Jumat, 11 November 2016

ADAKAH CINTA DALAM DIAM?


Ketika saya disodori tema ini, saya berpikir bahwa tema ini sangat spesifik dan teknis. Tapi justru di situlah jebakannya, bahwa konsen pada teknis seringkali membuat kita lupa pada hal yang substantif.

Semoga saya bisa membedahnya secara proporsional, kira-kira saya bagi pembahasan menjadi 4 bagian. Pertama, struktur kepribadian Muslim. Kedua, pengalaman pribadi. Ketiga, teladan as salaf ash sholih. Keempat, refleksi cinta.


Bagian Pertama; Struktur Kepribadian Muslim.

Penting kita membahas ini, karena kita sebagai Muslim. Karenanya tidak ada kepribadian yang mendiami diri kita kecuali kepribadian Islam. Dan esensi kepribadian Islam adalah Iman. Sebab yang membedakan muslim dan selainnya adalah keimanan.

Sedangkan struktur keimanan kita mencakup tiga dimensi; yaitu dimensi akal, dimensi hati, dan dimensi fisik. Sebab definisi iman adalah sesuatu yang diketahui akal, diyakini hati, dan dilakukan secara fisik. Bila salah satu dimensi tidak terpenuhi, maka kepribadian kita akan terbelah.

Nah, berdasar pada struktur itu, maka hendaknya seluruh sisi atau agenda kehidupan kita harus mencakup tiga dimensi tersebut. Karena iman kita merupakan metodologi kehidupan.

Termasuk dalam hal ini adalah perkara cinta. Hendaknya merupakan hal yang kita ketahui, lalu kita yakini, dan kita putuskan dalam tindakan. Maka bila kita hanya menyukai seseorang, tapi tidak ada keyakinan dalam hati untuk bisa menuju jenjang pernikahan, maka cinta kita terbelah. Begitupun bila kita menyukai seseorang, dan sudah yakin dalam hati bisa menuju pernikahan, tapi tidak kunjung bertindak melamarnya, maka cinta kita terbelah.

Oleh karena itu, terkait tema "Adakah Cinta dalam Diam?", apakah masih relevan untuk seorang Muslim? Bila semua sisi kehidupannya adalah kesatuan dimensi akal, hati dan fisik. Mengetahui, lalu menyakini dan mewujudkan.

Semoga aspek mendasar ini dapat sedikit menjelaskan tentang tema kita malam ini.


Bagian Kedua; Pengalaman Pribadi.

Saya merasa perlu bercerita secara personal, karena saya memandang tema ini sangat teknis. Jadi perlu cerita pengalaman teknis. Singkat saja.

Saya ketika ingin menikah, yang saya tuturkan dalam doa hanya persoalan tujuan saya menikah. Bila itu baik untuk diri dan agama, maka mohon dimudahkan. Terkait waktu, tempat dan calon, itu perkara teknis. Bagi saya, yang sifatnya teknis kita sangat perlu ketawadhu'an yang ekstra kepada Allah.

Karena itu, ketika pergi Haji tanpa sengaja saya mendapati seorang ustadz yang menyatakan ada anaknya yang siap menikah. Tanpa saya tahu nama anaknya, anak ke berapa, dan usianya serta lain sebagainya, saya hampiri ustadz itu. Yang saya sampaikan sederhana, "Ustadz, kalau boleh saya menjajaki putri ustadz." Saya memilih istilah menjajaki karena memang belum tahu apakah akan diterima atau ditolak. Dan saya tidak berpikir apakah diterima atau ditolak, karena perkara calon itu teknis, siapapun bisa mengisinya.

Waktu berlalu, sampai kemudian saya diminta datang ke rumahnya untuk bertemu dengan putrinya dan keluarganya. Kebetulan tidak ada yang menemani, maka saya datang sendiri. Karena saya tidak terbiasa ngobrol dengan perempuan, maka selama silaturrahim saya justru lebih banyak ngobrol dengan kakak iparnya laki-laki. Berbicara banyak hal yang mungkin tidak terkait pernikahan. Sampai akhirnya saya pamit. Ayahnya yang sedang di luar pulau pun menelepon setelah saya pamit. Pertanyaannya, "Bagaimana, sudah disampaikan maksud kedatangannya?"

Dengan polosnya saya jawab, "Maaf, ustadz. Bukannya sudah tahu?" Akhirnya saya sampaikan, mohon ustadz yang menyampaikan saja. Dan tidak lupa saya sampaikan, "Tapi silakan keputusan di putri ustadz. Jangan karena saya datang jauh-jauh, maka harus menerima. Kalau memang putrinya kurang berkenan, tidak apa-apa menolak."

Semua yang saya lakukan itu terinspirasi dari para salaf ash sholihWallahu'alam.


Bagian Ketiga; Teladan as Salaf ash Sholih.

Sebagai seorang muslim, ahlus sunnah wal jama'ah, maka anutan utama kita adalah Rasulullah, lalu sahabat dan generasi tabi'in. Ketiga generasi itulah yang disebut salaf ash shalih oleh kesepakatan ulama. Karena itu, dalam perkara apapun termasuk perkara cinta, kita perlu meneladani mereka.

Beberapa teladan inti terkait tema ini ada 3 episode cerita sebagai berikut:

1. Rasulullah saat dilamar Khadijah melalui Maisarah. Lalu Muhammad segera berdiskusi dengan paman-pamannya, dan langsung datang ke Khuwailid untuk melamar Khadijah.

2. Abu Bakar yang datang ke Rasulullah untuk melamar Fathimah namun tidak langsung dijawab. Umar bin Khathab pun datang ke Rasulullah untuk melamar Fathimah namun juga tidak langsung dijawab. Lalu Ali bin Abi Thalib datang ke Rasulullah menyatakan kenangan masa kecil dengan Fathimah, dan segera diterima dengan jawaban 'Ahlan wa sahlan'.

3. Salman Al Farisi saat mencintai muslimah Madinah, lalu menyampaikan kepada Abu Darda yang asli Madinah. Ditemani Abu Darda datang ke rumah muslimah tersebut untuk melamarkan Salman Al Farisi. Namun muslimah tersebut melalui ibunya menolak Salman Al Farisi dan justru menawarkan diri untuk dilamar oleh Abu Darda yang mengantarkannya. Hebatnya, Salman Al Farisi justru mendukung dengan memberikan mahar yang telah disiapkan kepada Abu Darda. Tanpa ada penyakit cinta yang dibiarkan tumbuh dalam jiwanya.


Bagian Keempat; Refleksi Cinta.

Dari tiga pemaparan sebelumnya, maka kita bisa menyimpulkan dengan kembali merefleksi ulang makna cinta.

Pertama, marilah kita renungi bagaimana Rasulullah yang mengetahui bahwa putrinya memiliki kedekatan dengan Ali semasa kanaknya, tapi Rasulullah tidak serta-merta mencomblangi keduanya. Beliau tetap tawadhu' kepada ketetapan Allah, karenanya tetap menunggu isyarat dan sabar menunggu Ali datang dengan sendirinya.

Kedua, marilah kita juga renungi apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Kami belum pernah melihat dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan.

Ketiga, marilah kita simak refleksi cinta oleh ulama Kontemporer yaitu Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah: "Cinta itu adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah."

Dari ketiga refleksi cinta itu, maka kita memahami bahwa cinta sejati adalah pernikahan. Maka semua yang belum melalui jenjang pernikahan, bukanlah cinta yang sejati dan bukanlah cinta yang layak diklaim.

Itu empat bagian yang bisa saya sampaikan. Semoga empat bagian itu cukup mampu menjelaskan tentang tema "Adakah Cinta dalam Diam?"



Catatan Selasa malam tanggal 25 bulan Oktober tahun 2016


Tidak ada komentar: