Sabtu, 03 Oktober 2015

KETIKA SHALAHUDDIN AL AYYUBI MENJADI TARGET PEMBUNUHAN KELOMPOK SYIAH ISMAILIYAH


IRFAN AZIZI, (03/10/2015) _ “Jangan berperang karena melindungiku, tapi berperanglah di jalan Allah,” tegas Shalahuddin al Ayyubi kepada salah seorang pasukannya di medan laga Hitthin. Ketegasan prinsip fii sabilillah inilah yang oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Ash Shalabi dianggap sebagai salah satu sebab kemenangan pasukan Shalahuddin di perang Hitthin. Sebuah medan perang yang menghantarkan kaum Muslimin kembali memiliki tanah al Quds, tanah wakaf Khalifah Umar bin Khaththab kepada ummat Islam.

Medan laga Hitthin adalah wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 300 meter di atas permukaan laut yang memiliki dua puncak bukit. Dua puncak inilah yang kemudian sering disebut sebagai tanduk Hitthin. Sudah tentu penuh cerita melingkupinya, mengingat itulah medan yang mempertemukan 63 ribu personil tentara Salib yang merupakan aliansi Kristen Eropa dan pasukan elit Ksatria Templar dengan pasukan Mujahidin di bawah pimpinan Shalahuddin al Ayyubi yang hanya berjumlah 12 ribu personil. Dan dengan izin Allah subhanahu wata’ala, 12 ribu pasukan Mujahidin itu mampu menaklukkan 63 ribu pasukan Salib.

Kemenangan itulah yang kemudian membebaskan Al Quds atau Jerusalem pada Jum’at, 2 Oktober 1187 M / 27 Rajab 583 H. Hingga kemudian, sejarah tidak hanya mencatat besarnya kemenangan pasukan Muslimin, namun juga mencatat agungnya keluhuran budi pekerti mereka bahkan terhadap musuh yang dikalahkannya. Semua itu, tercatat rapi dalam buku-buku sejarah.

Tapi, apa kiranya yang membuat Shalahuddin perlu berpesan seperti itu? Selain tentunya karena itu adalah bagian dari aqidah, bahwa Jihad hanyalah untuk Allah semata, juga mungkin karena pengalaman 12 tahun sebelumnya. Ketika Shalahuddin al Ayyubi menjadi target pembunuhan kelompok Syiah Ismailiyah.

Saat itu, Dzul Qa’dah 571 H (Mei 1176 M). Tokoh Syiah Ismailiyah yang telah lama bercokol di negeri Syam bernama Rasyiduddin Sinan al Bashri, menyusupkan 4 orang pengikutnya ke kamp Shalahuddin al Ayyubi saat mengepung benteng Azaz. Ini adalah kali kedua Rasyiduddin menyusupkan pengikutnya. Sebelumnya ia juga pernah menyusupkan orang-orangnya, namun setelah sampai tenda Shalahuddin al Ayyubi dan hendak menikamnya, segera digagalkan dan dibunuh beserta para penyusup lainnya.

Maka pada kesempatan kedua ini, para penyusup Syiah Ismailiyah itu lebih cerdik lagi. Mereka tidak terburu-buru untuk menikam Shalahuddin. Bahkan mereka turut berperang bersama pasukan Shalahuddin, serta ikut mengepung benteng Azaz. Hingga setelah dirasa mereka benar-benar telah menyatu dengan pasukan Shalahuddin, mereka segera mencari kesempatan untuk menikam Shalahuddin. Kesempatan itupun tiba, saat Shalahuddin sedang berkeliling menyemangati pasukannya dan sampai di tenda Emir Jadali al Asadi.

Langsung saja salah satu dari penyusup itu menikamkan pisau ke kepala Shalahuddin. Syukurnya, saat itu Shalahuddin menggunakan topi baja, sehingga pisau itu tak melukai. Tapi, pada serangan kedua, pisau itu berhasil melukai pipi Shalahuddin. Sontak, seluruh komandan dan pasukan yang ada di tenda itu terkesiap dan menyerang balik penyusup itu. Hingga satu demi satu dari empat penyusup itu dapat dibunuh semua.

Mulai saat itu, barisan tentara Muslimin semakin memperkuat pengamanan terhadap Shalahuddin al Ayyubi selaku pimpinan. Namun, Shalahuddin tetaplah komandan yang tidak berhati pengecut. Ia tetap tampil gagah, dan tidak mengorbankan pasukannya demi keselamatan dirinya. Maka tidak heran, bila di kemudian hari ia tetap berpesan kepada pasukannya, “Jangan berperang karena melindungiku, tapi berperanglah di jalan Allah.”

* * *

Apa sesungguhnya yang membuat Syiah Ismailiyah ingin membunuh Shalahuddin? Padahal saat itu pasukan Shalahuddin sedang berusaha membebaskan al Quds dari tangan-tangan Salibis. Bahkan untuk usaha membunuh Shalahuddin, Rasyiduddin menjalin kerjasama dengan tentara Salib. Ada apa gerangan?

Dengki. Itu salah satu sebabnya. Tapi keyakinan, itu juga sebab lainnya. Bagaimanapun, sungguh tampak kebencian Syiah Ismailiyah kepada kepemimpinan Sunni.

Sejak lama mereka memang telah membenci dan terus memupuk kebencian. Kepada para pendahulu Shalahuddin. Lebih jauh lagi, kepada seluruh kepemimpinan Sunni. Hingga dalam sejarah Shalahuddin, kebencian mereka memuncak saat Dinasti Ubaidiyah atau Dinasti Fathimiyah di Mesir digantikan oleh kepemimpinan Sunni, bahkan Shalahuddin dengan semangat ukhuwah islamiyah ingin menyatukan Mesir dengan Syam. Inilah yang semakin membuat kelompok Syiah merasa peluang kepemimpinannya dihancurkan.

Maka, apa yang mereka lakukan? Yang pertama, mengutus Rasyiduddin Sinan al Bashri pada tahun 558 H untuk menyusup ke Syam dan melakukan konsolidasi Syiah Ismailiyah di sana. Rasyiduddin Sinan ini adalah seorang ahli filsafat dan sejarah umat manusia, yang memiliki keberanian dan kecerdikan dalam tipu muslihat. Maka pribadi yang licik itu menyatu dengan kedengkian kelompok Syiah Ismailiyah. Dan, 13 tahun kemudian, ia melancarkan usaha pembunuhan Shalahuddin al Ayyubi.

Ada sebuah nama yang mungkin perlu kita ketahui, yaitu al Hasan ash Shabah. Ia adalah pemimpin Syiah di Persia. Saat al Mustanshir, Pemimpin Dinasti Ubaidiyah, wafat pada tahu 487 H (100 tahun sebelum pembebasan al Quds), maka kalangan Syiah terbagi dua. Satu kelompok mengikut pada putra pertama al Mustanshir yang bernama Nizar, kemudian dikenal dengan sebutan kelompok An Nizariyah. Dan satu kelompok lagi mengikut pada putra kedua al Mustanshir yang bernama al Musta’li, kemudian dikenal dengan sebutan kelompok Al Musta’liyah.

Nah, al Hasan Ash Shabah ini termasuk yang memotori kelompok An Nizariyah, sebab dia memang sudah lama dekat dengan mendiang al Mustanshir. Maka dengan berdalih bahwa anak pertama lebih layak mewarisi tahta, ia pun merapat ke kubu Nizar. Hingga jadilah ia pemimpin Syiah di kawasan Persia. Pengikut kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan al Hasyisyiyah atau al Bathiniyah.

Maka, lihatlah! Bagaimana dendam itu dirawat selama 100 tahun. Bahkan lebih, karena itu merupakan warisan dendam sebelumnya. Dan sangat mungkin ia dirawat hingga masa-masa setelahnya.

Dari sejarah kita belajar akan siklus kehidupan. Maka dari sejarah pula, kita belajar untuk tidak terjebak pada tipu daya yang sama.[]

2 komentar:

Lina W. Sasmita mengatakan...

Semoga Allah senantiasa melindungi Al-Quds dari tangan-tangan dengki dan jahil.

Irfan Azizi mengatakan...

aamiin