Foto: Tebing Margalla Hill dengan latar malam kota Islamabad |
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)
Firman-Nya
telah menunjukkan kepada kita bahwa ketaatan adalah bagian dari karakter orang
beriman. Bahkan itu adalah kewajiban bagi orang beriman; kepada Allah,
Rasul-Nya, serta para pemimpin di antara orang beriman itu sendiri. Oleh
karenanya, almarhum Dr. Mohammed Abdul Qader Abu Faris ketika
menyusun prinsip-prinsip Sistem Politik dalam Islam menetapkan Prinsip
Ketiga-nya adalah Ketaatan.
Begitulah
kewajiban taat kepada para Pemimpin, Hakim, serta semua unsur-unsur pimpinan
dalam urusan kaum Muslimin. Bahkan, hal ini ditekankan lebih dalam lagi oleh Rasulullah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, dengan sabdanya, “Dengarkanlah dan
taatlah, walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Habasyah yang seolah-olah
kepalanya adalah anggur kering.”
Demikianlah
urgensi dan esensi ketaatan kepada pemimpin, sampai-sampai tidak lagi memandang
fisik dan derajat nasab pemimpin itu.
ANTISIPASI
DIKTATORISME
Islam
telah mewajibkan kepada ummatnya untuk taat kepada pemimpin. Namun konsep
ketaatan kepada pemimpin dalam Islam memiliki keunikan sesuai kekhasan agama
Tauhid ini, yaitu ketaatan kepada pemimpin yang tidak mutlak.
Sebab,
ketaatan kepada pemimpin dalam tuntunan Islam itu dibingkai dengan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan apa yang
ada dalam al Qur’an. Adapun ketaatan kepada Rasulullah dengan komitmen pada
sunnahnya dan memegang teguh arahannya.
Hal
ini juga berfungsi untuk mengantisipasi potensi diktatorisme. Sehingga dalam
konsep Islam, ada tiga syarat yang dijunjung tinggi dalam ketaatan kepada
pemimpin.
Pertama;
Pemimpin hendaknya menjalankan syariat Islam. Sehingga tidak ada ketaatan bagi
pemimpin yang menolak penerapan syariat Islam. Dengan demikian, kuasa mutlak
hanyalah milik Allah semata. Adapun kekuasaan seorang pemimpin sangatlah terbatas,
dan lebih sebagai pelaksana titah-Nya.
Kedua;
Pemimpin hendaknya menetapkan hukum antara manusia dengan adil. Sehingga
kemaslahatan orang banyak jauh lebih dijunjung dan didahulukan daripada sekadar
kemaslahatan pribadinya. Tentu ini efektif membatasinya agar tidak
semena-mena.
Ketiga;
Pemimpin tidak memerintahkan pada kemaksiatan. Maka sikap pemimpin yang dalam
jiwanya ada ketaatan kepada Rabb-nya adalah sikap seorang hamba yang rendah
hati dan menghargai sesama hamba Allah. Dengan demikian, tertutuplah peluang
diktatorisme.
Dalam
Hal Apa Pemimpin Berhak untuk Ditaati?
Sebagai
pemimpin tetaplah memiliki hak memerintah. Namun Islam membatasi hak memerintah
ini dalam perkara yang diwajibkan oleh Allah azza wa jalla, perkara sunnah
yang diteladankan Rasul-Nya, serta perkara-perkara yang dibolehkan oleh agama.
Selain itu, pemimpin dalam Islam juga diperkenankan memerintah dalam perkara ijtihadi
(pertimbangan akal) yang tidak ada panduan secara nash al Qur’an,
atau memiliki panduan nash al Qur’an namun masih memungkinkan penafsiran (ta’wil)
yang beragam.
Maka,
suatu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah memberikan
petuah ketaatan kepada pemimpin dengan deskripsi uniknya. “Seseorang boleh
taat kepada pemimpin dalam mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apinya karena
itu adalah perkara yang mubah (dibolehkan), sedangkan menceburkan dirinya dalam
api maka jangan mentaatinya karena itu adalah perkara yang haram (dilarang).”
Batam, 12 November 2015, 00.45
Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar