“Ayo…!
Ayo…!” Seru Asaduddin Syirkuh yang berjalan cepat menyusuri lorong benteng
Tikrit. “Matahari sebentar lagi terbenam. Kita akan keluar seiring terbenamnya
matahari. Kita tidak akan menunggu siapapun setelahnya,” pesannya kepada semua
penduduk benteng yang ia papasi.
“Kenapa
Najmuddin terlambat?” hadang salah satu saudaranya.
“Aku
tidak tahu! Aku tidak tahu!” jawab Asaduddin Syirkuh cepat. Lalu ia kembali
melenggang ke sudut-sudut terowongan yang dapat ia jangkau untuk mengajak
berkumpul seluruh penduduknya.
Merasa belum
mendapat jawaban, saudaranya tadi memburu keponakannya yang tampak di seberang
lorong. “Turansyah!” Panggilnya kepada sang keponakan, putra Najmuddin Ayyub.
“Ya,
wahai Paman.” Sahut Turansyah sembari menoleh, mendapati pamannya berjalan
cepat ke arahnya.
“Di mana Ayah
dan Ibumu?”
Tiada
jawab. Semua kalut. Aroma benteng semakin pengap.
- * -
Di sebuah
pojok benteng, Asaduddin Syirkuh menghardik kakaknya dengan jengah, “Malam
telah tiba. Itu perintahmu. Orang-orang sudah siap. Apa yang kau…”
“Dia ada
di kamar bersalin,” potong Najmuddin Ayyub singkat.
“Apa?
Sekarang?!” Sang adik sungguh tersentak kaget.
“Ini yang
ingin aku katakan.” Pelan Najmuddin Ayyub berkata kepada Asaduddin Syirkuh. “Tapi
ini di luar kuasa kita. Demikian kehendak Allah,” lanjut sang kakak yang sekaligus
pemimpin keluarga Ayyub tersebut dengan raut muka yang tetap tak bisa
menyembunyikan kecemasan.
- * -
Begitulah detik-detik jelang kelahiran Sholahuddin al Ayyubi.
Keluarga dari suku Kurdi itu tidak pernah menyangka akan menghadapi kondisi
yang lebih sulit dari sekadar menyelesaikan peperangan. Ya, kelahiran saat
pengusiran; jelas bukanlah kondisi yang mudah bagi keluarga dari nasab paling
mulia bangsa Kurdi, yang selama ini menjunjung kemuliaan para ksatria. Maka
ketika dihadapkan dengan dilema kelahiran dan pengusiran, hal itu menjadi hal
yang memalukan bagi mereka.
Tentu lebih menyesakkan bagi seorang Najmuddin Ayyub, putra desa
Dewin yang berada di perbatasan antara Iraq dan Azerbaijan. Mengingat ia
terlahir dari suku Rawadiyah, yang merupakan suku dari marga Hazian, suku
terbesar dalam suku Kurdi.
Namun, jiwa besar Najmuddin Ayyub telah mengajarkan kepada kita
dengan ungkapan aqidahnya, “Tapi ini di luar kuasa kita. Demikian kehendak
Allah.”
Demikianlah keagungan jiwa Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan al
Kurdi. Darinya lahir seorang putra yang bernama Yusuf dalam detik-detik
pengurisan keluarga besarnya dari benteng Tikrit oleh Mujahiduddin Bahruz pada
tahun 532 H bertepatan 1137 M. Yusuf bin Najmuddin Ayyub, kemudian hari
terkenal dengan panggilan Shalahuddin al Ayyubi.
Dari kelahirannya kita belajar, bahwa dalam kehidupan ini terlampau
banyak hal-hal yang di luar kuasa kita. Sebab alur kehidupan ini pada akhirnya
adalah kehendak Allah. Maka sikap kita di hadapan kehendak Allah adalah
menerimanya sebagai hal yang di luar kuasa kita. Tiada pilihan kecuali harus
menerimanya, sembari memohon kuasa-Nya untuk memudahkan kita dalam menjalani
kehidupan sesuai kehendak-Nya. InsyaAllah, kemuliaan-Nya akan terlimpah kepada
kita yang bersikap demikian. Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala limpahkan
kepada Najmuddin Ayyub seorang putra kebanggaan yang terkenal dengan
Shalahuddin al Ayyubi.
Kamis,
26 Mei 2016
Muhammad
Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar