Dalam kesempatan berkunjung ke Manado –Sulawesi Utara- yang notabenenya
daerah minoritas Muslim, saya menemukan sebuah komunitas studi Islam untuk
remaja dan muallaf. Bahkan ada pula yang turut hadir di situ, belum beragama
Islam.
Sengaja saya sempatkan mengikuti salah satu sesi kajiannya. Karena maksud
kunjungan saya ke Sulawesi Utara memang untuk mencermati dinamika dakwah di
daerah minoritas Muslim.
Materi malam itu bertema mengenal Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam.
Sang pengasuh, seorang ustadz muda, mengisi mentoring Islam malam itu dengan
beberapa seri kisah kehidupan Rasulullah Muhammad shalallahu ’alaihi wasalam.
Salah satu kisah yang diutarakannya adalah interaksi Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam dengan seorang sahabat yang bernama Sawad bin Ghaziyyah radhiyallahu
’anhu.
Kisahnya sederhana. Saat itu persiapan perang Badar, dan Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam sebagai komandan bersiaga merapikan barisan pasukan kaum
Muslimin, baik dari Muhajirin maupun Anshar. Dengan menggenggam anak panah,
Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam mengukur kerapihan dan lurusnya
barisan pasukan kaum Muslimin.
Sampailah didapati sahabat Sawad bin Ghaziyyah radhiyallahu ’anhu sedikit
keluar barisan. Maka dipukullah perut Sawad dari kalangan sahabat Anshar itu, agar
kembali ke barisan dan meluruskan diri dengan barisannya. “Luruskan, wahai Sawad!” perintah Rasulullah tegas.
Sawad menuruti. Namun tak dinyana, Sawad segera protes kepada Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam. “Wahai Rasulullah,
engkau telah menyakitiku,” ujarnya.
“Bukankah
Engkau diutus untuk kebenaran dan keadilan? Maka berikan hak qishah kepadaku,”
lanjutnya kemudian.
Seketika Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam memberikan anak panah
yang dipegangnya kepada Sawad. Mempersilakannya membalas pukulan pada perutnya.
Tetapi, Sawad tidak langsung membalas. Ia justru berkata, “Engkau mengenakan pakaian. Sementara Engkau pukul aku
tanpa pakaian yang menutupi perutku.”
Dengan
tanggap, Rasulullah langsung menyingkap pakaian yang menutupi perutnya, agar
Sawad bisa membalas pukulan dengan anak panah yang langsung mengenai kulit
perutnya. Namun seketika itu pula, Sawad melepaskan genggaman anak panah, dan
memeluk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam erat.
Kisah
ini terdapat pada beberapa kitab sejarah, di antaranya ada pada kitab as
Shirah al Halbiyah jilid 3 yang ditulis oleh Ali bin Burhanuddin al Halabi.
Ketika saya menyimaknya di forum Studi Islam yang ada di daerah minoritas
Muslim itu, lalu saya melihat binar-binar mata peserta yang sebagiannya adalah
muallaf, saya dapati hampir rata semuanya berkaca-kaca. Maka saya segera
terhenyak; inilah pesona Rasulullah! Inilah pesona Islam!
Bahkan
bila pesona ini diutarakan kepada kalangan non Muslim, maka hanya ketakziman
yang sesungguhnya akan menguar dari lubuk-lubuk hati terdalam. Seperti di bumi
Manado yang kata orang merupakan ‘Kota Seribu Gereja’, tidak sedikit dari
mereka yang sangat ingin tahu tentang risalah Islam. Maka majelis studi Islam
semacam itu mendapat tempatnya.
Sungguh,
sepenggal kisah Rasulullah itulah esensi risalah agama ini. Menegakkan
keadilan! Ya, Keadilan.
Islam
hadir dengan mengusung risalah Tauhid. Dan sesungguhnya risalah Tauhid itulah esensi
nilai Keadilan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fakhruddin ar Razi, bahwa
kalimat ‘laa ilaaha illa Allah’ itu adalah kalimat keadilan, karena
sikap adil terhadap segala sesuatu menjadi penyebab terwujudnya keseimbangan
dan karena pengetahuan tentang Allah berada dalam posisi tengah yang tidak ifrath
(menyerupakan Allah dengan lainnya) pun tidak tafrith (meniadakan
sifat-sifat Allah).
Oleh
karenanya, bila kita telusuri firman-Nya, maka kita akan temukan sebuah nasehat
Luqman kepada anaknya. Pesannya, “Wahai anakku! Janganlah engkau
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)
Begitulah...
Lawan Tauhid adalah Syirik, dan lawan Keadilan adalah Kezaliman. Maka Tauhid
adalah landasan bagi Keadilan, dan Syirik adalah akar segala Kezaliman.
Itulah urgensi Keadilan dalam
Islam, yang juga menjadi salah satu prinsip dari Sistem Politik dalam Islam.
Karena menegakkan keadilan, bagaimanapun hanya bisa dimulai dari pemimpin.
Sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah. Bilapun yang bersalah adalah
pemimpin, maka tegakkan keadilan hukum.
Itulah yang dicontohkan
Rasulullah, ketika Sawad meminta keadilan dengan membalas apa yang dirasanya
telah terzalimi oleh Rasulullah, maka Rasulullah pun rela menerima balasan itu
demi tegaknya keadilan.
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
1 komentar:
masyaAllah pesona Rasulullah.. Berkali-kali baca kisahnya tetap saja takjub yg ada.
Posting Komentar