sumber: coachluthfi.wordpress.com |
عَنْ
أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: "أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ،
وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟" قَالَ: "نَعَمْ."
Dari
Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma: bahwa
seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, ia
berkata: “Bagaimana pendapat Engkau, jika aku melaksanakan shalat wajib dan
berpuasa Ramadhan dan aku menghalalkan yang halal dan aku mengharamkan yang
haram, dan aku tidak tambah sedikitpun atasnya, apakah aku akan masuk surga?”
Beliau bersabda: “Ya.”
Hadits
ini tercantum dalam Shahih Muslim pada kitab Al Iman di bab Penjelasan Iman.
Hadits ini menjadi istimewa, sebagaimana menurut Imam Al Jurdani karena ia
memaparkan terkait perihal Halal dan Haram. Adapun Halal dan Haram dalam
konteks keberagamaan kita sesungguhnya merupakan siklus syariat Islam. Sebab
dua sisi syariat ini adalah Halal dan Haram. Bila sesuatu tidak Halal, maka sesuatu
itu Haram. Begitupun sebaliknya bila sesuatu tidak Haram, maka sesuatu itu Halal.
Menjelaskan
tentang Halal dan Haram, maka melancarkan siklus syariat agama. Sebagaimana
hukum siklus pada umumnya, bila tidak seimbang maka akan menjadi keruh
bermasalah. Oleh karenanya, Halal dan Haram harus pula dipahami dan dijalani
secara seimbang sebagaimana ketentuannya. Seperti panas dan dingin, hujan dan
kemarau, serta siang dan malam; harus seimbang sebagai sebuah siklus kehidupan.
Tetapi
menurut Imam Al Jurdani, tidak hanya perkara keseimbangan siklus, lebih jauh
lagi bahwa hadits ini menjadi penting karena Halal dan Haram itu berujung pada
ketentuan syarat masuk ke surga-Nya. Siapa yang ingin masuk Surga, maka
dekatilah yang Halal dan jauhilah yang Haram.
Seorang
lelaki yang disebutkan bertanya dalam riwayat ini adalah Nu’man al Khaza’i.
Ialah seorang sahabat yang sungguh-sungguh turut serta dalam perang Badar, lalu
menemui kesyahidannya saat mengikuti perang Uhud. Sungguh kesyahidannya dalam
perang Uhud karena prasangka baiknya kepada Allah yang akan memasukkannya ke
Surga, demikian ujar Rasulullah saat mendapati jasad Nu’man.
Ada
beberapa istilah yang unik dalam hadits ini; seperti Maktubat, Menghalalkan
yang Halal, serta Mengharamkan yang Haram. Istilah Maktubat diungkapkan untuk
penunjukkan shalat fardhu, sebab demikianlah Allah subhanahu wata’ala telah
mencirikan sholat-sholat wajib itu dengan ciri ‘Ketetapan Waktu’ sebagaimana
firman-Nya pada surat An Nisaa’ ayat 103. “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Adapun
istilah ‘Menghalalkan yang Halal’ dan ‘Mengharamkan yang Haram’ merupakan
istilah yang sungguh indah. Sebab suatu yang Halal, kita halalkan. Begitupun
suatu yang Haram, kita haramkan. Ini bukan berarti kita sebagai manusia
memiliki kuasa menghalalkan dan mengharamkan, sebab ianya telah Halal dan telah
Haram pada mulanya. Maka maksud istilah ‘mengharamkan’ dan ‘mengharamkan’
adalah meyakini bahwa sesuatu itu halal atau haram lalu melakukannya atau
meninggalkannya berdasar keyakinan tersebut, demikian menurut Imam An Nawawi.
Maka bila seseorang melakukan yang halal dan meninggalkan yang haram tanpa
keyakinan bahwa hal itu halal atau haram, misalnya karena memang sudah menjadi
kebiasaan di lingkungannya, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai ‘menghalalkan
yang halal’ dan ‘mengharamkan yang haram’. Begitupun bila hanya meyakini, namun
tidak melakukan sesuai yang diyakini, maka juga tidak bisa dikatakan sebagai ‘menghalalkan
yang halal’ dan ‘mengharamkan yang haram’.
Kejujuran
Iman dalam Memperhatikan Amalan Utama
Mencermati
pertanyaan Nu’man dalam riwayat ini, maka kita menemukan suatu fenomena menarik
di kalangan sahabat. Bahwa, bagaimanapun suatu pertanyaan yang terlontar
biasanya menggambarkan tentang sesuatu yang memang menjadi konsen perhatian si penanya
atau masyarakat di sekitar si penanya. Sehingga ketika kita menyimak pertanyaan
Nu’man tentang sholat dan puasa tersebut, kira-kira memang dua hal itulah yang
dahulu menjadi konsen perhatian para sahabat. Sungguh para sahabat sangat
memperhatikan persoalan ibadah yang mendekatkan pada ketakwaan dan surga-Nya,
sehingga pembicaraan mereka tidak jauh dengan tema itu dan selalu ingin
bertanya tentang hal itu. Dan ini sekaligus menjadi bukti kejujuran iman mereka,
sehingga menyukai pembicaraan segala hal yang paling mendekatkan pada keimanan.
Namun
selain memang itulah hal-hal yang menjadi konsen perhatian para sahabat, Sholat
dan Puasa juga memang merupakan amal terpenting dalam kehidupan agama kita.
Shalat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Syaqiiq al Aqly, menjadi
ukuran di kalangan sahabat untuk menilai seseorang telah kembali kufur bila
meninggalkannya. Begitupun puasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abbas radhiyallahu
‘anhu, bahwa tali dan pondasi Islam ada tiga, Islam tegak di atas ketiganya,
barangsiapa meninggalkan salah satunya maka ia adalah kafir dan halal darahnya;
ketiganya adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Shalat wajib dan
puasa Ramadhan. Dan di antara hadits yang masyhur tentang puasa adalah
bahwasannya ia merupakan satu-satunya amal yang imbalannya langsung diberikan
oleh Allah. Maka shalat dan puasa menjadi sangat penting untuk selalu
diperbincangkan dalam kehidupan agama kita, karena ia menjadi batas keimanan
dan kekufuran kita.
Karenanya,
para ulama mazhab telah detail membahas hukum bagi orang-orang yang
meninggalkan shalat. Bahwa mereka yang meninggalkannya dikategorikan menjadi
dua bagian; yang meninggalkan karena kejahilan maka ia adalah kafir, dan yang
meninggalkan karena kemalasan maka ia adalah fasiq. Lalu para ulama mazhab
masing-masingnya berpendapat atas hukum orang-orang fasiq yang meninggalkan
shalat karena malas ini. Abu Hanifah berpendapat, mereka yang malas melakukan
shalat hendaknya dipenjara dan dikenakan hukuman cambuk sampai bertobat, bila
tetap malas maka tetap dipenjara untuk mengisolir penyakit malasnya agar tidak
menular di lingkungannya. Adapun ulama mazhab selain beliau berpendapat cukup
diminta untuk bertaubat. Hanya saja jika tetap tidak mau bertaubat dari
kemalasannya, maka ada dua pendapat dalam penyikapan hukumannya. Mazhab Hanbali
berpendapat dikenakan hukuman mati sebagai seorang murtad, sehingga jenazahnya
tidak berhak diurus sesuai syariat Islam. Hal ini yang juga pernah dinyatakan
oleh Umar bin Khathab, Abdullah bin Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabal. Menariknya di
sini, bahwa Umar dan Ibnu Mas’ud yang biasanya memiliki pendapat berbeda, dalam
hal menyikapi mereka yang malas shalat dan tidak mau bertaubat ini keduanya memiliki
pendapat yang sama. Adapun mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa orang
yang malas sholat dan tidak mau bertaubat maka dikenakan hukuman mati namun tetap
dianggap sebagai muslim, sehingga jenazahnya diurus sesuai syariat Islam.
Kejujuran
Iman dalam Memudahkan Beramal
Jauh
lebih menarik lagi bila kita mencermati jawaban Rasulullah. Singkat. “Ya”,
begitulah jawaban beliau. Sangat singkat.
Tapi
memang begitulah jawaban cerdas untuk pertanyaan cerdas. Sebagaimana kita telah
mengamati dalam perjalanan sejarah kehidupan ini, bahwa pertanyaan-pertanyaan
tertutup merupakan ciri khas pertanyaan cerdas. Sebab di penanya telah memiliki
perspektif utuh tentang hal yang ditanyakannya, sedangkan bertanyanya hanya
untuk mengkonfirmasi sesuatu yang ia mampu menyimpulkannya. Maka jawaban cerdas
adalah jawaban yang membuat si penanya puas dan perkara menjadi jelas. Ringkas,
namun mengandung kejelasan dan memuaskan.
Maka,
bila kita Tarik pada misi awal Rasulullah diutus, sesungguhnya inilah cerminan
dari misi tersebut. Yaitu menjadi rahmat bagi semesta. Rahmat itu memudahkan,
dan jawaban ‘Ya’ adalah diantara kemudahan tersebut. Yang terpenting Nu’man
jujur dalam beriman, lalu melakukan amalan yang wajib dan meninggalkan yang
haram semampunya walaupun terkesan minimalis, maka Rasulullah
memperkenankannya. “Mudahkan, janga dipersulit”, demikian kaedah dakwahnya.
Inilah
yang dikehendaki Allah azza wa jalla. Akan kita dapati bila mencermati
ayat ke 185 dari surat al Baqarah ketika Allah memberikan keringan bagi yang
tiada mampu berpuasa dengan ungkapan, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Begitupun
ungkapan-Nya nan indah di permulaan ayat terakhir surat al Baqarah, “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Bahkan
ketika Allah memerintahkan jihad, Dia sambung dengan deskripsi bahwa itu
bukanlah kesempitan beragama bagi kita. “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,” begitu tegas-Nya.
Kejujuran
Iman dalam Menyikapi Halal dan Haram
Ketika
kita meyakini bahwa syariat Islam berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui
seluruh ciptaan-Nya, maka kita juga meyakini bahwa yang ditetapkan oleh syariat
adalah semata-mata bagi kebaikan manusia. Oleh karenanya, kita juga meyakini
bahwa pada setiap ketetapan Halal dan Haram merupakan kunci keselamatan kita di
dunia dan akhirat.
Mengambil
yang halal dan meninggalkan yang haram merupakan karakter seorang yang beriman.
Sebagaimana karakter orang beriman yang Allah firmankan, “Mereka itu adalah
orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang
ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan
yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” Mengambil
yang halal itu merupakan amar mar’ruf, dan meninggalkan yang haram itu
merupakan nahi munkar.
Sebagaimana
hal ini merupakan kunci keselamatan dunia dan akhirat, maka seperti yang
dinyatakan oleh Imam Al Jurdani ketika menyatakan urgensi hadits ini bahwa seimbangnya
siklus Halal dan Haram akan menghantarkan kita ke surga-Nya, sesungguhnya Allah
subhanahu wa ta’ala juga telah menyatakannya dalam surat an Nisa’ ayat
31. “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
Ulama
menyimpulkan tujuh hal yang merupakan dosa-dosa besar. Yaitu Zina,
Mabuk-mabukan, Sihir, Menuduh zina, Membunuh, Riba, dan Lari dari perang.
Begitulah janji-Nya, maka hendaknya kita berkomitmen padanya. Menjauhi yang
haram, dan melakukan yang halal.
Epilog
Demikianlah
kemudahan beragama akan kita rasakan bila kita jujur dalam keimanan. Ketika
kita jujur dalam beriman, maka kita akan terus bersemangat melaksanakan
amal-amal utama yang akan mengantarkan kita pada keimanan yang hakiki.
Begitupun ketika kita jujur dalam beriman, kita akan selalu merasa ringan dan
mudah dalam menunaikan amal-amal walaupun jihad yang berat sekalipun. Termasuk
bila kita jujur dalam beriman, maka kita akan sederhana mensinkronkan syariat
dengan hajat kehidupan; bila hajat itu halal bagi syariat maka kita bisa dapatkan,
namun bila hajat itu haram bagi syariat maka kita tinggalkan.
Sesederhana
dan semudah itulah kehidupan beragama kita, bila kita jujur dalam beriman.
Tidak ada yang perlu ditunda dari amal-amal sebab kita bisa melakukan semampu
kita, tidak ada yang perlu dikeluhkan dari amal-amal sebab jujurnya iman kita
melahirkan cinta pada amal-amal itu, serta tidak ada yang perlu dibenturkan
dari syariat agama ini dengan kehidupan kita sebab ketetapan halal dan haramnya
adalah untuk keselamatan kita jua.
Ingatlah
selalu firman-Nya berikut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” Maka janganlah melampau batas dari batasan yang telah
ditetapkan-Nya.
Mengomentari
hanya Shalat dan Puasa yang ditanyakan oleh Nu’man, padahal ada rukun Islam
lain yang tidak kalah pentingnya yaitu Zakat dan Haji, maka ulama memiliki tiga
pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Nu’man bertanya sebelum ada syariat
Zakat dan Haji. Pendapat kedua mengatakan bahwa Nu’man sebagai penanya termasuk
golongan miskin yang tidak dibebani kewajiban Zakat dan Haji. Pendapat ketiga
mengatakan bahwa Zakat dan Haji sudah termasuk dalam perkara yang dihalalkan
atau diperintahkan.
Jakarta, 12 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar