Jumat, 12 Februari 2016

APAKAH SYAHADAT RASUL ADA LANDASANNYA?


Sebagian kita, baik karena ketidak-pahaman maupun karena keisengannya, mencoba mempertanyakan tentang kevalidan teks syahadat Rasul yang merupakan penggal kedua dari Syahadatain ummat Islam. Mereka mengatakan bahwa kalimat syahadat Rasul itu tidak ada di dalam al Qur’an. Sedangkan yang ada di dalam al Qur’an hanyalah perintah untuk beriman kepada Allah, yang tertulis jelas dengan kalimat ‘Laa ilaaha illa Allah’. Sementara tidak ada kalimat ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’.


Mereka berpendapat, bahwa dengan tidak adanya lafaz itu di dalam al Qur’an maka kemungkinan ummat Muhammad berlebihan hingga menambah kalimat syahadat yang kedua itu. Padahal Rasulullah tidak mau dibegitukan, demikian menurut pandangan mereka.

Benarkah Tidak Ada di Dalam Al Qur’an?

Kalimat ‘Laa ilaaha illa Allah’ terlafadz pada surat Muhammad ayat 19:
فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِناتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثواكُم
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.

Lalu, bagaimana dengan kaliman ‘Muhammadar Rasulullah’? Sesungguhnya tidak tepat bila dikatakan bahwa kalimat itu tidak ada di dalam al Qur’an. Sebab bila kita membaca surat Al Ahzab, maka kita akan menemukannya pada ayat ke-40. Bahkan pada firman itu, Allah azza wa jalla tidak hanya menyatakan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, namun juga menegaskan bahwa Muhammad adalah penutup para Nabi. Yang menggenapkan dan yang menutup, maka tak ada lagi kenabian setelah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat yang dimaksud itu lafadznya sebagai berikut:
ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِن رِجالِكُم وَلٰكِن رَسولَ اللَّهِ وَخاتَمَ النَّبِيّينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Demikianlah firman Allah yang menyatakan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Lalu, apakah memang ada syahadat yang kedua; yaitu syahadat Rasul? Sekiranya, kita perlu merenungi firman Allah subhanahu wata’ala di surat an Nisa’ ayat 150 dan 151.
إِنَّ الَّذينَ يَكفُرونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُريدونَ أَن يُفَرِّقوا بَينَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقولونَ نُؤمِنُ بِبَعضٍ وَنَكفُرُ بِبَعضٍ وَيُريدونَ أَن يَتَّخِذوا بَينَ ذٰلِكَ سَبيلًا. أُولٰئِكَ هُمُ الكافِرونَ حَقًّا ۚ وَأَعتَدنا لِلكافِرينَ عَذابًا مُهينًا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.

Pada firman Allah azza wa jalla tersebut, telah ditegaskan bahwa keimanan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Maka, tidak bisa kita hanya mengimani Allah dan mengabaikan Rasul-Nya. Begitupun kita tidak bisa mengimani sebagian Rasul-Nya dan mengabaikan sebagian Rasul-Nya yang lain. Sehingga ditegaskan di ayat 151 pada surat itu; bahwa mereka yang membeda-bedakan keimanan hingga memisahkan kesatuan iman itu, sesungguhnya adalah orang-orang kafir. Sungguh mereka tidak beriman, kecuali hanya sekadar tampil seakan-akan sebagai orang yang beriman. Padahal dalam hatinya terdapat benih-benih pengingkaran.

Mungkin mereka akan bertanya kembali; perlukan keimanan kepada Rasul-Nya itu juga dipersaksikan dan menjadi rangkaian dari Syahadat ummat Islam? Tentu, sebagaimana firman-Nya dalam surat al Ahzab ayat 40 telah ditegaskan bahwa Muhammad adalah penutup para Nabi. Dan di antara makna penutup para Nabi adalah penyempurna risalah-risalah para Nabi; baik dengan melengkapinya maupun dengan menghapus syariat sebelumnya agar dapat sesuai bagi ummat manusia akhir zaman hingga tibanya hari Kiamat. Maka, sebagai penegasan risalah penyempurna dan penutup inilah kita ikrarkan dengan Syahadat Rasul.

Allah subhanahu wata’ala juga telah menyatakan dalam surat Al Ma’idah ayat 3, “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.

Sejak Allah azza wa jalla sempurnakan agama-Nya dan meridhai Islam sebagai satu-satunya agama bagi ummat manusia akhir zaman, maka berputus-asalah orang-orang kafir. Sesungguhnya, di antara keputus-asaan mereka adalah dengan menghadirkan keragu-raguan pada ummat Islam.

Benarkah Ummat Muhammad Telah Berlebihan?

Ada lontaran menarik lagi dari mereka; bahwa kemungkinan ummat Muhammad telah berlebihan hingga menambah kalimat syahadat yang kedua itu, padahal Rasulullah tidak mau dibegitukan. Oya?

Benarkah Rasulullah tidak mau dibegitukan? Atau justru yang berlebih-lebihan adalah perasaan mereka? Karena, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan pernah berpesan kepada sahabat-sahabatnya sebagaimana dalam Shahih Muslim:
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ، لا يُلْقَى بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah, tidaklah seorang hamba bertemu (Allah) dengan dua kalimat tersebut tanpa keraguan melainkan ia akan masuk surga.

Jadi, tidak benar juga bila dikatakan Rasulullah tidak mau dibegitukan; yaitu dipersaksikan sebagai Rasulullah dalam kalimat syahadat ummat Islam. Sedangkan beliau telah berpesan kepada sahabat-sahabatnya dengan sabda tadi. Bahkan saat datang Jibril alaihissalam di tengah-tengah majelis Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang menanyakan definisi Islam, Iman dan Ihsan; maka Rasulullah menjelaskan definisi Islam dengan kelima rukunnya yang dimulai dengan dua kalimat syahadat. Sungguh kehadiran Jibril itu ingin mengajarkan ummat Islam secara tidak langsung, dan jawaban Rasulullah itulah poin pelajarannya. Hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu itu kemudian oleh Ibnu Daqiq al ‘Ied disebut sebagai ummus sunnah (induknya sunnah), karena itulah inti ajaran Islam yang ada pada seluruh hadits.

Sekali lagi, ternyata Rasulullah sangat berkenan dibegitukan, bahkan justru beliau yang mengajarkan. Tapi perlu dipahami, bahwa hal itu sesungguhnya bukan kehendak pribadi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, melainkan itu adalah kehendak Allah subhanahu wata’ala. Sebab, segala yang keluar dari lisan Rasulullah, sesungguhnya bukanlah hawa nafsu melainkan hanyalah penyambung pesan dari Allah azza wa jalla. Begitulah yang telah ditegaskan dengan firman-Nya.
وَما يَنطِقُ عَنِ الهَوىٰ. إِن هُوَ إِلّا وَحيٌ يوحىٰ.
“Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Al-Najm : 3-4)

Epilog

Tidak diketahui pasti, bagaimana mereka masih mempertanyakan hal ini. Memang beberapa saat yang lalu sempat merebak aliran GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara). Sebagaimana penjelasan MUI dan perjalanan sejarah yang kita kenali, bahwa gerakan ini pernah menamakan kelompoknya sebagai Millah Abraham; yaitu kelompok yang berpegang pada ajaran Ibrahim lalu menyatukan semua agama (Islam, Nasrani dan Yahudi).

Sungguh, semoga hal itu karena ketidak-tahuan mereka. Namun bila hal itu merupakan kesengajaan mereka untuk mengelabui kebenaran yang telah nyata, maka itulah sebentuk keputus-asaan orang-orang kafir atas agama Islam dan kerasulan Muhammad sebagaimana yang diingatkan Allah dengan firman-Nya pada surat Al Ma’idah ayat 3.

Sehingga, Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang sempat merebak telah mencoba campurkan ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi dengan cara yang ngawur. Tapi mereka luput -atau sengaja melupakan- untuk merenungi doa Ibrahim dan isyarat Isa.

Bahwa Ibrahim alaihissalam saat meninggikan kembali pondasi Ka’bah sempat berdoa kepada Allah agar dari keturunannya kelak -yaitu dari garis keturunan Arab-, ada yang diutus untuk menjadi Nabi dan Rasul. Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (Al Baqarah ayat 129)

Begitupun Isa alaihissalam telah memberikan kabar gembira kepada umatnya tentang akan datangnya Nabi akhir zaman. Hal itu disampaikan sekitar 500-an tahun sebelum lahirnya Muhammad. “Dan (Ingatlah) ketika ‘Îsâ putra Maryam berkata, ‘Hai Banî Isrâîl, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan Kitab sebelumku -yaitu Taurat-, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad.’ Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’.” (Ash-Shaff ayat 6)

Begitulah! Sehingga Muhammad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mendefinisikan dirinya saat ditanya para sahabatnya, dengan bersabda: Aku adalah jawaban dari doa bapakku Ibrahim dan aku adalah orang yang dimaksud oleh saudaraku Nabi Isa dalam kabar gembiranya.

Maka, bila mereka sungguh mengaku berpegang pada Millah Abraham, semestinya mengakui Muhammad sebagai Rasulullah yang lahir di tanah Makkah yang dahulu saat Ibrahim mengantar Hajar dan Ismail ke tempat itu, masih dalam kondisi tandus tak berpenghuni. Begitupun, hendaknya mereka hanya mengakui Islam dan tak lagi menganggap kebenaran Yahudi dan Nasrani pada zaman kini; sebagaimana isyarat Isa alaihissalam: bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah. Isyarat Isa alaihissalam ini hendaknya memantapkan kita untuk mengimani Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak sebaliknya turut mengingkarinya bahkan mempertanyakan perihal syahadat yang kedua.

Semoga mereka yang mempertanyakan itu tersebab ketidak-pahaman, dan bukan karena sengaja mempertanyakan untuk menimbulkan keragu-raguan. Sebab, dua syahadat itu adalah kesatuan sebagai definisi Islam. Bila kita tidak mempersaksikan ketuhanan Allah azza wa jalla, maka kita tergolong orang yang kafir. Dan bila kita tidak mempersaksikan kerasulan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka kita tergolong orang-orang munafik yang dapat terjatuh pada kekufuran karena terlilit keragu-raguan yang mereka buat sendiri. Demikianlah sejarah umat-umat lintas zaman telah wariskan kearifan simpulan ini kepada kita.

Semoga Allah mantapkan petunjuk hidayah-Nya kepada setiap hati-hati kita. Sehingga Allah subhanahu wata’ala matikan kita dalam keadaan husnul khatimah; yang mantap mempersaksikan ketuhanan Allah dan mempersaksikan kerasulan Muhammad. Aamiin.


Jakarta, 12 Februari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz

Tidak ada komentar: