Kamis, 28 Januari 2016

MEMBANGUN KELUARGA DI KUMPARAN KA’BAH


Seorang kawan bertanya, “Makkah dan sebagainya kalau dikaitkan dengan membangun keluarga itu bagaimana?” Menelaah ruang dalam hal ini adalah Makkah, maka kita perlu mencermati konten cerita yang pernah mengisi ruang tersebut pada waktu itu. Dan kiranya, kita bisa sederhanakan dengan mentelaah satu-persatu aktor-aktor utama dalam konten cerita tersebut. Yaitu; Sarah, Hajar, Ibrahim, dan Ismail.


Pertama; Sarah

Saat Sarah cemburu karena telah lahir keturunan Ibrahim dari istri keduanya (Hajar), maka Hajar dan Ismail pun diungsikan ke Makkah yang notabenenya lembah kering tanpa manusia, bahkan tanpa binatang dan tumbuhan. Hajar dan Ismail kemudian ditinggal di tanah tandus itu. Sebab Ibrahim kembali ke Palestina untuk menemani Sarah.

Terkadang, kecemburuan itu baru terobati saat terpuaskan jiwanya melihat lawan cemburuannya menderita. Terkadang pula, kecemburuan itu baru terurai saat kedua jiwa itu dipisahkan jarak hingga terlupakan. Begitulah akhirnya redup api kecemburuan Sarah kepada Hajar; saat mendapati keputusan suaminya untuk meninggalkan Hajar di padang derita nan terpisah jauh.

Bagi Hajar, tentu hanya kesabaran dan kedewasaan iman yang dapat membuatnya menerima keputusan suaminya. Ia memang istri kedua, namun ia yang telah memberikan keturunan bagi Ibrahim. Naasnya, justru ia pula yang harus mengalah karena kecemburuan Sarah. Tidak hanya mengalah, bahkan ia yang harus merasakan pedihnya kehidupan jauh antah-berantah pada tanah tandus seorang diri hanya bersama bayi gendongannya. Pungkas beban berat Hajar saat suaminya pun meninggalkannya, bahkan tidak hanya meninggalkan namun juga hendak kembali ke tempat Sarah istri pertamanya. Berat, tentu! Tapi kualitas sabar dan kedewasaan iman sesosok istri bernama Hajar yang membuatnya kreatif menyibak kerumitan menuju jalan temu, yaitu pertemuan Tauhid. “Apakah Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memerintahkan engkau dengan ini?” begitu tanya Hajar setelah dua kali bertanya tanpa jawab tentang kenapa Ibrahim meninggalkannya di tempat misteri itu.

Adapun Ibrahim, iapun berat. Tapi ialah pemimpin rumah tangga, harus bisa memutuskan untuk keutuhan keluarga. Ia juga hamba Allah, yang harus bisa memutuskan dengan titah-Nya. Maka iapun meninggalkan Hajar dengan berat menuju Sarah. Doanya, “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Kedua; Hajar

Setelah Hajar ditinggal seorang diri bersama bayinya Ismail, maka kehidupan seluruhnya sangat menuntut kearifan jiwa Hajar. Sebab ia harus menghemat perbekalan yang ditinggalkan oleh Ibrahim. Iapun akhirnya harus kreatif dan bersemangat mencari air penghidupan demi cintanya pada buah hati. Hingga kemudian tanah itu tak lagi gersang dan kosong, sebab serombongan Bani Jurhum II pun menghampirinya untuk turut serta menetap di lembah barakah itu.

Terkadang, sulitnya kehidupan justru membuat segala keterbatasan menjadi daya yang dahsyat. Terkadang pula, kearifan hidup justru hadir saat kita seorang diri dan merasa segalanya serba terbatas. Begitulah akhirnya mata air zamzam memancar sebab daya dahsyat terus menggerakkan langkah Hajar mencari sumber air demi cintanya kepada Ismail sang buah hati. Bahkan, kelak saat Bani Jurhum II meminta izin kepadanya untuk menetap di lembah itu dengan senang hati ia mengizinkannya, sebab hidup seorang diri tak lebih indah dari kehidupan sosial. Dan kelak, ia sendiri yang membina anaknya hingga menikah dengan salah satu perempuan Bani Jurhum.

Bagi Ismail, tumbuh berkembang tanpa dua orang tua yang lengkap tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi Ismail adalah anak yang shalih. Maka ia tetap berbakti kepada ibunya, orang tua satu-satunya yang mendampingi masa tumbuhnya. Terlebih Hajar adalah sesosok ibu yang penuh cinta dan tanggungjawab. Maka, tidak ada alasan bagi seorang anak untuk menyakiti seorang ibu yang telah sudi menemaninya dalam tumbuh berkembang, meskipun seorang diri dalam keterbatasan.

Adapun Ibrahim, tentu ia sadar bahwa semua itu adalah ketentuan Allah. Tak boleh ada kelu, tapi tetap harus ada rindu. Maka, mengunjungi Makkah adalah impian yang terus bertambah bobot kerinduannya. Menjumpai istrinya Hajar dan anaknya Ismail. Rindu itu adalah energi yang mengalir dalam jiwa tanggungjawab, hingga tercatat Ibrahim telah 4 kali mengunjungi anaknya guna memantau perkembangannya bahkan setelah anaknya menikah. Namun sebagai hamba Allah, kerinduannya tidak boleh mengabaikan arahan-arahan Allah. Maka saat akhirnya Allah mengatur perjumpaannya dengan anaknya yang tidak lama, Rabb-nya justru memintanya menyembelih Ismail. Rindu dan Sembelih, dua hal yang saling bertentangan. Tapi kehendak Allah harus selalu didahulukan dari sekadar perasaan. Ia memang rindu, namun rindu itu tak boleh mengabaikan kehendak Allah. Dan saksikanlah, di balik kehendak Allah itu ternyata ada hikmah yang besar. Membuat kerinduan itu tak sekadar kerinduan dua makhluk, namun menjadi kerinduan yang berkelindan dengan cinta kepada-Nya.

Ketiga; Ibrahim

Empat kali Ibrahim datang ke Makkah setelah meninggalkan Hajar dan Ismail. Pertama, saat ada perintah untuk menyembelih Ismail. Kedua, setelah Ismail menikah dengan seorang perempuan Jurhum dan saat itu Hajar telah wafat. Ketiga, setelah Ismail menikah yang kedua kalinya dengan anak Madhodh bin Amru seorang tokoh Bani Jurhum. Keempat, saat ada perintah meninggikan pondasi Ka’bah. Tapi yang paling menarik di sini adalah saat kunjungan kedua dan ketiga ia tak bertemu dengan Ismail. Hanya istri Ismail yang menemui Ibrahim. Pada kunjungan kedua dan ketiga, saat hanya bertemu dengan istri Ismail, maka Ibrahim bertanya: bagaimana kabar kalian berdua? Istri pertama pada kunjungan kedua menjawab bahwa kehidupan mereka susah, maka Ibrahim pun segera menitip pesan kepada istri tersebut untuk menyampaikan kepada Ismail bahwa ia diminta mengganti gagang pintunya. Saat menerima pesan itu, Ismail paham dan langsung menceraikan istrinya. Sementara istri kedua pada kunjungan ketiga menjawab bahwa kehidupan mereka baik-baik saja, maka Ibrahim pun segera menitip pesan kepada istri tersebut untuk menyampaikan kepada Ismail bahwa ia diminta menjaga teguh gagang pintunya. Saat menerima pesan itu, Ismail paham dan terus merawat pernikahan itu.

Terkadang, keluh mencerminkan keroposnya cinta dan tanggungjawab. Terkadang pula, keputusan-keputusan aneh namun didasari bakti dan taat akan melahirkan hikmah keberkahan. Begitulah akhirnya keluhan istri pertama Ismail yang membuat Ibrahim menitipkan pesan kepada Ismail untuk menceraikannya. Begitu pula, saat dengan segera Ismail menunaikan amanah pesan ayahnya sebagai bakti dan taatnya seorang anak, maka Allah berkahi keputusan itu dengan memberikan Ismail jodoh pengganti seorang putri tokoh Bani Jurhum. Pernikahan kedua ini tak hanya menentramkan, namun juga menaikkan. Sang istri dengan sepenuh cinta dan tanggungjawab menentramkan kehidupan rumah tangga bagaimanapun kondisinya. Sementara Ismail naik derajat sosialnya karena beristrikan seorang putri tokoh kabilah.

Bagi Ismail, ia cepat memahami isyarat ayahnya saat menyebut gagang pintu. Beginilah seorang anak yang pembelajar sejati, cukup dengan isyarat. Bahkan tidak hanya paham, melainkan juga sigap memenuhi kehendak ayahnya. Inilah bakti anak kepada orang tua. Mungkin karena ayahnya pun cukup memberi isyarat dalam menyampaikan kehendak pada anaknya. Pada perketi, selalu ada hak bakti. Yakinlah!

Keempat; Ismail

Dari istri keduanya putri tokoh Bani Jurhum, maka Ismail diberi keturunan 12 anak. Yang setiap anaknya membentuk kabilah-kabilah. Kelak kabilah-kabilah dari anak ketiga sampai keduabelas menguasai perdagangan barang-barang di Yaman untuk dijual ke Syam dan Mesir, hingga kebanyakan dari mereka akhirnya membentuk komunitas-komunitas di pedalaman Yaman. Adapun anak pertama dan keduanya terus berkembang di Hijjaz; yang kemudian dari anak pertamanya berketurunan di Madinah, sementara dari anak keduanya berketurunan di Makkah.

Terkadang, proses tumbuh-berkembang yang rumit menjadikan seseorang memiliki kematangan dan kedewasaan yang lebih dari lainnya. Tapi sesungguhnya tak hanya proses hidup yang rumit, melainkan juga proses dialog dan partisipasi yang dibangun oleh ayah terhadap anaknya. Seperti dialog Ibrahim saat akan menyembelih Ismail, seperti isyarat hikmah dari Ibrahim saat membimbing bangunan rumah tangga Ismail, dan seperti partisipasi Ismail yang diajak oleh Ibrahim meninggikan pondasi Ka’bah. Semua interaksi ayah dan anak itu, dalam ketaatan kepada Allah dan bakti kepada orang tua -karena ayah berbudi pekerti memang pantas punya hak bakti-, yang sesungguhnya akan melahirkan keberkahan-keberkahan.

Maka, akhirnya Ismail melahirkan keturunan berkabilah-kabilah. Mereka yang berkembang di Makkah, Madinah, Yaman, Bahrain, Iraq, dan lain-lainnya itu adalah dari anak keturunan Ismail. Wallahu a’lam.


Jakarta, 28 Januari 2016

Muhammad Irfan Abdul Aziz

SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)

Tidak ada komentar: