sumber: ummi-online.com |
Sebagai
prolog singkat, saya ingin memulai dari hal mendasar tentang falsafah
pernikahan. Sebab bila terkait tips, maka itu sangat tergatung pada situasi dan
kondisi. Tetapi ada yang lebih penting dari perkara teknis, yaitu perkara falsafah
yang mendasarinya. Sebab sangat mungkin apa yang dilakukan seorang beriman dengan
seorang yang tidak beriman itu tampak sama, namun sesungguhnya falsafah yang
mendasarinya berbeda. Sayangnya terkait falsafah ini seringkali kita abaikan,
sehingga kita mungkin terjebak pada tafsir filosofi yang tidak lahir dari
prinsip keyakinan kita.
Maka
saya ingin memulai dari saat pernikahan telah berlangsung. Sebab itu yang
menjadi tujuan semua proses bertemu jodoh, namun itu pula yang menjadi awal
tantangan dalam kehidupan kita.
So,
yang pertama adalah memahami filosofi keyakinan kita akan struktur yang
mempertemukan kita dengan pasangan. Bahwa kemungkinannya ada tiga; yaitu bila
kita dipertemukan, bisa saja karena kesamaan atau keseimbangan atau
kelengkapan.
1.
Maka bila dipertemukan karena kesamaan, tinggallah melanjutkan secara
bersamaan.
2.
Maka bila dipertemukan karena keseimbangan, tinggallah melanjutkan dengan
mengimbangi.
3.
Maka bila dipertemukan karena kelengkapan, tinggallah melanjutkan dengan
melengkapi.
Kebanyakan
kita hanya memahami dengan kemungkinan pertama saja. Sehingga inilah yang
menjadi persoalannya.
Poin
Kedua yang ingin saya sampaikan adalah "Bahwa setelah kita membina diri,
maka kita tergelitik untuk turut dalam kehidupan masyarakat. Idealnya sebelum
memasuki dunia masyarakat, kita telah masuk pada dunia keluarga. Sebab keluarga
itulah yang menjadi pilar pembentuk masyarakat."
Maka
dahulu saya akhirnya memutuskan menikah, karena mulai mendapat amanah-amanah di
tengah masyarakat yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Baik dalam bentuk
organisasi, pengajian, forum, dan lainnya. Maka saya merasa perlu menikah untuk
memberikan keseimbangan rasa dalam berinteraksi dengan masyarakat majemuk itu.
Poin
ketiga sebagai prolog ini, saya ingin berbagi tentang proses yang pernah saya
selami.
1.
Saya memulai dengan itikad untuk menikah, dengan siapa, kapan dan di mana itu
soal teknis yang kita tak perlu merasa terlampau berkuasa menetapkannya.
Niatnya menikah, itu saja.
2.
Lalu saya berkesempatan pergi Haji, dan ada seorang dalam sebuah forum
menyampaikan bahwa ada anak perempuannya siap menikah.
3.
Saya yang turut menyimak pun beristikharah, sederhana saja. Bila proses ini
baik untuk saya jalani, maka saya memohon kepada Allah untuk memudahkan dalam
membuka komunikasi dengan bapak tersebut. Namun bila proses ini tidak baik,
maka memohon kepada Allah untuk mencarikan jalan yang lainnya.
4.
Setelah proses Mina, dan kembali ke pemondokan. Suatu malam saya hampiri bapak
itu, saya sampaikan bahwa ada yang ingin dibicarakan, bila ada waktu mungkin
bisa bicara.
5.
Lalu esok ba'da Shubuh sang bapak itu menghampiri, mengajak bicara. Maka
saya sampaikan, "Ustadz, kalau boleh saya izin menjajaki putrid,
ustadz." Sengaja saya menggunakan istilah menjajaki karena belum tahu akan
lanjut atau tidak. Sebab saya juga tidak tahu namanya, usianya dan orangnya.
Anak ke berapapun, saya tidak tahu.
6.
Lalu ustadz itu menyodorkan foto, minta saya lihat. Kalau nyaman, maka lanjut.
Kalau tidak, tak jadi masalah, toh belum saling kenal.
7.
Beliau tanya usia, dan bilang bahwa anaknya lebih tua. Dia tanya, bagaimana?
Saya jawab sederhana, "Kalau menurut ustadz, bagaimana?" kata beliau,
tidak ada masalah. Maka saya pun bilang, kalau begitu gak jadi masalah juga.
8.
...... Hingga akhirnya Allah berikan kemudahan sampai Aqad. Namun aqad tetap
bukanlah akhir, justru itulah awal bagi sebuah proses sesungguhnya.
Saya
kira 3 poin prolog itu dahulu ya...
Tanya
- Jawab
Pertanyaan
I
Assalamu'alaikum…
Kak,
saya mau tanya. Bedanya dipertemukan karena keseimbangan dengan dipertemukan
karena kelengkapan apa, ya?
Kedua,
ada gak sih 'pandangan pertama' dalam Islam?
Sukron
Dari
Ranger Single bukan Jomlo
✍🏻Tanggapan
Dipertemukan
karena keseimbangan itu begini: cowoknya pemarah, ceweknya penyabar. Salah satu
contohnya.
Dipertemukan
karena kelengkapan itu begini: cowoknya pandai produksi, ceweknya pandai
promosi.
Pandangan
pertama itu adalah tuntunan sunah. Memang harus melihat, bahkan mazhab zhahiri
memaknai melihat ini dengan makna umum seluas mungkin. Tapi secara sederhana
adalah melihat yang melahirkan kenyamanan/ketentraman sebagai tujuan dari
pernikahan.
Wallahu'alam
Pertanyaan
II
Assalamualaikum
Ranger
Wow
Sesuai
pengalaman ustadz, hal apa yang membuat kita yakin dan mantab dengan pilihan
kita, kalau dia jodoh kita.
✍🏻Tanggapan
Yang
bisa kita jangkau hanyalah perkara kenyamanan hati dan mengetahui kemiripan-kemiripan,
baik fisik maupun pola hidup (meskipun tidak mudah mengetahui secara sempurna karena
belum hidup bersama). Tentu ini setelah istikharah.
Tapi
hal yang perlu dipahami adalah dalam hal memahami jodoh, bahwa jodoh itu
selamanya adalah rahasia Allah. Sebab jodoh itu bermakna purna, sedangkan tak
satupun kita mengetahui titik akhir. Maka pernikahan tidak bisa serta-merta
diklaim sebagai jodoh, sebab banyak kasus adanya perceraian.
Dan
sesungguhnya kita memang tidak dituntut untuk memahami jodoh, yang dituntut
dari kita adalah menyikapi semua yang sedang kita hadapi dengan Sabar dan Syukur.
Tapi
sabar itu tidak selalu ketika kita mendapati pasangan yang kurang berkenan,
begitupun syukur tidak selalu ketika kita mendapati pasangan yang berkenan.
Sebagian
sabar justru saat kita mendapati pasangan yang berkenan, dan sebagian syukur
justru saat kita mendapati pasangan yang tidak berkenan.
Inilah
konsepsi yang lahir dari prinsip Tauhid kita. Dan inilah yang melahirkan sikap
hidup sewajarnya. Tidak terlalu heboh, dan tidak terlalu cuek; dalam merayakan
sebuah pernikahan.
Pertanyaan
III
Ranger
94
Kak,
setiap kita tentu punya kriteria masing-masing akan calon pasangan yang
diharapkannya. Sederhanya di …. kita diajarkan memilih karena visinya sama.
Namun,
banyak yang mengatakan, memilih pasangan jangan mematok kriteria yang saklek
nanti susah dapat jodoh. Atau beranggapan, semua orang bisa berubah, yang penting
jalani dulu saja.
Bagaimana
tanggapan Kakak akan hal ini?
Sebaiknya
bagaimana kita menyikapi jika memang ada kriteria khusus terkait untuk
menjalani rumah tangga ke depannya?
✍🏻Tanggapan
Punya
kriteria tentu lebih baik, sebab memudahkan dalam proses seleksi. Itu hukum
alamnya. J
Tetapi
yang perlu dipahami adalah bahwa yang membuat susah atau mudahnya mendapati
pasangan (saya ubah ya, bukan jodoh) bukanlah perkara kriteria. Sebab yang
memudahkan dan menyusahkan itu perkara kuasa Allah. Berapa banyak yang tidak
punya kriteria, tapi susah mendapati pasangan? Berapa banyak yang banyak
kriteria, tapi mudah mendapati pasangan? Sungguh itu bukan persoalan kriteria.
Intinya,
bila memang dimudahkan mendapati jodoh, maka itulah ketentuan Allah baginya.
Bila memang susah mendapati jodoh, maka itulah ketentuan Allah. Sebab hukum
menikah itu tidak selalu sunnah, ia bisa menjadi wajib, bisa pula menjadi
haram. Tergantung pada motif, proses dan dampaknya.
Sekadar
saran, jangan takut membuat kriteria, namun jangan letakkan kriteria itu jauh lebih
kuasa dari kuasa-Nya. J
Pertanyaan
IV
Rangers
Akan Nikah
Maksud
dari seteleh aqad itu adalah proses sesungguhnya apa yah? Bagaimana kita menghadapi
itu semua?
Matur
nuwun
✍🏻Tanggapan
Sebagian
besar kita menganggap bahwa setelah aqad, semua beres. Persaingan mendapatkan
pasangan usai, pasangan seutuhnya milik kita, kegalauan sirna dan sebagainya.
Padahal,
sebagaimana fase kehidupan lainnya, pernikahan juga merupakan ujian sebagiannya
dan sebagiannya juga kenikmatan. Karenanya tetap butuh dihadapi dengan Sabar
dan Syukur.
Yang
paling penting biasanya perkara mengenali pasangan dan keluarganya, serta
dengan keluarga kita. Di situlah konfliknya, baik yang terungkap maupun tidak
terungkap. Maka tantangan kita yang utama adalah menyelesaikan konflik ini pada
permulaannya.
Memang
kehidupan kita telah diliputi dengan segala mitos ‘malam pertama’ dan
sebagainya. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selamat dari mitos-mitos
ini. J
Pertanyaan
V
Assalamu'alaikum
Kang Irfan...
Kalau
boleh tahu dan kalau tidak keberatan, Kang Irfan nikah di usia berapa? Dan
istri usia berapa?
Next
pertanyaan dalam bentuk feedback.
#RangerMuda
✍🏻Tanggapan
Saya
nikah usia 25, dua bulan lagi usia 26.
Tapi
bukan karena usia itu, saya memutuskan menikah. Melainkan karena semakin
banyaknya peran-peran publik yang melibatkan pria dan perempuan. Maka saya
merasa harus menikah, sebelum jauh memasuki dunia masyarakat.
Pertanyaan
VI
Tanggapan
dari #rangermuda
Terkait
jarak usia, bagaimana tanggapan Kang Irfan mengenai statement "Jangan
menikah dengan wanita yang lebih tua dari laki-laki" dengan berbagai macam
alasannya yang mungkin Kang Irfan juga tahu?
✍🏻Tanggapan
Maaf,
saya kurang tahu pasti statemen itu dari mana. Tapi Rasulullah pun nikah dengan
yang lebih tua.
Yang
jelas ini perkara muamalah yang hukum asalnya boleh, selama tidak ada nash yang
tegas melarangnya.
Pertanyaan
VII
Rangers
bening
Bagaimana
pandangan Ustadz, jika calon mertua menolak karena belum punya penghasilan
tetap? Atau melihat materi calon suami anaknya?
✍🏻Tanggapan
Kalau
calon mertua itu adalah orang tua/wali istri, maka harus dipenuhi. Sebab yang
akan menikahkan adalah orang tua/wali itu, kalau gak dipenuhi maka bisa
batal. J
Yang
menjadi persoalan adalah kita keburu mematok calon pasangan, sehingga tidak
siap dengan penolakan dan beralih ke calon lain. J
Pertanyaan
VIII
Feed
back : #rangermuda
Baik,
Kang.
Makasih
tanggapannya.
Pertanyaan
lain Kang,
Dalam
memilih keputusan untuk menikah, saya pribadi sering mendapatkan teman laki-laki
yang tetap melangsungkan pernikahan meski orangtua laki-laki tidak setuju, dan
mereka.mengambil kaidah bahwa sah rukun nikah salah satunya adanya saksi dari
wali wanita. Gimana tuh, Kang?
✍🏻Tanggapan
Begini...
Sesuatu hukum (penilaian) sangat tergantung pada Motif, Proses dan Dampak.
Menikah
tanpa izin ortu lelaki tetap sah. Namun yang perlu dicermati adalah 3 hal
tersebut, karena itulah yang menentukan tepat dan tidak tepatnya pernikahan. Karena
persoalan fiqh itu bukan sekadar benar dan salah, melainkan juga tepat dan tidak
tepat.
Apa
motif dia menikah tanpa seizin ortu? Bagaimana proses ia menikah? Bagaimana
dampak menikahnya tanpa seizin ortu?
Pertanyaan
IX
Kak,
mau nanya.
Saya
masih anak bawang, masih pelajar, hehe. Mungkin ini masih jauh banget dari
pernikahan, tapi juga masalah perasaan. J
Ada
seseorang yang suka, dan gerak-geriknya kadang membuat saya risih. Gimana
caranya menjaga hati dan menganggap semua biasa-biasa aja?
✍🏻Tanggapan
Kita
semua tetap akan selalu masih belajar.
Persoalan
rasa adalah target dari keberagamaan kita. Bahwa di antara tujuan dakwah Rasul,
adalah memisahkan antara perasaan dengan realita.
Memang
latihan untuk mampu memisahkan realita dengan perasaan tidak mudah, prosesnya
panjang. Tapi teruslah berlatih, diawali dengan merasakan totalitas kuasa
Allah. Sehingga apapun realitanya, kita tetap harus punya rasa yang biasa.
Kalau tidak Syukur, maka Sabar. Jangan sampai berlebihan sedih, atau berlebihan
bahagia. Sebab berlebihan adalah celah bagi setan.
Satu
lagi yang perlu dipahami adalah tentang titik kelemahan diri. Kalau kita merasa
lemah dengan lawan jenis, maka kita akan selalu diuji dengan keberadaan lawan
jenis. Sebab ujian dari Allah itu hakikatnya untuk meningkatkan titik kelemahan
kita menjadi lebih baik. Selama kita belum memperbaiki titik kelemahan itu,
maka kita akan selalu diuji pada titik terlemah itu. Maka terapinya adalah
menjauhi kondisi-kondisi yang berkaitan dengan titik terlemah kita.
Saya
dahulu juga merasa lemah terkait lawan jenis. Maka saya tidak berinteraksi dengan
lawan jenis sampai lulus S1, baru kemudian setelah saya merasa sudah cukup
memperbaiki titik terlemah itu, saya membuka diri dengan lawan jenis. Tentu dengan
batasan-batasannya.
Yang
tahu titik terlemah diri hanya kita. Di sinilah kejujuran kita pada Rabb Yang
Maha Mengetahui.
Pertanyaan
X
*Ranger
Purple
Bagaimana
cara mengukur kesiapan kita untuk menikah?
✍🏻Tanggapan
Yang
tahu siap tidaknya hanya kita. Ukuran yang bisa digunakan ada dua hal: secara
Aqidah dan secara Teknis.
Secara
Aqidah, ukurannya adalah seberapa kita yakin dengan Allah. Semakin yakin dengan
Allah, maka semakin siap kita menikah.
Secara
Teknis, ukurannya adalah bagaimana persiapan finansial, psikologi, dan
komunikasi dengan keluarga. Semakin kita siap secara finansial, psikologi, dan
komunikasi dengan keluarga, maka semakin siap kita menikah.
Kalau
standar kesiapan, tidak ada patokan. Namun yang harus dipahami adalah bahwa
menikah itu adalah peristiwa besar, maka itu sangat melibatkan Allah.
Dan
hidup kita, tidak menjawab apa yang kita inginkan. Melainkan menjawab apa yang
Allah inginkan dari kita. Karenanya, mengalir saja. Berdoa pada Allah, nanti
Dia yang akan memberikan kesiapan.
Jangan
terlalu berusaha menunda, jangan terlalu berusaha mempercepat.
Sebab
yang sudah menikah, belum tentu lebih baik dari yang belum menikah. Dan yang belum
menikah, belum tentu lebih baik dari yang sudah menikah.
Pertanyaan
XI
#Rangersbiru
Bagaimana
jika sudah memiliki kecendurungan / rasa suka pada seorang ikhwan, salah kah?
Dan sebenarnya konsep "Mencintai dalam Diam" itu boleh diterapkam
atau tidak ya, Kak? Terimakasih.
✍🏻Tanggapan
Kecenderungan
atau rasa suka itu tidak salah. Karena rasa itu di luar kontrol kesadaran kita.
Dan semua yang di luar kontrol kesadaran itu dimaafkan. Tinggal bagaimana follow
up dari kecenderungan itu. Sekali lagi, motif - proses – dampak, itulah yang
akan menentukan hukumnya.
Konsep
mencintai dalam diam itu tidak ada dalam kaedah Islam. Sebab dalam Islam, cinta
itu diungkapkan. Tetapi tetap mempertimbangkan motif mengungkapkannya, proses
pengungkapannya, dan dampak pengungkapannya.
Pertanyaan
XII
Assalamu'alaikum,
Kak… Aku rangers, mau bertanya: Bagaimana sikap kita jika kita suka dengan
ikhwan, dan kita terus terang pada ikhwan tersebut? Bagaimana tanggapannya, Kak?
✍🏻Tanggapan
Adabnya,
melalui perantara. Dan perantara terbaik adalah orang yang amanah dari
kerabatnya.
Sembari
tetap siap membedakan antara realita dan rasa. Bila realitanya tidak lanjut,
maka apa rasa kita? Bila realitanya lanjut, maka apa rasa kita?
Seorang
muslim harus mampu membedakan realita dan rasa, karena itulah indikasi
kebaikan. Berapa banyak umat yang akhirnya hancur, karena gagal memisahkan
realita dan rasa.
Pertanyaan
XIII
Tanggapan
#rangermuda
Artinya
sah-sah saja menurut Kang Irfan, seorang laki-laki menikah tanpa izin ortu?
✍🏻Tanggapan
Itu
bukan menurut saya, tapi menurut Allah dan Rasul-Nya.
Begitulah
hukum fiqh-nya. Tetapi sekali lagi, bahwa ranah fiqh itu bukan sekadar perkara
sah dan tidak sah, melainkan juga tepat dan tidak tepat. Ingat, pertimbangkan:
Motif, Proses, dan Dampak.
Pertanyaan
XIV
Ranger
Hijau
Bang,
mau minta tanggapannya.
Ada
sebuah keadaan di mana nikah menjadi kebutuhan. Dengan tujuan menjaga diri dari
hal-hal yang kotor. Karena tekanan psikologis amat kuat untuk hal tersbut.
Di
sisi lain, kesiapan dalam hal waktu dan finansial belum mencukupi untuk
melaksanakan hal tersebut.
Kira-kira
apa solusi terbaik dalam memaksimalkan pertahanan diri untuk urusan tersebut?
Dalam teorinya, salah satunya kita dianjurkan untuk berpuasa. Nah, berpuasa yang
seperti apakah yang benar-benar dapat memproteksi diri kita dari hal kotor tersebut?
✍🏻Tanggapan
Yang
perlu dicermati adalah apa yang membuat 'nikah menjadi kebutuhan'. Jangan
sampai kita sibuk mencari alternatif solusi, sementara di sisi lain ada pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab terus membisik-bisikkan tentang nikah, hingga
seakan semuanya harus segera menikah. Kalau ini yang terjadi, maka masalah tidak
akan pernah selesai.
Obrolan ini berlangsung pada 29 – 30 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar