sumber: kompasiana.com |
Konsep Islam adalah konsepsi utuh mengenai alam dan
kehidupan. Itulah prinsip mendasar yang harus selalu kita camkan. Bahwa Islam
sebagai satu-satunya konsepsi, tidak membutuhkan perpaduan konsepsi lainnya.
Sebab mulanya dari Sang Pencipta alam raya, Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya.
Maka tanpa topangan apapun, Islam mampu menjadi sistem yang otomatis menyatu
dengan fitrah alam dan bekerja dengan segala mekanisme keseimbangan alam.
Maka, menghadirkan Islam ke tengah-tengah kehidupan
kita, hanyalah mengembalikan sesuatu yang sesungguhnya telah selaras dengan
kehidupan ini. Oleh karena itu, pada akhirnya alasan kita dalam mendakwahkan
Islam kepada khalayak adalah karena kita mencintai mereka. Kita menghendaki
yang terbaik bagi mereka, betapapun mereka menyakiti kita. Sekali lagi, inilah
prinsip dasar yang harus terus dicamkan dalam diri.
Hal yang Harus Dilakukan
Dengan demikian, ketika
Islam dihadirkan ke tengah-tengah kehidupan kita, fungsinya adalah mengeluarkan
manusia dari kungkungan kejahilan menuju pencerahan Islam. Maka, Islam tidak perlu berkompromi dengan berbagai konsepsi
jahiliyah. Menurut Sayyid Qutb, hanya ada
dua hal yang harus dilakukan:
Pertama, Menumbuhkembangkan kehidupan yang humanis (insaniyah).
Sebab Islam mengemban asas Kemudahan; sebagai konsekuensi bertemunya segala aktivitas
manusia dengan tatanan fitrah Islam yang terlepas dari kehinaan hawa nafsu.
Kembali ke fitrah kemanusiaan, itulah hakikat kemudahan.
Kedua, Menciptakan tatanan sesuai sistem Rabbani (rabbaniyah).
Sebab Islam mengemban asas Kemanfaatan; sebagai konsekuensi kembalinya manusia
kepada Sang Pencipta yang menjamin keselamatan di dunia dan akhirat. Kembali
kepada sistem yang selamat dari Sang Pencipta, itulah hakikat kemanfaatan.
Mengenali
Jahiliyah
Namun sebelum jauh kita melangkah melakukan perubahan,
perlu kiranya kita mengenali ciri khas jahiliyah. Yaitu dua hal berikut:
Pertama, BERPALING dari penghambaan kepada Allah
semata beserta konsep-Nya untuk kehidupan.
Kedua, MENETAPKAN hukum, syariat, undang-undang, adat
istiadat, tradisi, norma, dan ukuran kehidupan berdasarkan sumber selain sumber
dari Allah azza wa jalla.
Dengan mengenali dua ciri khas kejahiliyahan tersebut,
maka konsepsi Islam (Tauhid) tidak bisa menerima kompromi dengan model
kejahiliyahan seperti itu, baik dari segi ideologi maupun sikap turunannya.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Al Ma’idah ayat 49 – 50, surat asy
Syu’ara ayat 15, dan surat al Jatsiyah ayat 18 – 19.
Islam yang berada di seberang kejahiliyahan hanya
menjadikan penghambaan satu-satunya kepada Allah semata dan ketundukan
satu-satunya kepada konsep-Nya untuk kehidupan ini. Selain itu, Islam juga
tidak akan menetapkan hukum, tradisi, norma dan ukuran kehidupan lainnya
kecuali berdasar sumber dari Allah azza wa jalla. Maka perubahan yang
kita lakukan semata-mata dalam rangka menegaskan penghambaan kepada Allah
semata dan ketundukan pada konsep-Nya, serta dalam rangka menetapkan segala
sesuatu hanya berdasar sumber dari Allah subhanahu wata’ala. Hal ini
berangkat dari keyakinan bahwa Allah sebagai Pencipta, Maha Mengetahui segala
kebaikan bagi seluruh ciptaan-Nya.
Mirip
namun Berbeda
Setelah kita mengetahui hal yang harus dilakukan dan
mengenali ciri kejahiliyahan, selanjutnya kita perlu mencermati beberapa
jebakan dalam aplikasi dan realitanya. Bahwa akan ada beberapa jebakan-jebakan
kerancuan berupa hal-hal yang terkesan mirip namun sesungguhnya berbeda. Bahwa
akan kita temui seakan-akan konsep Islam mirip dengan konsep jahiliyah, namun
sesungguhnya tidak demikian adanya. Ada perbedaan mendasar dari keduanya.
Kesadaran ini penting kita pahami, agar kita tidak
terjebak dari satu lubang kejahiliyahan ke lubang kejahiliyahan yang lainnya.
Bahwa yang perlu kita camkan dengan baik adalah bila ada kemiripan dari produk
Islam dan produk jahiliyah, maka itu sesungguhnya hanyalah kebetulan dan secara
lahiriahnya saja. Ibarat pohon, begitu Sayyid Qutb memberi perumpamaan, ranting
mirip namun akar tetap berbeda.
Allah subhanahu wata’ala juga telah berfirman
dalam surat al A’raaf ayat 58, “Dan tanah yang baik, tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanamannya hanya tumbuh
merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.”
Secara sederhana dapat kita jelaskan perbedaannya
sebagai berikut. Bahwa jahiliyah apapun itu, memiliki sumber dan akar yang
sama; yaitu hawa nafsu manusia yang hina dan ambisius, penuh kepentingan
pribadi, golongan, kaum dan suku, yang lebih diprioritaskan di atas nilai
keadilan dan kebenaran. Adapun produk Islam, memiliki tatanan yang tidak
terkontaminasi oleh bias jahiliyah, tidak ternodai oleh hawa nafsu, dan tidak
tersusupi oleh kepentingan kelompok.
Maka sangat mungkin tampilan produk keduanya seakan
mirip, namun sesungguhnya akar filsafat yang mendasarinya berbeda. Maka ia
tetaplah berbeda, sehingga jelas garis batasnya.
Menghadirkan
Islam
Setelah kita mengetahui perbedaannya, maka yang perlu
kita pikirkan selanjutnya adalah proses menghadirkan Islam sebagai alternatif
utama dan satu-satunya. Bagaimana cara kita menghadirkan Islam? Kira-kira
demikian pertanyaan yang perlu kita jawab.
Bahwa kita mendakwahkan Islam kepada khalayak adalah
karena kita mencintai mereka. Maka kita perlu memikirkan cara kita menghadirkan
Islam sebagai wujud kecintaan tersebut. Inilah yang coba kita cermati dalam
beberapa paragraf berikut.
Kunci awalnya adalah pemahaman. Mutlak bagi kita untuk
memiliki pemahaman Islam yang benar dan utuh, sehingga kita akan apik menghadirkannya
dalam kehidupan masyarakat di sekitar. Sebab kata Sayyid Qutb, apabila kita
mampu memahami hakikat Islam, maka kita akan mampu menghadapi orang-orang
dengan penuh kredibilitas dan wibawa, serta dengan sepenuh rasa empati dan
simpati.
Jadi, kira-kira tiga hal itulah yang menjadi cara kita
menghadirkan Islam di tengah tatanan kehidupan ini. Kita menghadirkan Islam
dengan sepenuh Kredibilitas, Empati dan Simpati. Dengan uraian singkat sebagai
berikut:
Pertama; Kredibilitas. Bila kita menghadirkan Islam
dengan sepenuh kredibilitas, maka kita akan mampu membuat orang lain percaya
bahwa apa yang dikatakan Islam adalah benar, sedang apa yang selama ini berlaku
di masyarakat adalah keliru. Kredibilitas ini bisa dibangun dengan pemahaman
kita yang benar dan utuh tentang Islam.
Kedua; Empati. Bila kita menghadirkan Islam dengan
sepenuh empati, maka kita akan ikut merasakan penderitaan orang lain, sehingga
berusaha menemukan solusi dari Islam untuk membantu mereka. Empati ini bisa
dibangun dengan memahami bahwa Islam adalah solusi bagi seluruh lingkup
kehidupan.
Ketiga; Simpati. Bila kita menghadirkan Islam dengan
sepenuh simpati, maka kita akan memahami kesesatan orang lain dan sekaligus
mengetahui arahan dan bimbingan yang sesuai bagi mereka. Simpati ini bisa
dibangun dengan memahami problema masyarakat secara komprehensif.
Dengan tiga cara kita menghadirkan Islam tersebut,
maka kita akan sungguh-sungguh menghadirkan Islam sebagai wujud rasa cinta bagi
setiap manusia. Maka kita membangun hubungan cinta, seberat apapun imbalan
derita. Maka secara perlahan, cinta itu pula yang akan membuka relung-relung
manusia untuk menerima Islam.
Pendekatan
Dakwah
Berangkat dengan perspektif menghadirkan Islam dengan
sepenuh Kredibilitas, Empati dan Simpati; maka kita dapat menetapkan cara
pendekatan dakwah dengan watak dakwah dan metode dakwah yang istimewa. Watak
dan metode ini lahir dari konsepsi Islam yang tinggi, yang karenannya pula akan
memandang manusia dari ketinggian.
Watak dakwah yang istimewa adalah bahasa cinta dan
kelembutan. Adapun Metode dakwah yang istimewa adalah keterangan yang utuh
secara apa adanya tanpa ragu. Maka, Islam akan tampil dengan watak yang lembut,
namun tetap menggunakan metode yang apa adanya. Sebab Islam adalah konsep
fitrah manusia, maka sesungguhnya ia sangat dekat dengan setiap jiwa manusia.
Oleh karenanya, tidak ada yang perlu ditutupi.
Pada akhirnya, inilah yang akan menjadi kekuatan
dakwah; yaitu Kebenaran Aqidah dan Keterbukaan Fikrah. Dakwah ini hanya akan
kuat bila para dainya tetap menjunjung tinggi aqidah yang benar. Begitupun
dakwah ini hanya akan semakin kuat bila para dainya tampil dengan pemikiran
Islam yang disampaikan apa adanya.
Kebenaran Aqidah dan Keterbukaan Fikrah itu pada
akhirnya akan menampilkan sosok dai yang penuh Ketulusan dan Kemantapan, sehingga
dalam dakwahnya tidak bertele-tele dan membingungkan. Inilah poin peneguhan
Islam.
Bahwa dalam peneguhan Islam kita perlu legitimasi
logis, sehingga tidak cukup menawarkan suatu perubahan yang parsial. Para objek
dakwah akan menerima Islam bila tampak jelas bahwa Islam menghadirkan perubahan
yang hakiki, tidak sekadar tampak wajah lain dari suatu hal yang telah ada
dalam kehidupannya. Hanya berganti nama, tanpa substansinya; tentu bukan perubahan
seperti itu yang diinginkan oleh dakwah Islam.
Solusi
Bagi Kehidupan
Akhirnya, kita mengatakan bahwa Islam tidak hanya sebagai
solusi problematika, namun sesungguhnya Islam adalah solusi bagi kehidupan
seutuhnya. Dan bila kita selami, problematika kehidupan ini tidak akan terobati
hanya dengan reformasi kecil-kecilan, akan tetapi hanya akan terselamatkan
dengan jalan transformasi. Sebab kehidupan ini saling terkait, maka ia tidak
cukup dengan bongkar pasang. Ia harus dibenahi dengan mengganti dari pondasi
kehidupannya.
Hal inilah yang harus dinyatakan dengan jelas dan
terbuka. Mungkin awalnya objek dakwah akan antipati, bahkan sebagian mereka
mungkin akan khawatir dan cemas. Namun yakinlah, bahwa Islam adalah fitrah bagi
manusia. Maka insyaAllah kemudian hari manusia akan berbondong menuju kebenaran
Islam, layaknya sejarah pernah menampilkan peristiwa berbondong-bondongnya kaum
musyrikin Makkah menerima Islam.
Dengan demikian, sesungguhnya Islam hadir untuk
mengganti kejahiliyahan dan bukan untuk menopangnya. Bahwa Islam hadir untuk
mengangkat derajat kemanusiaan dari kehinaan, dan bukan membiarkan dalam
keterpurukan yang berkedok peradaban. Inilah yang dimaksud dengan transformasi
konsepsi dan kesadaran, transformasi sistem dan aturan, serta transformasi hukum
dan undang-undang.
Epilog
Setelah penjabaran ini, maka kita dapat menjawab
pertanyaan; “Perubahan seperti apa yang seharusnya kita lakukan?” Bahwa prinsip-prinsip
yang telah dijabarkan itu, semestinya kita pegang teguh dan pahami dengan baik.
Sehingga ketika menjelaskan Islam kepada khalayak, kita tidak akan gagap dan
gugup dalam menyampaikannya. Agar kita tidak membiarkan manusia terus berada
dalam kebimbangan, dan agar kita dapat meyakinkan pada manusia bahwa Islam sungguh
memberikan manfaat.
Kalaupun ada sub konsep jahiliyah yang mirip dengan sistem
Islam, maka hal itu akan diintegrasikan dengan keagungan sumber Islam. Sebab
transformasi Islam tidak menolak pengetahuan yang ilmiah-murni, melainkan
justru akan mendorongnya.
Secara mental kita terus Membulatkan Tekad dan Berjiwa
Besar, serta Menempatkan Jahiliyah pada level paling rendah. Setelah kita
memiliki mental tekat yang bulat, jiwa yang besar, serta meletakkan jahiliyah
pada level rendah; selanjutnya kita mengkomunikasikan perubahan sebagaimana
yang dikehendaki oleh Islam.
Sayyid Qutb mencatat lima hal penting dalam
mengkomunikasikan perubahan ini sebagai berikut:
1. Bersikap ramah seraya berhati-hati.
2. Memandang remeh kejahiliyahan.
3. Meneriakkan kebenaran dalam suasana bersahabat.
4. Berjiwa besar dengan keimanan dalam keadaan
tawadhu.
5. Bersikap bijak menghadapi kenyataan yang ada.
Pada akhirnya, bila seluruh usaha perubahan kembali
pada fitrah Islam itu telah kita sampaikan dan khalayak tetap berbangga dengan
kejahiliyahannya, maka kita katakan sebagaimana firman-Nya dalam surat al
Kafirun ayat 6, “Bagi kalian agama kalian dan bagi kami agama kami.”
من كتاب معالم في الطريق لسيد قطب
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar