IRFAN AZIZI, (09/12/2013) _ Pagi hari keempat saya di Makkah, masuk sebuah pesan inbox dari Islamabad. “Salam mas Irfan. Ibu mohon didoakan ya semoga urusan kuliah ibu segera kelar dan diberi kemudahan untuk kembali ngajar.” Tulis seorang ibu guru yang sedang melanjutkan studi jenjang S2 pada sebuah kampus di Pakistan.
Keterbatasan saya mengakses internet yang kemudian menyulitkan saya untuk membalasnya. Selain juga prosesi haji yang sudah dimulai. Hingga masuk pesan selanjutnya via Whatsapp, tengah malam lima hari kemudian tepat saat saya ingin meninggalkan Muzdalifah. “Salam mas Irfan.. Ibu lagi galau. Mohon doanya ya semoga ibu pulangnya Desember bukan dipercepat Oktober ini, biar kami ada waktu untuk prepare. Makasih ya. Semoga semua lancar dan dimudahkan hingga bisa bertemu kembali di Islamabad.”
Shubuh Idul Adha, di antara anak-anak Afrika yang mengenakan busana-busana indahnya khas Hari Raya, saya balas pesan itu dengan sedikit ragu. “Kami juga belum ingin segera berpisah dengan ibu sekeluarga.” Pandangan saya tetap ke layar handphone, membaca ulang pesan yang telah terkirim.
Tak lama, ibu guru itu membalas, “Kami berharap kita berkumpul di rumah itu untuk kali terakhir hingga pulang nanti.”
Sejuta Senyum
Saya tidak banyak komunikasi dengan beliau setelah itu. Satu-persatu aktivitas selepas haji saya laruti. Di satu sisi saya ingin mengeksplorasi Makkah lebih dalam. Namun di sisi lain saya ingin segera kembali ke Islamabad, bertemu dengan ibu guru itu dan keluarganya.
Di mana senyum seorang ibu berpadu dengan senyum seorang guru. Senyum yang lahir dari negeri sejuta senyum. Ada kasih, namun juga ada petuah. Ada sayang, namun juga ada pengajaran. Itu yang mungkin dirasakan orang-orang yang melingkupinya, yang rata-rata adalah para pelajar generasi muda Indonesia.
Saya tak dapat pungkiri, bahwa mereka diam-diam membendung air mata di pelupuknya saat harus berpisah dengan guru itu. Sebagian mungkin tak dapat menahannya, namun sebagian menyimpannya untuk ditumpahkan saat kembali ke peraduan malamnya. Dan sebagian mereka, menyalurkan rasa haru itu di sekelumit ujaran ringan selepasnya.
Mereka memang merasakannya, dan mungkin sebagian mereka tidak mengetahui bagaimana ibu guru itu memberikan kearifannya secara merata, hingga siapapun mereka mendapatkannya. Ya, satu per satu tak ada yang terlewati. Seberapapun intensitasnya dalam interaksi. Bahkan kepada mereka yang baru dikenal sekalipun.
Hampir berkali-kali guru itu menyampaikan ke saya, “Anak ini berbakat sebenarnya.” Bukan cuma satu orang, tapi saya hitung beberapa nama pernah beliau sebutkan kepada saya dengan bakatnya masing-masing. Atau di lain kesempatan guru itu berdiskusi dengan ujaran, “(Menyebut nama seorang mahasiswa) itu punya keunikan yang tidak dimiliki yang lainnya.” Sambil menggilir nama per-nama.
Bahkan kadang begini bentuk apresiasinya, “Ibu perhatikan, (menyebut nama bergantian) itu sebenarnya punya perhatian kepada adik-adiknya.”
Seringkali saya tak habis pikir, ketika mendapati guru itu sempat-sempatnya menanyakan orang-orang yang ia kenal namun cukup lama tak bersua. Menanyakan keadaannya, di mana ia-nya, dan sebagainya.
SMS pada 9 November itu mungkin salah satu bentuk kearifan beliau yang dapat saya sampaikan di sini. “Irfan. Ini ibu nyari dokter dulu buat ****. Mungkin ke rumah sakit siangan. Semalam kayaknya dia menggigil. Nggak ada orang. *** gimana? Pulsa ibu habis.”
Begitulah… Semoga mereka semakin mengetahui, seberapa banyak senyuman motivasi dan perhatian guru itu kepadanya.
Aura Cinta
Hari-hari berlalu begitu cepatnya, sejak saya menyampaikan ke beliau untuk izin tinggal di rumahnya demi sebuah kenangan menyelesaikan naskah buku pasca Idul Fitri yang lalu. Ya, mengikat kenangan dalam sebuah proses kreatif semacam itu memang menjadi pilihan saya untuk menyematkan ukhuwah.
Sejak itu, saya menyelami pengajaran-pengajaran beliau. Dari lepas Shubuh hingga malam. Menyelami aura cinta seorang guru. Hingga suatu petang di kamar Kuwait Hostel, saat saya aktifkan netbook telah masuk pesan via facebook, “Oiya sekalian mau nyampein … tadi ada informasi kalau pengganti bapak akan datang Senin depan. InsyaAllah tanggal 25 Nov. Semoga kami dan kita semua selalu diberikan kekuatan lahir dan batin untuk tetap melangkah menapaki kisah berikutnya. Aamiin.”
“Ya Allah, campur aduk perasaan…” Balas saya seadanya, sembari menatap awang-awang kamar.
Lalu balasan saya berbalas kembali. “Itu juga yang ibu alami … cambur aduk masih beberapa hal belum kelar. Besok harus melangkah. Rupanya Dia hadirkan kegundahan ini beriringan agar ibu tak larut pada satu sisi saja. Semoga Allah selalu membimbing…”
Saya tak lagi membalasnya. Hanya benak saya mencari-cari, doa apa yang layak dipanjatkan untuk beliau saat seperti itu.
Sore hari selanjutnya saya tarima pesan lagi via FB, “Assalamu’alaikum.. Hp Irfan gak on ya… ok gpp. Info terbaru pengganti datang hari sabtu tgl 23. Skrg lumayan berkejaran sama waktu. Pengalaman di Shifa sungguh prolog yang luar biasa.”
Apakah suasana batin beliau sekalut pesan inbox-nya? Mungkin. Tapi, apakah sekalut itu penampilan beliau? Menurut saya tidak. Sebab hari-hari terakhir itu, beliau masih sedia menghadiri satu undangan demi undangan perpisahan. Beliau juga masih menyiapkan anak-anaknya sekolah. Beliau pun masih perhatian pada hidangan yang akan dimakan bersama orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan masih sedia untuk menjawab tanya, diskusi, hingga berbalas canda. Itu mungkin biasa bila hari-hari normal. Namun, bagaimana bila itu berlangsung saat barang-barang belum terkemas semua dan seisi ruang-ruang berantakan?
Entah kenapa, kali itu adalah kali pertama saya tak mampu membendung air mata kala mengantarkan orang ke bandara. Sistem kontrol rasa saya seakan tak berfungsi malam itu, hingga segala rasa berkecamuk. Mungkin bait-bait lirik Suara Persaudaraan ini layak bagi beliau.
Aura cintamu
Terbangkanku pada keagungan-Nya
Pulihkan jiwaku yang tengah terluka
Tuk kembali sujud pada-Nya
Kugapai bintang
Dengan sinar-seminarnya yang benderang
Kuraih dan segera kubawa pulang
Kupersembahkan pada negeriku
Indonesia-ku...
Aura cintamu
Mengajakku tunduk di alam rahmat-Nya
Mengajarkan aku di tengah makhluk-Nya
Berbagi suka pada sesama
Aura cintamu
Pancarkan cita kejayaan negeriku
Yang akan terwujud di ufuk waktu
Berpadu satu dalam asaku
Indonesia-ku...
* * *
Berbahagialah Indonesia, engkau masih memiliki aura cinta seorang guru. Yang akan terus memekarkan sejuta senyum bangsamu. Sebab, Indonesia yang terkenal sebagai negeri sejuta senyum itu, akan semakin bermartabat dengan sentuhan aura cinta seorang guru. Semoga beliau tidak sendirian, bahwa ada banyak guru negeri ini yang memiliki aura cinta yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar