Mereka bergembira dengan karunia yang
diberikan Allah kepadanya, dan mereka menggembirakan orang-orang yang masih
tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Ali Imran : 170)
Malam
telah pekat. Di sebuah selasar lapang samping Pasir Reungit -Bogor- pada akhir
pekan lalu, majelis Lailatul Katibah digelar. Dua ratus dua puluh jiwa dengan
wajah lelah berjajar duduk sila di atas bentangan alas terpal. Jiwa-jiwa itu
lelah, tapi semoga tidak diliputi ketakutan dan kesedihan. Lelah memang dapat
menghantarkan seseorang pada ketakutan dan kesedihan; takut akan masa depan
yang belum pasti dan sedih akan kondisi yang dirasakannya kini.
Ditemani
lampu-lampu dengan sinaran terbatas yang tergantung di pucuk-pucuk pohon, headlamp-headlamp
yang terikat di pelipis-pelipis kepala, dan senter-senter yang tergenggam
jari-jemari tangan. Jiwa-jiwa itu berpayung keremangan, namun tetap dalam canda
nan riang dan binar nan benderang. Mengisi dingin angin gunung dengan
petuah-petuah Illahi; salah satunya adalah petuah di surat Ali Imran ayat 170 tersebut.
Menyelami
ayat ke 170 dari surat Ali Imran itu, maka kita diajak kepada sebuah etape
perjuangan yang menarik. Bahwa ayat ke 170 itu adalah statemen Allah azza wa
jalla bagi kepribadian seorang Muslim, sepanjang melalui dinamika
perjuangan. Dalam ayat itu Allah subhanahu wata’ala menyatakan, “Mereka bergembira.”
Siapakah mereka?
Yaitu
orang-orang yang gugur di jalan Allah, sebagaimana yang diutarakan pada ayat
sebelumnya. Ketika khalayak mempersepsikan bahwa mereka yang syahid telah mati,
segera Allah bantah bahwasannya mereka hidup bahkan bergembira. Kegembiraan
yang lahir karena mendapatkan karunia kesyahidan dari Allah azza wa jalla.
Ya, syahid itu adalah karunia; seberapa jauh dan peliknya kita mengejarnya,
bila Allah tiada berikan karunia-Nya maka tiada kan kita peroleh. Sungguh,
alangkah berbahagia yang dipilih menerima karunia tersebut.
Tapi,
yang bergembira ternyata bukan hanya mereka yang telah menerima karunia
kesyahidan. Melainkan yang masih dalam pengharapan dan penantian menerima
karunia kesyahidan tersebut pun berbahagia. Apa buktinya mereka bergembira? “Tidak
ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” demikian
firman-Nya.
Jadi,
tiadanya rasa takut dan rasa sedih itulah bukti kegembiraan diri. Maka
sebaliknya, orang yang bergembira hendaknya tak merasa takut dan tak merasa
sedih. Bila masih ada takut dan sedih, maka sangat mungkin ia belum benar-benar
dalam kondisi bergembira.
Menariknya,
kenapa persoalan kegembiraan ini perlu Allah nyatakan secara jelas? Sepenting
apakah kegembiraan itu? Baik bagi seorang muslim dalam penggambaran akan sosok
yang dimaksud pada firman-Nya ini, maupun bagi sebuah perjuangan dalam konteks
yang juga dimaksud pada firman-Nya ini.
Dua
Kondisi Rawan Bagi Kegembiraan
Sebelum
kita mencermatinya lebih dalam, ada baiknya kita melihat dua kondisi penting
yang berkaitan pada beberapa ayat setelahnya. Yaitu pada ayat 172 dan 173.
Kondisi
Pertama: “Orang-orang yang menaati Allah dan Rasul setelah mereka mendapat luka
(dalam perang Uhud).”
Kondisi
Kedua: “Orang-orang yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya,
‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena
itu takutlah kepada mereka’, ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka
dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia
sebaik-baik pelindung.’”
Dua
kondisi tersebut bisa terpisah, bisa pula kondisi kedua merupakan turunan dari
kondisi pertama. Bagaimanapun, itu menjelaskan bahwa kegembiraan seorang muslim
sejatinya adalah kegembiraan yang stabil. Bahwa mereka tetap bergembira, meski
mendapat luka dan ditakut-takuti. Tentu, bergembira dalam kondisi terluka
tidaklah mudah. Begitupun bergembira dalam kondisi ditakut-takuti juga tidaklah
mudah. Namun para sahabat Rasulullah mampu tetap bergembira, dan itulah yang
menjadi titik tekan penggambaran firman-Nya tersebut.
Jadi,
lebih jauh lagi dari sekadar arahan menjadi pribadi yang bergembira adalah
arahan tetap bergembira dalam kondisi terluka dan tertekan. Itulah poinnya.
Urgensi
Kegembiraan
Sekarang
mari kita cermati urgensi kegembiraan bagi seorang Muslim dan perjuangan,
sehingga Allah perlu menyatakannya dalam firman-Nya. Bahwa takut dan sedih
adalah dua hal yang paling penting untuk dihindari oleh seorang Muslim dalam
menjaga keimanannya dan memenangkan perjuangannya. Adapun takut dan sedih
merupakan lawan dari kegembiraan. Bila takut dan sedih merupakan hal paling
penting untuk dihindari, maka kegembiraan merupakan hal yang paling penting
untuk dimiliki. Karenanya Allah menghendaki kegembiraan merupakan suatu hal
yang menyatu dalam setiap individu mukmin.
Demi
menegaskan lagi, mari kita urai perkara Takut dan Sedih sebagai dua hal yang
pantang ada dalam diri Muslim bila ingin keimanannya terjaga dan perjuangannya
tercapai. Bagaimana proses munculnya rasa Takut dan pola dampaknya? Bagaimana
proses munculnya rasa Sedih dan pola dampaknya?
Rasa
Takut sesungguhnya merupakan kondisi yang lahir dari faktor eksternal. Merasa
terancam oleh lingkungan, merasa tak mampu bersaing dengan kompetitor, merasa
tak kuasa memprediksi dinamika sekitar; maka muncullah rasa Takut. Rasa takut
yang lahir dari faktor eksternal ini akhirnya berdampak pada diliputinya diri
dengan perasaan Lemah, lalu cenderung menjadi sosok yang Pengecut. Maka
menghadirkan kegembiraan dalam konteks ketakutan ini adalah menyikapi
lingkungan sebagai sahabat, menyikapi kompetitor sebagai lawan seimbang, dan
menyikapi dinamika sekitar sebagai hal yang mesti dihadapi.
Rasa
Sedih sesungguhnya merupakan kondisi yang lahir dari faktor internal. Merasa
termarjinalkan, merasa tak mampu berjuang, merasa tak kuasa menghadapi masa
depan; maka muncullah rasa Sedih. Rasa sedih yang lahir dari faktor internal
ini akhirnya berdampak pada diliputinya diri dengan perasaan Malas, lalu
cenderung menjadi sosok yang Pelit. Maka menghadirkan kegembiraan dalam konteks
kesedihan ini adalah dengan interaksi, mempersiapkan diri, dan menepati segala
yang harus dijalani.
Kira-kira
demikianlah proses munculnya rasa Takut dan Sedih serta pola dampaknya. Maka
dapat kita pahami, bahwa akan sulit bagi seorang Muslim mempertahankan
keimanannya dalam kondisi jiwa yang pengecut dan pelit; sebab pengecut dan
pelit akan membuat daya pertahanannya lemah karena cenderung ingin kenyamanan.
Begitupun dapat kita pahami, bahwa akan sulit bagi seorang Muslim memenangkan
perjuangannya dalam kondisi jiwa yang pengecut dan pelit, sebab pengecut dan
pelit akan membuat daya perjuangannya lemah karena cenderung enggan berkorban.
Rimba
Raya; Medan Kiprah Kita
Tiba
di dataran kaki gunung Salak pada pukul dua dini hari, lalu membangun tenda
bersama di areal semak nan tak tampak dengan baik karena pekatnya malam;
sungguh memancing Takut karena tak mengetahui dengan baik kondisi di areal itu
dan memancing Sedih karena tak boleh memilih areal lainnya yang lebih nyaman.
Belum lepas penat di tubuh segera dihimpun untuk upacara pembukaan pada pukul 8
pagi dan menyerahkan seluruh bahan makanan yang ada dalam tas masing-masing;
sungguh memicu Takut karena tak pasti apa yang akan dimakan pagi itu dan memicu
Sedih karena bekal terampas saat perut mulai menghendaki asupan makanan.
Mendapatkan jatah bahan makanan yang hanya serupa ataupun bila beragam hanya
sedikit-sedikit membuat diri Takut karena bingung mengolahnya agar memenuhi
kebutuhan kelompok dan Sedih karena tidak memenuhi harapan bagi kebutuhan diri.
Berjalan dini hari nan pekat, siang hari nan benderang, senja hari nan remang,
serta malam hari nan dingin mencekat lambung; mengundang rasa Takut karena tak
pasti jaraknya dan rasa Sedih karena bila hajat tiba tak jua sampai.
Demikianlah
rimba raya. Sesungguhnya itulah medan kiprah kita. Seelok apapun pulasan
panoramanya, pandanglah ia sebagai rimba raya. Sewaktu-waktu semua bisa
berubah; dan kita sangat dituntut untuk bersiap siaga. Jangan sampai
ketidak-siapan dan ketidak-siagaan kita, membuat diri kita rapuh digerogoti
rasa Takut dan rasa Sedih. Maka keimanan seperti apa yang bisa dipertahankan
oleh jiwa nan rapuh? Maka perjuangan seperti apa yang bisa dimenangkan oleh
jiwa nan rapuh?
Epilog
Akhirnya,
beginilah kita melalui jalan dakwah dan jalan jihad. Keimanan sejati memahami
betul bahwa jalan perjuangan tak selalu berbanding lurus dengan kenyamanan
bahkan lebih menghajatkan pengorbanan. Maka seorang muslim harus senantiasa
bergembira, tidak boleh ada rasa Takut akan kehilangan kenyamanan dan rasa
Sedih akan dimintakan pengorbanan. Bila belum bergembira secara total, maka ada
yang perlu ditelisik dari benih-benih keimanannya. Sebab kegembiraan adalah
buah dari keimanan. Takutnya seorang Mu’min hanyalah pada ancaman-Nya. Sedihnya
seorang Mu’min hanyalah bila tak mampu tunaikan amanah-Nya.
Lalu
apa yang membuat kita hanya ingin kenyamanan? Apa pula yang membuat kita enggan
berkorban? Padahal bila sedikit saja kita mulai hanya menginginkan kenyamanan,
maka kita mulai mengkondisikan diri pada rasa takut kehilangan kenyamanan
tersebut. Begitupun bila sedikit saja kita mulai enggan berkorban, maka kita
mulai mengkondisikan diri pada rasa sedih setiap ada yang harus terkorbankan.
Sungguh,
keimanan dan perjuangan tidak dipertahankan dan dimenangkan dengan seperti itu.
Cijantung, 30 Mei 2016
M Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar