melibatkan orang-orang berakal dan yang memiliki pemahaman yang baik
terhadap persoalan? Atau juga, mungkin ada Musyawarah, namun tidak menghadirkan
beragam pandangan dan perspektif, sehingga tak mampu menimbang dengan baik guna
mendapatkan yang terbaik untuk dilaksanakan?
Batam, 7 November 2015, 20.53
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Baca juga:
1. MENGENAL PENULIS BUKU YANG AHLI POLITIK ISLAM KONTEMPORER
2. MENYERAHKAN KUASA KEPADA ALLAH DI LAPAS SUKAMISKIN
3. TEGAKNYA KEADILAN YANG DITELADANKAN
4. MEMBANGUN KETAATAN KEPADA PEMIMPIN YANG TIDAK BERUJUNG DIKTATORISME
5. URGENSI MUSYAWARAH ANTARA PROSES PEMBINAAN DAN SEBAB KESUKSESAN
6. MEREKA YANG BERMUSYAWARAH; SYARAT DAN KEWENANGANNYA
7. DAULAH ISLAMIYAH DAN PROSES TERBENTUKNYA
2. MENYERAHKAN KUASA KEPADA ALLAH DI LAPAS SUKAMISKIN
3. TEGAKNYA KEADILAN YANG DITELADANKAN
4. MEMBANGUN KETAATAN KEPADA PEMIMPIN YANG TIDAK BERUJUNG DIKTATORISME
5. URGENSI MUSYAWARAH ANTARA PROSES PEMBINAAN DAN SEBAB KESUKSESAN
6. MEREKA YANG BERMUSYAWARAH; SYARAT DAN KEWENANGANNYA
7. DAULAH ISLAMIYAH DAN PROSES TERBENTUKNYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar