Secara
umum, kita akui bahwa setiap individu memiliki prioritasnya masing-masing.
Tentu hal itu tidak salah, menimbang Allah subhanahu wata’ala memang
menciptakan kita dalam keberagaman. Selalu ada keunikan yang berbeda pada
masing-masing individu anak Adam.
Tetapi,
selain fakta keunikan penciptaan, ada pula fakta kebersamaan kehidupan. Bahwa setelah
manusia dicipta dengan keunikan individunya, maka kemudian dilahirkan ke dunia dengan
kebersamaan sosialnya. Mempertemukan hakikat keunikan dengan semangat
kebersamaan inilah yang membutuhkan konsepsi dalam kehidupan. Agar tidak
terjadi konflik; antara kebimbangan dan kegalauan. Sehingga membuat individu
lebih mendahulukan keunikannya daripada kebersamaannya, atau keunikannya luruh
karena tidak mampu menyatu dengan kebersamaan.
Bila
kita renungkan, sesungguhnya di sinilah keunggulan seorang Muslim. Sebab dengan
pemahaman agamanya, setelah kualitas amal dinilai dari aspek rasio kapasitas
dan kesulitan yang ada pada setiap individu, selanjutnya kualitas amal dinilai dari
aspek keberjamaahan pada pelaksanaannya.
Maka
konsepsi dasarnya adalah Ketauhidan; keimanan Pada Pencipta dan Tempat Kembali.
Dengan demikian kita akan mengetahui secara sesungguhnya, dari mana kita
berasal dan ke mana kita akan kembali. Sehingga bagi seorang Muslim mudah saja
membuat prioritas dalam hidupnya, sebab ia akan mendahulukan Kehendak Allah
daripada Kehendak Diri.
Tetapi
mempertemukan keunikan dengan kebersamaan memang tidak mudah hanya dengan
memahami konsepsi tersebut. Kendalanya, bila pada suatu saat kita cenderung
ingin melakukan sesuatu, sementara lingkungan atau ummat cenderung melakukan sesuatu
lainnya. Mana yang harus kita dahulukan?
Pada
prakteknya, kita memang lebih membutuhkan panduan langkah praktis. Setidaknya
untuk mampu menjawab pertanyaan, “Dari sekian banyak keunikan yang saya miliki,
apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu?” Atau, “Bagaimana kita membuat
prioritas?”
Tiga
Tahapan Merumuskan Prioritas
Ada
tiga tahapan praktis yang bisa kita terapkan dalam merumuskan prioritas kita.
Tentu setiap tahapannya ditetapkan berdasar pertimbangan Syariat, Wahyu dan
Akal (bagi hal-hal yang tidak ditetapkan oleh Wahyu).
Pertama;
secara Hukum
Tahapan
pertama dengan melihat aspek hukumnya. Apakah kecenderungan atau keinginan kita
itu terhukumi sebagai suatu hal yang Wajib, Sunnah atau Mubah? Atau sebaliknya
terhukumi sebagai suatu hal yang Makruh bahkan Haram? Tentu melakukan yang
Wajib didahulukan dari yang Sunnah, kemudian yang Mubah. Adapun meninggalkan
yang Haram didahulukan dari yang Makruh.
Kedua;
secara Nilai
Tahapan
kedua dengan melihat aspek nilainya. Setelah kita memilah, mana yang Wajib,
Sunnah, dan Mubah, selanjutnya kita bisa melihat nilai sesuatu itu. Nilai ini
terkait dengan situasi dan kondisi dalam setiap ruang dan waktu; yang memusat
pada aspek kebutuhan. Seperti sebuah barang, pada situasi dan kondisi tertentu dalam
ruang dan waktu tertentu akan memiliki harga yang lebih mahal atau lebih murah dari
situasi dan kondisi lainnya dalam ruang dan waktu lainnya. Hal itu terjadi
karena aspek kebutuhan, semakin meningkat kebutuhan (permintaan pasar), maka
semakin tinggi harganya. Sementara semakin menurun kebutuhan (permintaan pasar),
maka semakin turun harganya. Begitupun dengan prioritas kita, setelah kita tetapkan
mana yang harus didahulukan berdasarkan hukumnya, kemudian kita pilah lagi yang
paling dibutuhkan oleh ummat pada saat itu. Sebab itu lebih tinggi nilainya,
dan tentu lebih perlu didahulukan. Aspek nilai ini tentu berubah-ubah setiap
situasi dan kondisi, serta setiap ruang dan waktu.
Ketiga;
secara Pelaksanaan
Tahapan
ketiga dengan melihat aspek pelaksanaannya. Ini lebih ke perkara teknis. Jadi
setelah kita pilah dari aspek prioritas hukumnya, lalu kita pilah dari aspek
prioritas nilainya, kemudian kita bisa pilah lagi dari aspek pelaksanaannya.
Hingga kita dapatkan kesimpulan, mana yang paling memungkinkan dan paling mudah
untuk dilaksanakan. Itulah keputusan prioritas akhir kita. Sebab yang lainnya
belum menjadi prioritas, karena belum memungkinkan dan masih sulit
dilaksanakan.
Penutup
InsyaAllah,
dengan tahapan perumusan prioritas seperti ini, tiada lagi hajat terhadap
peningkatan keunikan individu dan hajat terhadap pemenuhan kebersamaan sosial
yang perlu dibenturkan. Dengannya pula, kita tidak akan menzalimi hak Allah
dari aspek hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, tidak akan menzalimi
lingkungan sosial kita dari aspek kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak akan
menzalimi diri sendiri dari aspek kemungkinan dan kemudahan bagi kemampuan yang
dibutuhkan untuk merealisasikannya. Wallahu ‘alam.
Jakarta, 23 Oktober 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar