Ketika saya
disodori tema ini, saya berpikir bahwa tema ini sangat spesifik dan teknis.
Tapi justru di situlah jebakannya, bahwa konsen pada teknis seringkali membuat
kita lupa pada hal yang substantif.
Semoga saya
bisa membedahnya secara proporsional, kira-kira saya bagi pembahasan
menjadi 4 bagian. Pertama, struktur kepribadian Muslim. Kedua,
pengalaman pribadi. Ketiga, teladan as salaf ash sholih. Keempat,
refleksi cinta.
Bagian Pertama; Struktur
Kepribadian Muslim.
Penting kita
membahas ini, karena kita sebagai Muslim. Karenanya tidak ada kepribadian yang
mendiami diri kita kecuali kepribadian Islam. Dan esensi kepribadian Islam
adalah Iman. Sebab yang membedakan muslim dan selainnya adalah keimanan.
Sedangkan
struktur keimanan kita mencakup tiga dimensi; yaitu dimensi akal, dimensi hati,
dan dimensi fisik. Sebab definisi iman adalah sesuatu yang diketahui
akal, diyakini hati, dan dilakukan secara fisik. Bila salah satu dimensi tidak
terpenuhi, maka kepribadian kita akan terbelah.
Nah, berdasar
pada struktur itu, maka hendaknya seluruh sisi atau agenda kehidupan kita harus
mencakup tiga dimensi tersebut. Karena iman kita merupakan metodologi
kehidupan.
Termasuk dalam
hal ini adalah perkara cinta. Hendaknya merupakan hal yang kita ketahui, lalu
kita yakini, dan kita putuskan dalam tindakan. Maka bila kita hanya menyukai
seseorang, tapi tidak ada keyakinan dalam hati untuk bisa menuju jenjang
pernikahan, maka cinta kita terbelah. Begitupun bila kita menyukai seseorang,
dan sudah yakin dalam hati bisa menuju pernikahan, tapi tidak kunjung bertindak
melamarnya, maka cinta kita terbelah.
Oleh karena
itu, terkait tema "Adakah Cinta dalam Diam?", apakah masih
relevan untuk seorang Muslim? Bila semua sisi kehidupannya adalah kesatuan dimensi akal,
hati dan fisik. Mengetahui, lalu menyakini dan mewujudkan.
Semoga aspek
mendasar ini dapat sedikit menjelaskan tentang tema kita malam ini.
Bagian Kedua; Pengalaman
Pribadi.
Saya merasa
perlu bercerita secara personal, karena saya memandang tema ini sangat teknis.
Jadi perlu cerita pengalaman teknis. Singkat saja.
Saya ketika
ingin menikah, yang saya tuturkan dalam doa hanya persoalan tujuan saya
menikah. Bila itu baik untuk diri dan agama, maka mohon dimudahkan. Terkait
waktu, tempat dan calon, itu perkara teknis. Bagi saya, yang sifatnya teknis
kita sangat perlu ketawadhu'an yang ekstra kepada Allah.
Karena itu,
ketika pergi Haji tanpa sengaja saya mendapati seorang ustadz yang menyatakan
ada anaknya yang siap menikah. Tanpa saya tahu nama anaknya, anak ke
berapa, dan usianya serta lain sebagainya, saya hampiri ustadz itu. Yang saya
sampaikan sederhana, "Ustadz, kalau boleh saya menjajaki putri ustadz."
Saya memilih istilah menjajaki karena memang belum tahu apakah akan diterima
atau ditolak. Dan saya tidak berpikir apakah diterima atau ditolak, karena
perkara calon itu teknis, siapapun bisa mengisinya.
Waktu berlalu, sampai
kemudian saya diminta datang ke rumahnya untuk bertemu dengan putrinya dan
keluarganya. Kebetulan tidak ada yang menemani, maka saya datang sendiri.
Karena saya tidak terbiasa ngobrol dengan perempuan, maka selama
silaturrahim saya justru lebih banyak ngobrol dengan kakak iparnya laki-laki.
Berbicara banyak hal yang mungkin tidak terkait pernikahan. Sampai akhirnya
saya pamit. Ayahnya yang sedang di luar pulau pun menelepon setelah
saya pamit. Pertanyaannya, "Bagaimana, sudah disampaikan maksud
kedatangannya?"
Dengan polosnya
saya jawab, "Maaf, ustadz. Bukannya sudah tahu?" Akhirnya saya
sampaikan, mohon ustadz yang menyampaikan saja. Dan tidak lupa saya sampaikan,
"Tapi silakan keputusan di putri ustadz. Jangan karena saya datang
jauh-jauh, maka harus menerima. Kalau memang putrinya kurang berkenan, tidak
apa-apa menolak."
Semua yang saya
lakukan itu terinspirasi dari para salaf ash sholih. Wallahu'alam.
Bagian Ketiga; Teladan as
Salaf ash Sholih.
Sebagai seorang
muslim, ahlus sunnah wal jama'ah, maka anutan utama kita adalah
Rasulullah, lalu sahabat dan generasi tabi'in. Ketiga generasi itulah yang
disebut salaf ash shalih oleh kesepakatan ulama. Karena itu,
dalam perkara apapun termasuk perkara cinta, kita perlu meneladani mereka.
Beberapa teladan
inti terkait tema ini ada 3 episode cerita sebagai berikut:
1. Rasulullah
saat dilamar Khadijah melalui Maisarah. Lalu Muhammad segera
berdiskusi dengan paman-pamannya, dan langsung datang ke Khuwailid untuk
melamar Khadijah.
2. Abu Bakar yang datang
ke Rasulullah untuk melamar Fathimah namun tidak langsung dijawab. Umar bin
Khathab pun datang ke Rasulullah untuk melamar Fathimah namun juga
tidak langsung dijawab. Lalu Ali bin Abi Thalib datang ke Rasulullah menyatakan
kenangan masa kecil dengan Fathimah, dan segera diterima dengan jawaban 'Ahlan
wa sahlan'.
3. Salman Al
Farisi saat mencintai muslimah Madinah, lalu menyampaikan kepada Abu
Darda yang asli Madinah. Ditemani Abu Darda datang ke rumah muslimah tersebut
untuk melamarkan Salman Al Farisi. Namun muslimah tersebut melalui ibunya
menolak Salman Al Farisi dan justru menawarkan diri untuk dilamar oleh Abu
Darda yang mengantarkannya. Hebatnya, Salman Al Farisi justru mendukung dengan
memberikan mahar yang telah disiapkan kepada Abu Darda. Tanpa ada penyakit
cinta yang dibiarkan tumbuh dalam jiwanya.
Bagian Keempat; Refleksi
Cinta.
Dari tiga
pemaparan sebelumnya, maka kita bisa menyimpulkan dengan kembali merefleksi
ulang makna cinta.
Pertama,
marilah kita renungi bagaimana Rasulullah yang mengetahui bahwa
putrinya memiliki kedekatan dengan Ali semasa kanaknya, tapi Rasulullah tidak serta-merta mencomblangi
keduanya. Beliau tetap tawadhu' kepada ketetapan Allah, karenanya tetap
menunggu isyarat dan sabar menunggu Ali datang dengan sendirinya.
Kedua, marilah
kita juga renungi apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Kami belum
pernah melihat dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan.”
Ketiga, marilah
kita simak refleksi cinta oleh ulama Kontemporer yaitu Prof. Dr.
Abdul Halim Abu Syuqqah: "Cinta itu adalah perasaan yang baik dengan
kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah."
Dari ketiga
refleksi cinta itu, maka kita memahami bahwa cinta sejati adalah pernikahan.
Maka semua yang belum melalui jenjang pernikahan, bukanlah cinta yang sejati
dan bukanlah cinta yang layak diklaim.
Itu empat
bagian yang bisa saya sampaikan. Semoga empat bagian itu cukup mampu
menjelaskan tentang tema "Adakah Cinta dalam Diam?"
Catatan Selasa malam
tanggal 25 bulan Oktober tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar