Selasa, 08 September 2015

KETABAHAN, KETELADANAN, DAN KESINAMBUNGAN UKHUWAH



IRFAN AZIZI, (24/02/2013) _ Kabar duka bagaimana pun rupanya selalu menggigit pedih jiwa. Itu pula yang menelungkupi pagi saya, akhir pekan, Sabtu 23 Februari 2013. Satu pesan SMS menghampiri handphone saya, dari Abi, “Asww berita duka Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, telah pulang ke rahmatullah Akh Abun Rudi, semoga diampuni dosanya dan diterima amal perbuatannya serta keluarga yg ditinggalkan diberikan kesabaran.
Saya membaca ulang pesan itu lagi, mencoba menerka, lalu melantun do’a, “Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.” Abun Rudi, apakah orang yang biasa saya panggil bang Abun dahulu itu?
Hingga kemudian firasat saya dibenarkan saat terkoneksi dengan WiFi asrama, masuk inbox dari seorang teman berkenaan kabar duka itu juga, lalu inbox serupa juga dari yang lainnya menghampiri facebook saya satu lagi, dan terakhir pesan SMS dari Ummi.
Di sini, bertolak dari pemahaman bahwa nasehat kematian merupakan pelajaran yang dahsyat dalam kehidupan kita, juga memahami bahwa pelajaran lebih dapat terserap bila terterakan, maka saya mencoba merunut sari nasehat dari momentum duka ini.
Dan, pada hari yang sama itu, saya menulis sebuah status di facebook, “Kabar duka, kabar kematian, menghampiriku pagi ini. Mengingatkan akan langkah perjuangan ini, jalan kehidupan ini, dan destinasi cinta kita.


3 PERENUNGAN

Pertama; perenungan Langkah kita.
Hidup kita di dunia ini adalah tentang kebersamaan langkah perjuangan. Masing-masing kita bertemu dalam gerak langkah bersama, lalu pada simponi langkah kebersamaan itulah kita menguntai karya dan kerja bersama. Sayangnya, kebersamaan langkah tak serta-merta saling mengenalkan, tak serta-merta saling menentramkan, tak serta-merta mengintegrasikan. Hingga kabar duka itu hadir, dan saya dihenyakkan pada sebuah kesadaran; bahwa saya tidak mengenal betul nama lengkap beliau, tidak mengenal betul keluarga beliau, tidak mengenal betul beban kehidupan beliau, dan tidak mengenal betul potensi sumbangsih beliau.

Kedua; perenungan Jalan kita.
Langkah perjuangan kita di dunia ini akhirnya menggiring kita pada sebuah jalan kehidupan. Di sana kita saling beriringan, dan terkadang saling berpacu. Sayangnya, jalan yang sama itu tak serta-merta saling membersamai, tak serta-merta saling melengkapi, tak serta-merta saling menggamit. Hingga kabar duka itu hadir, dan saya dihenyakkan pada sebuah realita; bahwa saya luput menyeksamai tutur dan lakunya yang pasti ada pelajaran, luput menyempatkan diri bersamanya, luput berhenti menunggunya dalam jeda peristirahatan sepanjang jalan itu, luput memberikan dorongan bagi ide dan keinginan mulianya, dan luput membantu reparasi serta menariknya saat mogok di sepanjang jalan hidup ini.

Ketiga; perenungan Destinasi Cinta kita.
Jalan kehidupan kita di dunia ini akhirnya berujung pada sebuah destinasi cinta. Destinasi cinta yang paling akhir itu adalah cinta Rabbul Izzati dengan segala hal yang mengitari areal hari akhir, dan di sepanjang jalan itu ada destinasi-destinasi persinggahan berupa saung amal dan musium karya. Sayangnya, destinasi cinta itu tak serta-merta mendekatkan yang terasa jauh, tak serta-merta memformulasikan target aplikatif, tak serta-merta mengarahkan kesiapan pada bekal. Hingga kabar duka itu hadir, dan saya dihenyakkan pada sebuah fakta; bahwa saya kurang mawas pada kematian sebagai pemberhentian akhir yang mungkin hadir setiap saat, kurang mawas pada agenda kehidupan yang terukur, dan kurang mawas pada kapasitas yang dibutuhkan untuk mencapainya. Bahkan, destinasi cinta ini semestinya melahirkan persaudaraan yang hangat menumbuhkan, bukan permusuhan yang dingin mematikan.


3 PENYIKAPAN
Setidaknya ada tiga penyikapan bagi momentum duka semacam ini, yaitu:

Pertama; sikap Ketabahan kita.
Kita mengawali dengan ketabahan. Sebab itu hantaman yang menggoncangkan jiwa. Goyah sudah pasti, tapi cukup sesaat dan tidak berlarut. Di sini, kita hanya perlu jeda waktu. Memupuk kembali dengan tiga perenungan; langkah perjuangan kita, jalan kehidupan kita, dan destinasi cinta kita. Jika ketiga perenungan itu terhayati terus-menerus, maka lambat laun ketabahan kita akan terpupuk kembali. Karena ketabahan itu berkenaan wilayah perspektif-paradigma.

Kedua; sikap Keteladanan kita.
Setelah kita pastikan bahwa ketabahan kita mantap, maka saatnya berangsur pada aksi meneladani. Bahwa hidup kita harus menjadi teladan, adalah misi suci dari agenda besar tanggungjawab dakwah setiap muslim. Dan menjadi teladan dapat berawal dari mengumpulkan benih-benih keteladanan yang berserakan maupun melanjutkan keteladanan yang telah ada di berbagai manusia. Maka salah satu etika penyikapan kita pada wafatnya seorang manusia adalah melanjutkan amal dan karya keteladanannya.

Ketiga; sikap Kesinambungan Ukhuwah kita.
Setelah perspektif dan paradigma membenihkan ketabahan, serta produktivitas dan efektivitas diri terlahir dari sikap meneladani dan melanjutkan keteladanan, maka ada penyikapan ketiga yang perlu dilakukan. Yaitu menjaga kesinambungan ukhuwah, baik kepada almarhum, maupun kepada yang ditinggalkan almarhum. Kepada almarhum wujud ukhuwah itu dengan menjaga kesinambungan ilmu darinya yang bermanfaat, amal jariyahnya, dan bakti anak-anaknya. Sedangkan kepada yang ditinggal almarhum kita jaga dengan silaturrahim; saling mengenal dan saling membantu. Maka adabnya, pihak keluarga yang ditinggal menjaga silaturrahim dengan kerabat almarhum, rekan almarhum, dan semua kenalan almarhum. Begitupun sebaliknya, kerabat dan kenalan almarhum terus menjaga silaturrahim dengan keluarganya.


EPILOG
Saya memang tidak banyak berinteraksi dengan almarhum. Sebab, baru saja mengenalnya di masa-masa Reformasi 1998, saya ditaqdirkan meninggalkan Kapuas Hulu untuk studi di Bogor - Jawa Barat. Sehingga interaksi saya memang sebatas saling sapa dan mengenal nama, itupun bukan nama lengkap.
Namun, setidaknya nama almarhum cukup tersimpan baik di benak saya. Dan secara berkala, orang tua maupun adik saya meng-update info perkembangan tentang almarhum. Kemudian di tahun 2004, dalam rentang dua pekan, saya berkesempatan bersua beliau sekali dalam majelis kajian.
Sampai pada akhirnya, kesempatan berkunjung ke Kapuas Hulu selama bulan Agustus 2012 lalu, merekonstruksi ulang gambaran sosok bang Abun yang terkenang oleh saya berpostur gemuk menjadi bang Abun yang tampak kurus. Kabarnya, beliau pernah menderita sakit. Maka, postur gemuk itu berubah kurus. Namun satu yang tampaknya tidak berubah; tetap semangat langkahnya, tetap bersama dalam jalan dakwah ini, dan tetap menggamit erat ukhuwah menuju destinasi cinta bersama.
Begitulah sosok yang awal saya mengenalnya sebagai pemuda gemuk nan ramah itu kini telah mendahului kita. Forum kajian pekanan itu telah menjadi saksi ujung langkahnya. Dan di ujung status facebook itu, saya menulis, ”Semoga keluarga yang ditinggal mampu tabah dan melanjutkan karya keteladanan almarhum, serta menjaga kesinambungan ukhuwah.
Bukan hanya keluarga, bahkan kita![]

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Betul sekali...kematian itu akhir perjuangan amal di dunia..semoga perjuangan amal sholeh selama di dunia, berbuah manis di akhirat.

ekarosaria.blogspot.com

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.