Kamis, 10 September 2015

KOBOY HAJI YANG BERKELANA DI BEBATUAN MAKKAH

IRFAN AZIZI, (09/11/2012) _ Ini bukan KH, layaknya gelaran para tokoh-tokoh pesantren di Indonesia. KH yang berarti Kyai Haji. Namun ini KH lain. Ya, Koboy Haji. Sudah yang ketiga kalinya kami, mahasiswa di Islamabad menjalaninya. Setelah dilema Temus (Tenaga Musiman) yang diputus. Entah, di mana awal mula pemutusan itu, apakah Depag, Konjen Jeddah, ataukah siapa? Entah...

Karena kronologinya pun tak kunjung terjelaskan. Alasan-alasan yang dahulu menghampiri kami juga silih berganti rupa, entah mana yang sesungguhnya. Dan, kami harus memulai klarifikasi dari mana pun tak jua bertemu signal-nya. KBRI, DPR RI, Konjen, Kemenag, atau yang mana?

Baiklah, lupakan saja itu. Kini saya hanya ingin mengalirkan energi Koboy Haji yang seharian kemarin saya serap. Oya, perkara Koboy Haji atau bisa pula Haji Koboy, itu haji yang kami proses dengan mandiri dan berjalan dengan sendirinya. Hingga mengalir seorang diri, di tengah lautan jama’ah haji.

Tapi bukan berarti tiada hamparan yang nyaman untuk kami beristirahat, atau tanpa panganan yang layak untuk mengisi energi fisik kami, sebab itu semua mungkin saja kami dapatkan yang tentu dengan beberapa ikhtiar. Rasanya saya cukupkan sampai di sini penjelasan tentang Haji Koboy. Sebab, niatan awal tulisan ini hanya untuk menyalurkan energi-energi dari mereka yang terbawa pulang dari tanah suci.

Oya, sebentar, satu lagi... Saya teringat pada semacam aturan baku per-titel-an di Tanah Air. Bahwa ada semacam yang namanya pangkat atau gelar H, yaitu Haji, di depan nama bagi mereka yang baru kembali dari ibadah haji. Entah bagaimana asal muasalnya, namun kenapa kemudian menurunkan beberapa dampak yang menyimpang; seperti ketersinggungan bila ’gelar’ itu luput dari penyebutan di depan namanya. Kenapa tidak pula ada gelaran S di awal atau akhir nama bagi yang telah menunaikan Shalat, misalnya S. Fulan atau Fulan, S., atau P bagi yang telah sukses puasanya, atau Z bagi yang usai berzakat. Hmm, barangkali karena salah kaprah ini bermula dalam penyebutan awal untuk proses ibadah haji, yaitu Naik Haji. Ya, jadi semacam prestasi yang tergapai.

Tapi bagaimanapun, ibadah haji di Indonesia bukankah memang selayaknya ’prestasi yang tergapai’, yang perjuangannya berpeluh-peluh, yang ternanti bertahun-tahun. Kecuali yang disodorkan kesempatan oleh Allah subhanahu wata'ala sebagai imbalan bagi ’kejeliannya’ menyiasati birokrasi.

Haji Itu Lahan Kebaikan

Temanku –yang juga adik tingkatku di kampus International Islamic University Islamabad- itu berkisah, bahwa di zona haji itu, aura kebaikan benar-benar menyemerbak ke sanubari-sanubari para jama’ah dan mereka yang ada di sekitarannya. Tentu tetap adanya pengecualian, dengan sebab-sebab tertentu dan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Tapi umumnya, ya aura kebaikan itu.

Bagaimana tidak, orang yang berdesak-desakan, dorong-dorongan, berebut mencapai Hajar Aswad, Multazam, Hijir Ismail, tetap bisa tersenyum dan saling menasehati di antara mereka. Bila ada yang sedikit mendorong agak keras, maka yang di samping-sampingnya akan mengingatkan, “Ishbir...ishbir... (Sabar...sabar...).” Mereka mengingatkan, menasehati, bukan memarahi atau bahkan membentak. Yang diingatkan pun menerima dengan penuh kelapangan.

Bila ada yang terhimpit di Hajar Aswad, maka jika ia melompat ke belakang pasti akan ditangkap oleh jama’ah di belakangnya. Setelah itu dia bisa berdiri sempurna sambil berterima kasih kepada mereka, ucapkan jazaakallah (semoga Allah memberikan imbalan kepadamu), dan selanjutnya thawaf berjalan normal apa adanya. Bila terpeleset karena terdorong atau sebagainya, orang di sekitar akan segera menangkap tangan kita, atau bilapun tak sempat dan terlanjur jatuh, maka akan dibantu berdiri. Itu oleh bangsa mana saja.

Yang berbagi makanan, snack, maupun minuman, juga ada di jalan-jalan. Bukan berbagi dengan keranjang atau gerobak, tapi langsung dengan kontainer. Ya, satu kontainer makanan dan minuman dibagikan cuma-cuma. Petugas-petugas maktab-nya (yang kawasan Asia Selatan, tidak tahu yang dari kawasan lainnya), sangat ramah dan melayani. Masyarakatnya, sangat menyambut para tamu Allah itu dengan penghormatan yang baik.

TKW yang berjualan panganan di pinggir jalan, bila hampir ditertibkan oleh petugas, maka ibu-ibu jama’ah hají-lah yang kemudian me-lobby dengan baik-baik agar mereka tetap bisa berjualan dan jama’ah dapat dengan mudah mendapatkan makanan seleranya. Lepas dengan ketegasan peraturan dan kelonggarannya dari wujud menjaga ketenangan ibadah hají, yang mencolok adalah nuansa saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Saling ingin menolong, bukan berebut meminta pertolongan. Ah, indah kan bila ini menyeruak di kehidupan muslim dalam memandu laju modernitas peradaban?

Derita Jama’ah Indonesia

Tapi dari aroma-aroma kebaikan itu, ada kelupas-kelupas derita dari jama’ah asal Indonesia yang memerihkan jiwa. Misalnya, seperti yang tiba-tiba dikeluhkan oleh bapak berlogat jawa di sebuah perjalanan menggunakan bus. “Aduh, Mas, Mas. Aku ini bingung, kok dikit-dikit Dam, dikit-dikit Dam. Nyentuh Hijir Ismail, katanya kena Dam. Bla...bla...bla...

Hah?! Rekanku hanya melongo, lalu segera menelusuri ceritanya. Hmm, kasihan jama’ah kita. Pemandunya bagaimana sih? Masak menyentuh Hijir Ismail gak boleh? Tapi, memang kadang-kadang kasus seperti ini juga ada di beberapa lainnya. Tentang larangan ini, itu, dan sebagainya. Yang terkadang tak berdalil. Alih-alih manasik haji yang telah dilakukan untuk melancarkan proses haji para jama’ah, malah berujung aneka informasi yang semrawut bak benang kusut yang untuk mengurainya membutuhkan energi pikir ekstra. Eh ya, mungkin aturan Dam-Dam buatan itu buah dari kebijakan bisnis. Ya, bisnis Dam. Huh, sungguh terlalu!!!

Belum lagi tentang wanti-wanti yang kurang proporsional, untuk menghindari Muqimin (orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab) misalnya. Sepertinya membekas lekat, sehingga setiap bertemu orang Indonesia disangka Muqimin, dan kemudian ramai-ramai dijutekin alias dipandang sinis. Dan kawan-kawan saya itu sempat kena cipratan sinisme para jama’ah, sebab berpakaian biasa dan salah disangka. Mungkin maksud dari pemimpin rombongan mereka itu baik. Tapi karena tidak berimbang informasinya, jadi malah membebani jama’ah selama proses ibadah haji. Jama’ah jadi semacam dimasukkan ke alam pekat penuh trauma yang mereka sendiri tidak tahu pasti keabsahannya.

Alhasil, niat menolong pun seringkali disalahpahami. “Mau menolong aja lho, susahnya,” keluh teman saya. Ya, menyalami dibalas sinis. Ada ibu-ibu tersesat, mau dibantu, malah tidak mau dan berlalu menjauh. Memang tidak mudah membantu orang yang tersesat, padahal bantunya sukarela, dan jarangnya ditemui petugas Indonesia. Hanya orang yang sudah tersesat di atas sekitar 8 jam-an saja yang akhirnya mau dibantu. Yah, sudah frustasi kali dia mencari jalan kembali, akhirnya merelakan kita untuk membantunya. Hehehe…

Oya, jarang menemui petugas Indonesia? Memang pada di mana? Sejauh pandangan mata, di areal yang luas itu hanya dua – tiga saja. Ada sih, berkerumun di pos, tapi letaknya di pojok. Sempat pula ketemu yang sedang duduk-duduk ngopi. Ada juga yang dilaporin ada jama’ah butuh informasi, cara jawabnya kurang enak disimak. Sebenarnya jawabannya benar, menyuruh jama’ah yang dimaksud untuk datang ke posko, tapi disampaikan dengan nada yang kurang renyah. Mungkin dia lelah, hehehe... Mungkin juga hanya oknum, tapi coba deh dicek tuh di lapangan! Biar jama’ah kita tidak menjadi korban di hari berqurban.

Begitulah... Tidak hanya tentang sapa dan tawaran bantuan. Bahkan sekadar membagikan buku gratis pun ‘dicurigai’. Oh, Ya Rabb. Ramuan doktrin apa yang merayap di benak-benak mereka? “Tapi memang minat baca masyarakat kita itu rendah,” teman saya itu mengakhiri dengan sebuah argumen.

Saya hanya membalasnya dengan senyum sembari berseloroh ringan, “Ya, sayangnya bimbingan haji kita semuanya hampir berbasis modul. Bahkan do’a pun ada modulnya.” Benakku menerawang ke para jama’ah yang harus direpotkan dengan kalung-kalung modul do’a yang tebal dan memberatkan. Tapi bukan hanya soal beratnya, bukan pula hanya soal ribetnya mereka membolak-balik lembar kumpulan do’a yang hampir tiga ratus halaman itu. Melainkan juga soal rawannya ketika terjadi dorong-mendorong dan luput keseimbangan, lalu menggapai apa saja di sekitar yang tidak menutup kemungkinan tali modul do’a yang terkalung itu pun tergapai. Akibatnya, korban bisa saja berjatuhan gara-gara tali modul do’a yang tergantung di leher itu melilit karena tertarik atau tersangkut tak sengaja di tangan jama’ah lainnya. Korban yang mengenaskan dan sungguh tidak lucu, bukan?


Harapan Kepada Para Hujjaj

Pagi itu, pukul 3.30 dini hari saya menerabas dinginnya jelang winter. Sudah kisaran dua puluh dejarat. Tangan mulai kaku dan semi membeku. Berburu taksi butut yang tak kunjung didapat. Sebab mereka lebih memilih tidur berselimut, dibanding mengais rezeki di belantara dingin. Hingga satu jam lewat saya dan seorang teman (Ketua Umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia / PPMI Pakistan) baru mendapatkan seorang supir taksi yang tampak memang niat bekerja.

Perjalanan dini hariku itu ke Benazhir Butho Airport. Menjemput jama’ah haji mahasiswa yang akan tiba jam 5 pagi itu. Mereka yang baru kembali dari berkelana di bebatuan Makkah. Sehingga salah satu dari mereka berujar, “Alhamdulillah bisa sampai sini lagi, menikmati pepohonan dan tanah. Di sana batu aja, kalaupun ada tanah, itu dibuat.

Mereka adalah tamu Allah yang kini akan kembali mengembara di seantero peradaban. Dan saya menjemputnya, hanya untuk menyambut mereka di awal hari, memeluk kehangatan ukhuwahnya, dan meresapi setiap volume energi ruhiyahnya. Sembari berharap, “Semoga mereka kembali dengan spirit imani dan kekuatan perubahan bagi lingkungan. Menjadi unsur perekat, menjadi motivator kebaikan, menjadi tuntunan amal jama’i untuk kejayaan bangsa dan ummat.”[]

Tidak ada komentar: