IRFAN AZIZI, (03/10/2015) _ “Jangan berperang karena melindungiku, tapi
berperanglah di jalan Allah,” tegas Shalahuddin al Ayyubi kepada salah seorang
pasukannya di medan
laga Hitthin. Ketegasan prinsip fii sabilillah inilah yang oleh Prof. Dr . Ali
Muhammad Ash Shalabi dianggap sebagai salah satu sebab kemenangan pasukan
Shalahuddin di perang Hitthin. Sebuah medan
perang yang menghantarkan kaum Muslimin kembali memiliki tanah al Quds, tanah
wakaf Khalifah Umar bin Khaththab kepada ummat Islam.
Kemenangan itulah yang kemudian membebaskan Al
Quds atau Jerusalem pada Jum’at, 2 Oktober 1187 M / 27 Rajab 583 H. Hingga kemudian,
sejarah tidak hanya mencatat besarnya kemenangan pasukan Muslimin, namun juga
mencatat agungnya keluhuran budi pekerti mereka bahkan terhadap musuh yang
dikalahkannya. Semua itu, tercatat rapi dalam buku-buku sejarah.
Tapi, apa kiranya yang membuat Shalahuddin
perlu berpesan seperti itu? Selain tentunya karena itu adalah bagian dari
aqidah, bahwa Jihad hanyalah untuk Allah semata, juga mungkin karena pengalaman
12 tahun sebelumnya. Ketika Shalahuddin al Ayyubi menjadi target pembunuhan
kelompok Syiah Ismailiyah.
Saat itu, Dzul Qa’dah 571 H (Mei 1176 M). Tokoh Syiah Ismailiyah yang telah
lama bercokol di negeri Syam bernama Rasyiduddin Sinan al Bashri, menyusupkan 4
orang pengikutnya ke kamp Shalahuddin al Ayyubi saat mengepung benteng Azaz. Ini
adalah kali kedua Rasyiduddin menyusupkan pengikutnya. Sebelumnya ia juga
pernah menyusupkan orang-orangnya, namun setelah sampai tenda Shalahuddin al
Ayyubi dan hendak menikamnya, segera digagalkan dan dibunuh beserta para
penyusup lainnya.
Maka pada kesempatan kedua ini, para penyusup Syiah Ismailiyah itu lebih
cerdik lagi. Mereka tidak terburu-buru untuk menikam Shalahuddin. Bahkan mereka
turut berperang bersama pasukan Shalahuddin, serta ikut mengepung benteng Azaz.
Hingga setelah dirasa mereka benar-benar telah menyatu dengan pasukan
Shalahuddin, mereka segera mencari kesempatan untuk menikam Shalahuddin. Kesempatan
itupun tiba, saat Shalahuddin sedang berkeliling menyemangati pasukannya dan
sampai di tenda Emir Jadali al Asadi.
Langsung saja salah satu dari penyusup itu menikamkan pisau ke kepala
Shalahuddin. Syukurnya, saat itu Shalahuddin menggunakan topi baja, sehingga
pisau itu tak melukai. Tapi, pada serangan kedua, pisau itu berhasil melukai
pipi Shalahuddin. Sontak, seluruh komandan dan pasukan yang ada di tenda itu
terkesiap dan menyerang balik penyusup itu. Hingga satu demi satu dari empat
penyusup itu dapat dibunuh semua.
Mulai saat itu, barisan tentara Muslimin semakin memperkuat pengamanan
terhadap Shalahuddin al Ayyubi selaku pimpinan. Namun, Shalahuddin tetaplah
komandan yang tidak berhati pengecut. Ia tetap tampil gagah, dan tidak
mengorbankan pasukannya demi keselamatan dirinya. Maka tidak heran, bila di
kemudian hari ia tetap berpesan kepada pasukannya, “Jangan berperang karena
melindungiku, tapi berperanglah di jalan Allah.”
* * *
Apa sesungguhnya yang membuat Syiah Ismailiyah ingin membunuh Shalahuddin?
Padahal saat itu pasukan Shalahuddin sedang berusaha membebaskan al Quds dari
tangan-tangan Salibis. Bahkan untuk usaha membunuh Shalahuddin, Rasyiduddin
menjalin kerjasama dengan tentara Salib. Ada apa gerangan?
Dengki. Itu salah satu sebabnya. Tapi keyakinan, itu juga sebab lainnya. Bagaimanapun,
sungguh tampak kebencian Syiah Ismailiyah kepada kepemimpinan Sunni.
Sejak lama mereka memang telah membenci dan terus memupuk kebencian. Kepada
para pendahulu Shalahuddin. Lebih jauh lagi, kepada seluruh kepemimpinan Sunni.
Hingga dalam sejarah Shalahuddin, kebencian mereka memuncak saat Dinasti
Ubaidiyah atau Dinasti Fathimiyah di Mesir digantikan oleh kepemimpinan Sunni,
bahkan Shalahuddin dengan semangat ukhuwah islamiyah ingin menyatukan Mesir
dengan Syam. Inilah yang semakin membuat kelompok Syiah merasa peluang
kepemimpinannya dihancurkan.
Maka, apa yang mereka lakukan? Yang pertama, mengutus Rasyiduddin Sinan al
Bashri pada tahun 558 H untuk menyusup ke Syam dan melakukan konsolidasi Syiah
Ismailiyah di sana. Rasyiduddin Sinan ini adalah seorang ahli filsafat dan
sejarah umat manusia, yang memiliki keberanian dan kecerdikan dalam tipu
muslihat. Maka pribadi yang licik itu menyatu dengan kedengkian kelompok Syiah
Ismailiyah. Dan, 13 tahun kemudian, ia melancarkan usaha pembunuhan Shalahuddin
al Ayyubi.
Ada sebuah nama yang mungkin perlu kita ketahui, yaitu al Hasan ash Shabah.
Ia adalah pemimpin Syiah di Persia. Saat al Mustanshir, Pemimpin Dinasti
Ubaidiyah, wafat pada tahu 487 H (100 tahun sebelum pembebasan al Quds), maka
kalangan Syiah terbagi dua. Satu kelompok mengikut pada putra pertama al
Mustanshir yang bernama Nizar, kemudian dikenal dengan sebutan kelompok An
Nizariyah. Dan satu kelompok lagi mengikut pada putra kedua al Mustanshir yang
bernama al Musta’li, kemudian dikenal dengan sebutan kelompok Al Musta’liyah.
Nah, al Hasan Ash Shabah ini termasuk yang memotori kelompok An Nizariyah,
sebab dia memang sudah lama dekat dengan mendiang al Mustanshir. Maka dengan
berdalih bahwa anak pertama lebih layak mewarisi tahta, ia pun merapat ke kubu
Nizar. Hingga jadilah ia pemimpin Syiah di kawasan Persia. Pengikut kelompok
inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan al Hasyisyiyah atau al Bathiniyah.
Maka, lihatlah! Bagaimana dendam itu dirawat selama 100 tahun. Bahkan
lebih, karena itu merupakan warisan dendam sebelumnya. Dan sangat mungkin ia
dirawat hingga masa-masa setelahnya.
Dari sejarah kita belajar akan siklus kehidupan. Maka dari sejarah pula,
kita belajar untuk tidak terjebak pada tipu daya yang sama.[]
2 komentar:
Semoga Allah senantiasa melindungi Al-Quds dari tangan-tangan dengki dan jahil.
aamiin
Posting Komentar