Sabtu, 07 November 2015

4 PRINSIP SISTEM POLITIK DALAM ISLAM


Di tengah kerumitan dunia politik, dan di tengah berkembangnya beragam diskursus tentang sistem-sistem politik, maka Islam sebagai sistem kehidupan yang universal dan integral pun tidak luput menyentuh sisi politik yang ada pada kehidupan ini. Seorang ulama yang bernama Dr. Mohammed Abdul Qader Abu Faris -yang wafat pada 3 November 2015 lalu- mengatakan bahwa sistem politik dalam Islam secara sederhana dipandu dalam kerangka 4 prinsip.


Dalam tulisan ini, masing-masing prinsip itu akan diulas secara ringkas, dan direnungkan berdasar pada fenomena-fenomena keseharian kita. Semoga perenungan ini akan mengantarkan beragam hikmah dalam membangun sistem politik yang bijaksana sebagai suatu kebutuhan dalam kehidupan sosial.


Prinsip Pertama: Kekuasaan Milik Allah subhanahu wata’ala

Sistem Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip pertama bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah azza wa jalla semata. Sebab, sebagai Pencipta seluruh jagat raya dan Pemilik seluruh isi jagat raya, maka Allah subhanahu wata’ala memiliki hak kuasa atas segala ciptaan-Nya dan segala yang dimiliki-Nya. Dan sebagai Rabb, maka Allah subhanahu wata’ala memiliki keistimewaan ketuhanan. Yang Sayyid Qutb mengatakan, bahwa keistimewaan ketuhanan adalah menetapkan hukum-hukum.

Allah subhanahu wata’ala sendiri berfirman dalam surat al Furqon ayat 2, “...dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” Begitulah, ketetapan-ketetapan seluruh ciptaan-Nya berdasar ketetapan-Nya.

Dan memang, ketetapan-Nya adalah yang paling sesuai dengan ciptaan-Nya. Sebab memang Dia-lah yang menciptakan, maka ukuran-ukuran bagi ciptaan-Nya hanya diketahui oleh Pencipta-nya.

Maka dikatakan, bahwa syariat Allah subhanahu wata’ala itu sesuai dengan fitrah manusia. Sebagaimana yang digambarkan pada akhir surat al Baqarah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Pelindung kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.’”

Dan bila kita mau jujur, sesungguhnya yang menyulitkan kehidupan manusia adalah aturan-aturan dari manusia itu sendiri. Bukankah pada masa-masa berkuasanya komunisme dan kapitalisme telah melahirkan banyak penderitaan bagi masyarakatnya?

Hanya saja, tidak mudah memberikan kuasa hanya kepada Allah semata. Tidak mudah pula menegakkan kuasa hanya kepada Allah semata. Oleh karena itu, dahulu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam hadir membawa risalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’ yang konsekuensinya memberikan hak-hak kuasa hanya kepada Allah semata yang merupakan hak keistimewaan sebagai Tuhan, maka ada komentar begini: “Ini adalah hal yang dibenci oleh para raja.”

Sebab, berapa banyak hak kuasa para raja yang akhirnya terbatasi? Karena gejolak itu muncul dari hawa nafsu manusia untuk berkuasa sekuasa-kuasanya.


Prinsip Kedua: Keadilan dan Kesetaraan

Sistem Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip kedua yaitu Keadilan dan Kesetaraan. Sebab, semua manusia dicipta dari asal keturunan yang sama, yaitu ayahnya Adam dan ibundanya Hawa. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Prinsip Keadilan dan Kesetaraan juga didasarkan pada sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, “Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian adalah satu. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas orang non Arab, dan tiada keutamaan bagi orang non Arab atas orang Arab, dan tiada keutamaan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, dan tiada keutamaan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, kecuali dengan takwa. Sesungguhnya yang paling utama dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”

Jadi, prinsip Keadilan dan Kesetaraan ini berangkat dari asal Pencipta yang satu dan asal keturunan yang satu pula. Oleh karenanya, seorang hakim diperintahkan untuk memutuskan segala sesuatu dengan adil dan tidak cenderung pada perasaannya maupun keinginannya. Sebab Islam memang memosisikan manusia seluruhnya sederajat dalam ibadah, hukum dan syariat.

Prinsip keadilan inilah yang akan melahirkan jiwa-jiwa yang stabil, hati-hati yang tenang, urusan-urusan yang lancar, masyarakat yang berkembang, dan kebaikan yang mendominasi.


Kaedah Ketiga: Ketaatan

Sistem Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip ketiga yaitu Ketaatan. Sebab, tiada sistem politik yang kuat kecuali dibangun dengan prinsip ketaatan kepada pemimpin. Ketaatan rakyat kepada pemimpin lahir dari tradisi musyawarah antara pemimpin dan yang dipimpin.

Dan Khalifah kedua ummat ini, yaitu Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Tiada Islam bila tanpa jamaah, dan tiada jamaah bila tanpa pemimpin, dan tiada pemimpin bila tanpa ketaatan.”

Ketaatan memang merupakan bagian dari karakter ummat Islam. Sebab ummat Islam dibangun dalam budaya berjamaah. Adapun berjamaah itu memiliki konsekuensi perlunya pemimpin. Namun pemimpin itu sendiri tidak akan benar-benar eksis wujudnya bila tanpa ketaatan. Sebab pemimpin itu artinya komando, dan komando itu perlu ditaati.

Bila ketaatan tiada, maka artinya tiada eksistensi pemimpin. Maka, tiada pula sistem politik yang terbangun di atasnya.


Kaedah Keempat: Musyawarah

Sistem Politik dalam Islam dibangun dengan prinsip keempat yaitu Musyawarah. Sebab, musyawarah yang mengakomodir prinsip keadilan dan kesetaraan (prinsip kedua), musyawarah pula yang akan menjalin hubungan baik antara pemimpin dan yang dipimpin sehingga dapat terwujud ketaatan (prinsip ketiga). Selain itu, musyawarah juga merupakan turunan dari prinsip bahwa kuasa hanya untuk Allah semata (prinsip pertama), sebab ia mencerminkan bahwa tiada seorangpun yang punya kuasa penuh.

Musyawarah dalam Islam memiliki definisi sebagai forum membolak-balik pandangan dan perspektif berbeda berkenaan pada sebuah masalah dari masalah-masalah, yang dilakukan oleh orang-orang berakal dan yang memiliki pemahaman, sehingga dapat mencapai suatu hal yang benar, atau yang paling benar dan paling baik darinya untuk dikerjakan, sehingga terwujud hasil yang terbaik.


Epilog

Dari empat prinsip Sistem Politik dalam Islam sebagaimana diulas di atas, kiranya ada beberapa hal yang bisa menjadi renungan kita bersama. Terutama terkait fenomena-fenomena dewasa ini.

Bila sistem politik yang berjalan masih menghadirkan kesulitan-kesulitan dalam kehidupan kita, mungkinkah karena kita belum menyerahkan sepenuhnya kekuasaan kepada Allah subhanahu wata’ala semata? Sebab hanya pada kuasa-Nya yang sesuai fitrah manusia; kuasa yang menghargai kebertahapan, proses dan segala motif perbuatan.

Bila masih banyak jiwa-jiwa yang galau, belum tenangnya hati-hati masyarakat, banyaknya urusan-urusan yang masih terhambat dan berbelit-belit, belum berkembangnya masyarakat di sektor apapun, serta sulitnya men-syiar-kan kebaikan, mungkinkah karena sistem politik yang berjalan belum betul-betul menerapkan prinsip Keadilan dan Kesetaraan?

Bila sistem politik kacau, mungkinkah karena prinsip Ketaatan belum terwujud? Bila para pemimpin merasa tidak memimpin, mungkinkan karena masyarakat tidak menepati prinsip Ketaatan? Bila masyarakat yang dipimpin merasa tidak memiliki pemimpin, mungkinkah karena pemimpin tak mampu membangun prinsip Ketaatan dengan kapasitasnya?

Bila masih banyak hasil yang tidak maksimal dalam kehidupan sosial kita, mungkinkah karena sistem politik yang berjalan tidak mengindahkan prinsip Musyawarah? Atau ada Musyawarah, namun tidak melibatkan orang-orang berakal dan yang memiliki pemahaman yang baik terhadap persoalan? Atau juga, mungkin ada Musyawarah, namun tidak menghadirkan beragam pandangan dan perspektif, sehingga tak mampu menimbang dengan baik guna mendapatkan yang terbaik untuk dilaksanakan?



Batam, 7 November 2015, 20.53

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Baca juga:

Tidak ada komentar: