Kamis, 12 Mei 2016

(Kajian Hadits) KEJUJURAN IMAN AKAN MEMUDAHKAN KITA BERAGAMA

sumber: coachluthfi.wordpress.com

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟" قَالَ: "نَعَمْ."

Dari Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma: bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Bagaimana pendapat Engkau, jika aku melaksanakan shalat wajib dan berpuasa Ramadhan dan aku menghalalkan yang halal dan aku mengharamkan yang haram, dan aku tidak tambah sedikitpun atasnya, apakah aku akan masuk surga?” Beliau bersabda: “Ya.”

Hadits ini tercantum dalam Shahih Muslim pada kitab Al Iman di bab Penjelasan Iman. Hadits ini menjadi istimewa, sebagaimana menurut Imam Al Jurdani karena ia memaparkan terkait perihal Halal dan Haram. Adapun Halal dan Haram dalam konteks keberagamaan kita sesungguhnya merupakan siklus syariat Islam. Sebab dua sisi syariat ini adalah Halal dan Haram. Bila sesuatu tidak Halal, maka sesuatu itu Haram. Begitupun sebaliknya bila sesuatu tidak Haram, maka sesuatu itu Halal.

Menjelaskan tentang Halal dan Haram, maka melancarkan siklus syariat agama. Sebagaimana hukum siklus pada umumnya, bila tidak seimbang maka akan menjadi keruh bermasalah. Oleh karenanya, Halal dan Haram harus pula dipahami dan dijalani secara seimbang sebagaimana ketentuannya. Seperti panas dan dingin, hujan dan kemarau, serta siang dan malam; harus seimbang sebagai sebuah siklus kehidupan.

Tetapi menurut Imam Al Jurdani, tidak hanya perkara keseimbangan siklus, lebih jauh lagi bahwa hadits ini menjadi penting karena Halal dan Haram itu berujung pada ketentuan syarat masuk ke surga-Nya. Siapa yang ingin masuk Surga, maka dekatilah yang Halal dan jauhilah yang Haram.

Seorang lelaki yang disebutkan bertanya dalam riwayat ini adalah Nu’man al Khaza’i. Ialah seorang sahabat yang sungguh-sungguh turut serta dalam perang Badar, lalu menemui kesyahidannya saat mengikuti perang Uhud. Sungguh kesyahidannya dalam perang Uhud karena prasangka baiknya kepada Allah yang akan memasukkannya ke Surga, demikian ujar Rasulullah saat mendapati jasad Nu’man.

Ada beberapa istilah yang unik dalam hadits ini; seperti Maktubat, Menghalalkan yang Halal, serta Mengharamkan yang Haram. Istilah Maktubat diungkapkan untuk penunjukkan shalat fardhu, sebab demikianlah Allah subhanahu wata’ala telah mencirikan sholat-sholat wajib itu dengan ciri ‘Ketetapan Waktu’ sebagaimana firman-Nya pada surat An Nisaa’ ayat 103. “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Adapun istilah ‘Menghalalkan yang Halal’ dan ‘Mengharamkan yang Haram’ merupakan istilah yang sungguh indah. Sebab suatu yang Halal, kita halalkan. Begitupun suatu yang Haram, kita haramkan. Ini bukan berarti kita sebagai manusia memiliki kuasa menghalalkan dan mengharamkan, sebab ianya telah Halal dan telah Haram pada mulanya. Maka maksud istilah ‘mengharamkan’ dan ‘mengharamkan’ adalah meyakini bahwa sesuatu itu halal atau haram lalu melakukannya atau meninggalkannya berdasar keyakinan tersebut, demikian menurut Imam An Nawawi. Maka bila seseorang melakukan yang halal dan meninggalkan yang haram tanpa keyakinan bahwa hal itu halal atau haram, misalnya karena memang sudah menjadi kebiasaan di lingkungannya, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai ‘menghalalkan yang halal’ dan ‘mengharamkan yang haram’. Begitupun bila hanya meyakini, namun tidak melakukan sesuai yang diyakini, maka juga tidak bisa dikatakan sebagai ‘menghalalkan yang halal’ dan ‘mengharamkan yang haram’.

Kejujuran Iman dalam Memperhatikan Amalan Utama

Mencermati pertanyaan Nu’man dalam riwayat ini, maka kita menemukan suatu fenomena menarik di kalangan sahabat. Bahwa, bagaimanapun suatu pertanyaan yang terlontar biasanya menggambarkan tentang sesuatu yang memang menjadi konsen perhatian si penanya atau masyarakat di sekitar si penanya. Sehingga ketika kita menyimak pertanyaan Nu’man tentang sholat dan puasa tersebut, kira-kira memang dua hal itulah yang dahulu menjadi konsen perhatian para sahabat. Sungguh para sahabat sangat memperhatikan persoalan ibadah yang mendekatkan pada ketakwaan dan surga-Nya, sehingga pembicaraan mereka tidak jauh dengan tema itu dan selalu ingin bertanya tentang hal itu. Dan ini sekaligus menjadi bukti kejujuran iman mereka, sehingga menyukai pembicaraan segala hal yang paling mendekatkan pada keimanan.

Namun selain memang itulah hal-hal yang menjadi konsen perhatian para sahabat, Sholat dan Puasa juga memang merupakan amal terpenting dalam kehidupan agama kita. Shalat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Syaqiiq al Aqly, menjadi ukuran di kalangan sahabat untuk menilai seseorang telah kembali kufur bila meninggalkannya. Begitupun puasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa tali dan pondasi Islam ada tiga, Islam tegak di atas ketiganya, barangsiapa meninggalkan salah satunya maka ia adalah kafir dan halal darahnya; ketiganya adalah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Shalat wajib dan puasa Ramadhan. Dan di antara hadits yang masyhur tentang puasa adalah bahwasannya ia merupakan satu-satunya amal yang imbalannya langsung diberikan oleh Allah. Maka shalat dan puasa menjadi sangat penting untuk selalu diperbincangkan dalam kehidupan agama kita, karena ia menjadi batas keimanan dan kekufuran kita.

Karenanya, para ulama mazhab telah detail membahas hukum bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Bahwa mereka yang meninggalkannya dikategorikan menjadi dua bagian; yang meninggalkan karena kejahilan maka ia adalah kafir, dan yang meninggalkan karena kemalasan maka ia adalah fasiq. Lalu para ulama mazhab masing-masingnya berpendapat atas hukum orang-orang fasiq yang meninggalkan shalat karena malas ini. Abu Hanifah berpendapat, mereka yang malas melakukan shalat hendaknya dipenjara dan dikenakan hukuman cambuk sampai bertobat, bila tetap malas maka tetap dipenjara untuk mengisolir penyakit malasnya agar tidak menular di lingkungannya. Adapun ulama mazhab selain beliau berpendapat cukup diminta untuk bertaubat. Hanya saja jika tetap tidak mau bertaubat dari kemalasannya, maka ada dua pendapat dalam penyikapan hukumannya. Mazhab Hanbali berpendapat dikenakan hukuman mati sebagai seorang murtad, sehingga jenazahnya tidak berhak diurus sesuai syariat Islam. Hal ini yang juga pernah dinyatakan oleh Umar bin Khathab, Abdullah bin Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabal. Menariknya di sini, bahwa Umar dan Ibnu Mas’ud yang biasanya memiliki pendapat berbeda, dalam hal menyikapi mereka yang malas shalat dan tidak mau bertaubat ini keduanya memiliki pendapat yang sama. Adapun mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang malas sholat dan tidak mau bertaubat maka dikenakan hukuman mati namun tetap dianggap sebagai muslim, sehingga jenazahnya diurus sesuai syariat Islam.

Kejujuran Iman dalam Memudahkan Beramal

Jauh lebih menarik lagi bila kita mencermati jawaban Rasulullah. Singkat. “Ya”, begitulah jawaban beliau. Sangat singkat.

Tapi memang begitulah jawaban cerdas untuk pertanyaan cerdas. Sebagaimana kita telah mengamati dalam perjalanan sejarah kehidupan ini, bahwa pertanyaan-pertanyaan tertutup merupakan ciri khas pertanyaan cerdas. Sebab di penanya telah memiliki perspektif utuh tentang hal yang ditanyakannya, sedangkan bertanyanya hanya untuk mengkonfirmasi sesuatu yang ia mampu menyimpulkannya. Maka jawaban cerdas adalah jawaban yang membuat si penanya puas dan perkara menjadi jelas. Ringkas, namun mengandung kejelasan dan memuaskan.

Maka, bila kita Tarik pada misi awal Rasulullah diutus, sesungguhnya inilah cerminan dari misi tersebut. Yaitu menjadi rahmat bagi semesta. Rahmat itu memudahkan, dan jawaban ‘Ya’ adalah diantara kemudahan tersebut. Yang terpenting Nu’man jujur dalam beriman, lalu melakukan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram semampunya walaupun terkesan minimalis, maka Rasulullah memperkenankannya. “Mudahkan, janga dipersulit”, demikian kaedah dakwahnya.

Inilah yang dikehendaki Allah azza wa jalla. Akan kita dapati bila mencermati ayat ke 185 dari surat al Baqarah ketika Allah memberikan keringan bagi yang tiada mampu berpuasa dengan ungkapan, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Begitupun ungkapan-Nya nan indah di permulaan ayat terakhir surat al Baqarah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Bahkan ketika Allah memerintahkan jihad, Dia sambung dengan deskripsi bahwa itu bukanlah kesempitan beragama bagi kita. “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,” begitu tegas-Nya.

Kejujuran Iman dalam Menyikapi Halal dan Haram

Ketika kita meyakini bahwa syariat Islam berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui seluruh ciptaan-Nya, maka kita juga meyakini bahwa yang ditetapkan oleh syariat adalah semata-mata bagi kebaikan manusia. Oleh karenanya, kita juga meyakini bahwa pada setiap ketetapan Halal dan Haram merupakan kunci keselamatan kita di dunia dan akhirat.

Mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram merupakan karakter seorang yang beriman. Sebagaimana karakter orang beriman yang Allah firmankan, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” Mengambil yang halal itu merupakan amar mar’ruf, dan meninggalkan yang haram itu merupakan nahi munkar.

Sebagaimana hal ini merupakan kunci keselamatan dunia dan akhirat, maka seperti yang dinyatakan oleh Imam Al Jurdani ketika menyatakan urgensi hadits ini bahwa seimbangnya siklus Halal dan Haram akan menghantarkan kita ke surga-Nya, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menyatakannya dalam surat an Nisa’ ayat 31. “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

Ulama menyimpulkan tujuh hal yang merupakan dosa-dosa besar. Yaitu Zina, Mabuk-mabukan, Sihir, Menuduh zina, Membunuh, Riba, dan Lari dari perang. Begitulah janji-Nya, maka hendaknya kita berkomitmen padanya. Menjauhi yang haram, dan melakukan yang halal.

Epilog

Demikianlah kemudahan beragama akan kita rasakan bila kita jujur dalam keimanan. Ketika kita jujur dalam beriman, maka kita akan terus bersemangat melaksanakan amal-amal utama yang akan mengantarkan kita pada keimanan yang hakiki. Begitupun ketika kita jujur dalam beriman, kita akan selalu merasa ringan dan mudah dalam menunaikan amal-amal walaupun jihad yang berat sekalipun. Termasuk bila kita jujur dalam beriman, maka kita akan sederhana mensinkronkan syariat dengan hajat kehidupan; bila hajat itu halal bagi syariat maka kita bisa dapatkan, namun bila hajat itu haram bagi syariat maka kita tinggalkan.

Sesederhana dan semudah itulah kehidupan beragama kita, bila kita jujur dalam beriman. Tidak ada yang perlu ditunda dari amal-amal sebab kita bisa melakukan semampu kita, tidak ada yang perlu dikeluhkan dari amal-amal sebab jujurnya iman kita melahirkan cinta pada amal-amal itu, serta tidak ada yang perlu dibenturkan dari syariat agama ini dengan kehidupan kita sebab ketetapan halal dan haramnya adalah untuk keselamatan kita jua.

Ingatlah selalu firman-Nya berikut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Maka janganlah melampau batas dari batasan yang telah ditetapkan-Nya.

Mengomentari hanya Shalat dan Puasa yang ditanyakan oleh Nu’man, padahal ada rukun Islam lain yang tidak kalah pentingnya yaitu Zakat dan Haji, maka ulama memiliki tiga pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Nu’man bertanya sebelum ada syariat Zakat dan Haji. Pendapat kedua mengatakan bahwa Nu’man sebagai penanya termasuk golongan miskin yang tidak dibebani kewajiban Zakat dan Haji. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Zakat dan Haji sudah termasuk dalam perkara yang dihalalkan atau diperintahkan.


Jakarta, 12 Mei 2016


Tidak ada komentar: