Kamis, 12 November 2015

MEMBANGUN KETAATAN KEPADA PEMIMPIN YANG TIDAK BERUJUNG DIKTATORISME

Foto: Tebing Margalla Hill dengan latar malam kota Islamabad

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)

Firman-Nya telah menunjukkan kepada kita bahwa ketaatan adalah bagian dari karakter orang beriman. Bahkan itu adalah kewajiban bagi orang beriman; kepada Allah, Rasul-Nya, serta para pemimpin di antara orang beriman itu sendiri. Oleh karenanya, almarhum Dr. Mohammed Abdul Qader Abu Faris ketika menyusun prinsip-prinsip Sistem Politik dalam Islam menetapkan Prinsip Ketiga-nya adalah Ketaatan.


Begitulah kewajiban taat kepada para Pemimpin, Hakim, serta semua unsur-unsur pimpinan dalam urusan kaum Muslimin. Bahkan, hal ini ditekankan lebih dalam lagi oleh Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, dengan sabdanya, “Dengarkanlah dan taatlah, walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Habasyah yang seolah-olah kepalanya adalah anggur kering.”

Demikianlah urgensi dan esensi ketaatan kepada pemimpin, sampai-sampai tidak lagi memandang fisik dan derajat nasab pemimpin itu.


ANTISIPASI DIKTATORISME

Islam telah mewajibkan kepada ummatnya untuk taat kepada pemimpin. Namun konsep ketaatan kepada pemimpin dalam Islam memiliki keunikan sesuai kekhasan agama Tauhid ini, yaitu ketaatan kepada pemimpin yang tidak mutlak.

Sebab, ketaatan kepada pemimpin dalam tuntunan Islam itu dibingkai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan apa yang ada dalam al Qur’an. Adapun ketaatan kepada Rasulullah dengan komitmen pada sunnahnya dan memegang teguh arahannya.

Hal ini juga berfungsi untuk mengantisipasi potensi diktatorisme. Sehingga dalam konsep Islam, ada tiga syarat yang dijunjung tinggi dalam ketaatan kepada pemimpin.

Pertama; Pemimpin hendaknya menjalankan syariat Islam. Sehingga tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang menolak penerapan syariat Islam. Dengan demikian, kuasa mutlak hanyalah milik Allah semata. Adapun kekuasaan seorang pemimpin sangatlah terbatas, dan lebih sebagai pelaksana titah-Nya.

Kedua; Pemimpin hendaknya menetapkan hukum antara manusia dengan adil. Sehingga kemaslahatan orang banyak jauh lebih dijunjung dan didahulukan daripada sekadar kemaslahatan pribadinya. Tentu ini efektif membatasinya agar tidak semena-mena.

Ketiga; Pemimpin tidak memerintahkan pada kemaksiatan. Maka sikap pemimpin yang dalam jiwanya ada ketaatan kepada Rabb-nya adalah sikap seorang hamba yang rendah hati dan menghargai sesama hamba Allah. Dengan demikian, tertutuplah peluang diktatorisme.


Dalam Hal Apa Pemimpin Berhak untuk Ditaati?

Sebagai pemimpin tetaplah memiliki hak memerintah. Namun Islam membatasi hak memerintah ini dalam perkara yang diwajibkan oleh Allah azza wa jalla, perkara sunnah yang diteladankan Rasul-Nya, serta perkara-perkara yang dibolehkan oleh agama. Selain itu, pemimpin dalam Islam juga diperkenankan memerintah dalam perkara ijtihadi (pertimbangan akal) yang tidak ada panduan secara nash al Qur’an, atau memiliki panduan nash al Qur’an namun masih memungkinkan penafsiran (ta’wil) yang beragam.

Maka, suatu ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah memberikan petuah ketaatan kepada pemimpin dengan deskripsi uniknya. “Seseorang boleh taat kepada pemimpin dalam mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apinya karena itu adalah perkara yang mubah (dibolehkan), sedangkan menceburkan dirinya dalam api maka jangan mentaatinya karena itu adalah perkara yang haram (dilarang).”


Batam, 12 November 2015, 00.45

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Baca juga:

Tidak ada komentar: