Seseorang bertanya terkait kemakruhan membaca Basmalah dalam Shalat. Maka,
hendaknya tidak membaca Basmalah dalam Shalat. Apakah memang Basmalah tidak
boleh dibaca dalam Shalat?
Untuk menjawabnya, maka kita perlu menimbang beragam pendapat terkait
bacaan Basmalah dalam Shalat. Sehingga kita memahami titik perbedaannya dan
landasan pendapatnya. Utamanya pendapat-pendapat dari Mazhab-Mazhab besar yang
terkenal.
Bagaimana mereka memandang bacaan Basmalah dalam Shalat? Mari kita cermati pendapat dari mazhab
Syafi’i, mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.
Mazhab Syafi’i
Mazhab ini berpandangan bahwa Basmalah dalam shalat dibaca dengan suara
keras saat surat al Fatihah juga dibaca dengan suara keras. Berdasarkan pada
dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu: “Dahulu
Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam membuka shalatnya dengan Bismillahirrahmanirrahiim.”
Adapun Abu Isa, yaitu Imam at Tirmidzi, menyatakan dalam Sunan-nya pada
kitab ‘Sholat’ bab ‘Siapa yang Berpendapat Mengeraskan Bacaan Bismillahirrahmanirrahiim’
bahwa sanad hadits tersebut tidaklah kuat. Akan tetapi, beliau menyebutkan
beberapa sahabat Nabi yang telah membaca Basmalah dengan suara keras pada saat
shalat; yaitu Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah
bin Zubair. Lalu beberapa ulama menyimpulkan pendapat bahwa Basmalah dalam
Shalat hendaknya dibaca dengan suara keras; yaitu Imam asy Syafi’i, Ismail bin
Hammad bin Abi Sulaiman, dan Abu Khalid al Waliby.
Abu Hurairah berpendapat bahwa Basmalah merupakan bagian dari surat Al
Fatihah. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ’anha:
“Sesungguhnya Nabi shalallahu ’alaihi wasallam menghitung Basmalah
sebagai ayat dari al Fatihah.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Dengan demikian, Mazhab Syafi’i memandang bahwa Basmalah termasuk dari
surat Al Fatihah dan termasuk bagian dari setiap surat, yang hendaknya dibaca
dengan suara keras saat sholat.
Mazhab Hanafi
Mazhab ini berpandangan bahwa Basmalah dalam shalat boleh dibaca dengan
suara pelan saat surat al Fatihah dibaca dengan suara keras. Berdasarkan pada
dalil yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu yang termuat pada
Shahih Muslim di kitab ‘Sholat’ bab ‘Pendapat yang Mengatakan bahwa Basmalah
Tidak Dibaca dengan Keras’: “Saya shalat bersama Rasulullah shalallahu
’alaihi wasallam dan Abu Bakar serta Umar dan Utsman, maka aku tidak
mendengar salah seorang dari mereka mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim.”
Adapun beberapa sahabat Nabi yang telah membaca Basmalah dengan suara pelan
pada saat shalat; yaitu Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yasir, dan Abdullah bin Zubair.
Lalu beberapa Tabi’in yang juga membaca basmalah dengan suara pelan adalah
Sufyan ats Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad, dan Ishaq bin Rahuyah.
Aisyah radhiyallahu ’anha pun telah meriwayatkan: “Dahulu Rasulullah
shalallahu ’alaihi wasallam memulai shalat dengan Takbir dan bacaan
Alhamdulillahi Rabbil ’aalamin.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian, Mazhab Hanafi memandang bahwa Basmalah merupakan ayat yang
berdiri sendiri, yang tidak termasuk awal surat manapun. Diturunkan untuk
menghubungkan surat satu dengan yang lainnya. Maka hendaknya dibaca dengan
suara pelan saat sholat.
Mazhab Maliki
Mazhab ini berpandangan bahwa Basmalah dalam shalat wajib tidak boleh
dibaca keras maupun pelan, sedangkan dalam shalat sunnah boleh membacanya.
Berdasarkan pada dalil yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu yang
termuat pada Sunan Abu Dawud di kitab ‘Sholat’ bab ‘Siapa yang Belum Melihat
Bismillahirrahmanirrahiim Dibaca dengan Keras’: “Saya shalat di belakang Nabi shalallahu
’alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, maka mereka memulai dengan
bacaan Alhamdulillahi Rabbil ’Aalamin dan tidak menyebut
Bismillahirrahmaanirrahiim di awal bacaan dan di akhirnya.”
Sehingga Imam Malik dan Imam al Auza’i berpendapat bahwa Basmalah bukan
termasuk al Qur’an, kecuali dalam surat an Naml (ayat 30) sehingga ia bagian
ayat darinya. Adapun dalam seluruh surat, maka Basmalah disebut semata untuk
meraih berkah. Basmalah juga tidak perlu dibaca dalam Shalat kecuali dalam
Qiyam Ramadhan, maka ia dibaca pada permulaan surat setelah al Fatihah dan
tidak dibaca pada awal al Fatihah.
Dengan demikian, Mazhab Maliki berpendapat bahwa Basmalah bukan bagian dari
al Fatihah dan bukan awal surat lainnya, sehingga tidak boleh dibaca dalam
shalat wajib dan boleh dibaca dalam shalat sunnah.
Kesimpulan
Demikianlah perbedaan pendapatnya. Adapun yang disepakati hanya satu, bahwa
Basmalah yang ada dalam surat an Naml adalah bagian dari ayat al Qur’an.
Selebihnya, Basmalah yang berada di awal al Fatihah dan sebelum Surat-Surat
lainnya; ada yang mengatakannya bagian dari ayat, ada yang mengatakannya
berdiri sendiri sebagai pemisah antar surat, ada pula yang mengatakannya tidak
termasuk ayat dan disebut hanya untuk mendapatkan keberkahan.
Setelah kita mencermati perbedaan pendapat tersebut, maka pahamlah kita
bahwa sebagian sahabat ada yang menyaksikan Rasulullah membaca Basmalah dalam
sholat dan ada pula sahabat yang tidak menyaksikan Rasulullah membaca Basmalah
dalam sholat. Begitupun dalam memahami hadits yang menyatakan bahwa Basmalah
bukan bagian dari al Fatihah, maka ada yang memandangnya tetap perlu
mendapatkan keberkahan dengan membaca Basmalah saat sholat dan ada pula yang
memandang tetap tidak boleh membaca Basmalah saat sholat karena ia bukan bagian
al Qur’an.
Masing-masing pendapat itu memiliki landasan pengambilan hukumnya
masing-masing. Namun bila kita ingin bersikap hikmah, saat kita berada di
masyarakat yang bermazhab Syafi’i seperti di Indonesia maka hendaknya kita
membaca Basmalah dengan suara keras, adapun saat kita berada di masyarakat yang
bermazhab Hanafi seperti di Pakistan maka hendaknya kita membaca Basmalah
dengan suara pelan.
Lalu bila kita meyakini bahwa Basmalah bukan bagian dari al Qur’an, dan
suatu ketika kita sholat bersama orang yang membaca Basmalah dalam sholat; maka
hal tersebut tak menjadi masalah. Sebab pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah
bukan bagian al Qur’an, memandang bacaan Basmalah dalam sholat hukumnya Makruh
tak sampai Haram. Makruh itu; bila dilakukan tak apa-apa, namun bila
ditinggalkan akan mendapatkan kebaikan. Wallahu’alam.
Jakarta, 29 Februari 2016
Muhammad Irfan Abdul Aziz
2 komentar:
Jadi, kalau ada yg bertanya tentang hal itu, dijelaskan tentang 3 mazhab itu ya... Lalu bilang: terserah pilih yg mana, tapi kita tinggal di Indonesia yg bermazhab Syafi'i yg membaca Basmalah dengan suara keras.
Mangga, bang Billy :)
Posting Komentar