IRFAN AZIZI, (05/10/2015) _ Kita adalah sebuah bangsa. Maka tentara adalah kita, namun kita belum tentu
tentara. Sebab tentara adalah anak bangsanya, tetapi tidak semua anak bangsa
menjadi tentara.
Tentara adalah peran. Seperti layaknya kehidupan, sebuah bangsapun
membangun kehidupannya. Maka
dalam kehidupan itu, masing-masing anak bangsa mengambil peran-peran yang
berbeda.
Lalu, kenapa ada semacam jarak yang tak menyatukan? Antara kita dan
tentara. Ya, seperti kita ada di satu lembah, dan tentara ada di lembah lainnya.
Mungkin itu halusinasi kita. Sebab, saat kita buka mata dan memandang sekitar,
tentara ada di tengah-tengah kita. Di dekat kita, berbaur dengan kita.
Biasanya teka-teki persoalan akan selesai bila kita merunut sejarahnya. Sebab
akan menemukan titik temunya. Sebagaimana manusia yang beragam, bila ditelusuri
sejarah nasabnya, maka akan bertemu pada satu titik temu; Adam dan Hawa.
Sebagaimana alam raya yang berupa-rupa, bila ditelusuri sejarah penciptaannya,
maka akan bertemu pada satu titik temu; Sang Pencipta. Lalu di tengah
penelusuran sejarah itu kita akan menemukan banyak titik-titik, yang menjadi
persimpangan-persimpangan sejarah; karena konflik maupun kesepakatan.
Tetapi, menelusuri sejarah –apalagi merunutnya-, bukanlah pekerjaan yang
mudah. Sebagian orang bahkan mungkin malas melakukannya. Sebab bagi sebagian
itu, hidup adalah masa depan. Hidup harus move on, kata generasi kiwari.
Tapi mereka lupa, bahwa masa depan itu sangat tergantung pada kondisi hari ini,
dan kondisi hari ini adalah imbas dari masa lampau. Maka secara tidak langsung,
menetapkan masa depan, mesti menengok masa lalu. Apalagi dalam kehidupan ini,
berlaku yang namanya siklus sejarah. Bahwa sejarah berulang, maka jangan
mengulang kesalahan di masa hadapan. Begitu prinsipnya.
Kembali pada tentara. Mungkinkah sekian lama berada pada tampuk kekuasaan
rezim menjadikan komunitas ini seakan terpisah dari bangsanya? Atau, memang
keunggulan komunitas ini yang membuat seakan terpisah dari bangsanya?
Mengingat, komunitas ini merupakan komunitas selektif; hanya mereka yang unggul
melewati beragam mekanisme seleksi yang bisa bergabung. Maka hampir semua yang
ada di dalamnya adalah individu-individu unggul yang cukup berbeda dengan
khalayak, baik secara mental, fisik, maupun intelektual. Dan itukah yang
membuat seakan terpisah?
Terlalu naif memang, bila menjadikan perbedaan itu sebagai faktor pemisah.
Bukankah keberagaman dalam hidup kita sebuah keniscayaan? Bukankah negeri ini
pun menganut prinsip Bhineka Tunggal Eka? Maka, tentu tak ada perbedaan yang
memisahkan. Sebab, amanat-Nya dalam kitab suci juga perintahkan kita untuk
saling mengenal. Mengenal itu menyatukan, bukan memisahkan.
Maka, lama saya merenungi. Ini bukan soal fakta-fakta itu, tapi ini soal rasa. Bisik batin saya.
Ya. Seperti para pemimpin dan pejabat. Kiranya, apa yang membuat mereka
seakan terpisah dari bangsanya? Bahkan sering kali lebih asing dari bangsa asing yang sesungguhnya. Sampai-sampai ada istilah; terjajah oleh
pemimpin sendiri.
Setelah lama saya merenungkan, sepertinya ini perkara rasa. Ya, lebih pada
rasa, bukan fakta-fakta itu. Yang kemudian membuat mereka merasa terpisah dari
rakyat, yang sebenarnya juga sesama bangsanya sendiri. Dan rasa ini, biasanya karena
perspektif dalam menjalani setiap peran; tentang tanggungjawab yang dipikul dan
tugas yang dilakukan.
Mungkin... Sebagaimana pemimpin dan pejabat, para tentara merasa lebih
banyak memikul beban bangsa dan lebih banyak melakukan tugas untuk kemajuan
bangsa. Sedangkan khalayak lain, kesannya hanya menunggu dan menikmati hasil.
Rasa-rasa semacam itu tentu tidak sepenuhnya
salah. Menjadi salah justru ketika berujung pada kesan ‘siapa kalian dan siapa
kami’. Sebab kita memang dicipta berbeda-beda. Berbeda kapasitasnya, berbeda
pula tanggungjawab dan tugasnya. Tapi, perbedaan itu bukanlah ukuran kemuliaan.
Sebab mulia, saat tanggungjawab dan tugas sebesar
atau sekecil apapun berhasil terselesaikan. Sebab, saat itulah, ada manfaat
yang telah ia berikan. Maka dalam konteks Islam, Rasulullah Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lainnya, tentu setelah keimanan.
Dengan demikian, untuk menghilangkan perasaan
terpisah itu, maka cukup bagi kita menghilangkan rasa telah melakukan lebih banyak
dari khalayak lainnya, walaupun faktanya demikian.
Dan saya dalam berinteraksi dengan beberapa
personil tentara, mendapatinya telah berusaha menghilangkan rasa ini. Mereka
melebur dengan komunitas-komunitas sebangsa yang lainnya, dan melupakan fakta bahwa
mereka telah berbuat lebih banyak bagi kehidupan berbangsa. Toh, berbuat banyak
itu kemuliaan, sehingga tak perlu dikeluhkan. Bilapun mungkin pedih, maka akan
ada pelipur di akhirat kelak.
Mengelola perasaan-perasaan seperti inilah yang efektif menyatukan kita. Maka,
salut bagi para personil tentara yang telah sukses mengelola perasaannya. Bagi
mereka, saya sampaikan salam kehormatan! Kami mengenang jasa baiknya, walaupun
bila kelak kami tak sempat ke pusaranya.
Kepada mereka, sajak Jalaluddin Rumi berikut:
Tatkala aku mati, jangan kau palingkan matamu ke tanah mencari kuburanku. Kuburanku berada di hati orang-orang yang arif.
Selamat HUT
Tentara Nasional Indonesia!
Tulisan ini hanyalah refleksi tentang rasa kita.
Karena beralih dari pembacaan fakta menuju pembacaan rasa, menjadikan kehidupan
kita akan semakin mulia bersahaja. Sebab, hidup tak hanya berisi simbol angka-angka,
namun juga simbol warna-warna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar