Kamis, 21 Januari 2016

TIGA FAKTOR SEBUAH KEBURUKAN BISA DIKALI-LIPATKAN


Meskipun ada sebuah hadits Qudsi yang menyatakan, “Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya satu kejahatan.” Bahkan ada sebuah firman-Nya di al Qur’an yaitu surat Al An’am ayat 160 yang menyatakan, dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” Namun, ada 3 faktor yang menjadikan sebuah Keburukan bisa saja dikali-lipatkan catatannya.


Apakah hal ini berarti dalil-dalil dalam agama Islam saling bertentangan? Tidak. Melainkan itu merupakan pengkhususan dari dalil yang umum. Lalu, apa 3 faktor itu?

Faktor Waktu

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek waktu. Bila suatu keburukan dilakukan di waktu-waktu tertentu, maka nilainya bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan di waktu-waktu lainnya. Apa itu waktu-waktu tertentu? Yaitu sebagaimana yang disebut oleh Allah azza wa jalla adalah bulan-bulan suci. Yang disebut dengan bulan-bulan suci itu ada empat: Muharram, Rajab, Dzul Qo’dah dan Dzul Hijjah.

Faktor Tempat

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al Baqarah ayat 197, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek tempat. Bila suatu keburukan dilakukan di tempat-tempat tertentu, maka nilainya bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan di tempat-tempat lainnya. Apa itu tempat-tempat tertentu? Yaitu sebagaimana yang disebut oleh Allah azza wa jalla dalam firman-Nya ini adalah tempat pelaksanaan Haji. Itulah tanah suci; Makkah al Mukarramah.

Oleh karenanya, para sahabat memiliki kekhawatiran bila harus menetap di Makkah. Sehingga seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, dan lainnya; lebih memilih keluar Makkah. Karena dengan kearifan jiwa mereka, ada rasa takut berbuat keburukan di tanah suci. Bukan mereka tidak cinta tanah suci, namun mereka adalah insan-insan yang selalu mengkhawatirkan dirinya terjatuh pada keburukan, yang karenanya bila terjatuh dalam keburukan saat berada di Makkah maka nilainya bisa berkali lipat. Sehingga Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berujar, “Melakukan 70 kesalahan di luar Makkah itu lebih baik daripada melakukan 1 kesalahan di dalam Makkah.

Abdullah bin Umar saat menafsirkan istilah fasiq dalam ayat ini mengatakan, bahwa itu adalah kemaksiatan. Dan Mujahid menambahkan tafsirnya tentang ayat ini, bahwasannya di Makkah itu kebaikan dan keburukan dikali-lipatkan.

Faktor Pelaku

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al Ahzab ayat 30-31, “Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.

Dari firman-Nya ini ada pengecualian dari aspek pelaku. Bila suatu keburukan dilakukan oleh orang-orang tertentu, maka nilainya bisa berkali lipat dari keburukan yang dilakukan oleh orang-orang lainnya. Apa itu orang-orang tertentu? Secara tekstual sebagaimana yang disebut oleh Allah azza wa jalla dalam firman-Nya ini adalah istri-istri Nabi. Namun, secara hikmahnya bisa berlaku bagi semua orang seiring bertambahnya fasilitas dari Allah kepadanya; baik itu fasilitas yang terlihat maupun tidak terlihat. Seperti posisi, keturunan, harta, ilmu dan petunjuk ketakwaan.

Maka kita sering mendapati, bahwasannya menjadi tradisi seorang Sholih tidak hanya mengindari hal-hal yang haram, namun juga menghindari hal-hal yang makruh bahkan yang mubah. Sebab bila mubah bagi orang umum adalah hal yang biasa dibolehkan, namun bagi mereka menjadi hal yang dibolehkan dan dapat melalaikan. Bila orang umum tersalah tak berimbas bagi sosial, sementara mereka tersalah akan memiliki dampak bagi sosial. Oleh karenanya, nilai keburukannya bisa saja berbeda. Wallahu a’lam.

Jakarta, 21 Januari 2016


Tidak ada komentar: