Minggu, 31 Januari 2016

TANTANGAN KITA ADALAH INGIN TERKESAN HEROIK

sumber: metal-archives.com

Ingin terkesan Heroik, itulah tantangannya. Perjuangan ini memang pedih, dan ‘terkesan heroik’ dianggap dapat menjadi obat bagi kepedihan itu. Tetapi, justru itulah tantangannya. Kenapa?


Kita dapat mencermatinya dalam perjalanan dakwah, yang akhirnya membuat para da’inya ditangkap dan dibunuh. Penyiksaan itu memang sebuah konsekuensi dakwah, yang juga telah dialami oleh para nabi. Tetapi, ada penyiksaan yang bertambah dikarenakan adanya stimulus yang memancing musuh bersemangat menyiksa. Di antaranya adalah saat mulanya dakwah dibangun dari semangat berislam dan anti penjajahan, menjadi gerakan yang menentang kekuasaan status quo di sektor apapun. Menentang kekuasaan status quo itu tidaklah salah, namun cenderung menentang itulah yang sedikit-banyak menjadikan kerja-kerja dakwah cenderung berpola revolutif. Naifnya, terkadang penentangan itu dilakukan agar terkesan heroik.

Maka ketika Syeikh Ismail Hasan Hudaybi –seorang pemimpin dakwah di Mesir- menolak petisi sebagian aktivis dakwah untuk mengkafirkan rezim, sontak banyak yang menilai beliau lemah dan tunduk terhadap kezaliman. Memang tidak mudah memilih bersabar saat kondisi lingkungan (politik) sama sekali tidak menguntungkan. Apalagi mengingat sebagian kalangan aktivis sedang bersemangat berjihad (di Afghanistan) dan menggelorakan revolusi (di Suriah).

Tetapi penolakan Syeikh Ismail Hasan Hudaybi itu bukan sekadar penolakan yang keluar dari seorang teoritikus, melainkan itu adalah penolakan dari seorang praktisi sekaligus. Bahkan itu adalah hikmah yang sempat ia resapi dari pernyataan pendahulunya Syeikh Hasan Al Banna pada Mu’tamar Khamis, “Adapun revolusi, Ikhwanul Muslimin tidak pernah berpikir tentangnya, tidak menggunakannya dan tidak yakin dengan manfaat serta hasilnya.

Penolakan dan alasan Syeikh Ismail Hasan Hudaybi awalnya memang tidak mudah diterima. Padahal saat ia menyatakan penolakannya itu di tahun 1960-an, ia masih di dalam penjara dengan beragam penyiksaan yang dialaminya. Kurang percaya apa mereka pada kejujuran mata batinnya? Seorang yang disiksa, justru memilih bersabar untuk pertimbangan maslahat yang lebih besar. Maka, sepuluh tahun kemudian apa yang beliau sampaikan baru dipahami dan diterima, hingga sepuluh tahun berikutnya apa yang dinyatakannya menjadi sikap resmi organisasi yang ia berada di dalamnya. Menurut para pengamat, hal itu akhirnya diterima karena orang melihat bahwa Syeikh Ismail Hasan Hudaybi tidak hanya berteori saja, melainkan ia sendiri bergelut dengan kondisi yang diteorikan itu. Itulah akhlaknya, sehingga orang percaya.

Setidaknya ada tiga hal yang biasanya digunakan untuk mengesankan kerja yang Heroik:

Pertama; Komando Mobilisasi. Dalam perjuangan, bila berjuang sendirian memang tidak asik. Tapi berjuang bersama tanpa gaung yang menggema-gema juga dirasa kurang asik. Maka sering kali untuk menambah nuansa asik dalam perjuangan, dimunculkan komando mobilisasi. Komando bisa berarti intruksi, ajakan, dan arahan. Mobilisasi bisa berarti peralihan massa dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan intruksi, ajakan, maupun arahan tersebut.

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan Komando Mobilisasi. Namun tidak segala Komando Mobilisasi itu baik. Apalagi bila Komando Mobilisasi hanya agar terkesan heroik, ingin menunjukkan adanya perjuangan dan dukungan yang besar. Adapun komando yang hanya ingin terkesan heroik, biasanya tak diawali dengan penataan yang baik di lapangan. Sedangkan dakwah hendaknya lebih mementingkan penataan, demi terjaminnya transformasi yang berkesinambungan.

Kedua; Berhadap-hadapan dengan Kompetitor. Langsung berhadapan dengan kompetitor memang mencerminkan keberanian, dan dirasa gagah. Tapi, ini pula tantangan bagi kita. Bila hanya ingin terkesan heroik, maka berhadap-hadapan langsung dengan kompetitor biasanya karena kenekatan atau egoisme. Ia memandang, bahwa perjuangan ini kurang heroik kalau tidak langsung bertemu kompetitor. Bahkan bila tidak ada kompetitor, maka dicari-carilah kompetitor untuk menambah nuansa heroik dalam perjuangan. Atau, ia memandang, dirinya mampu berhadapan langsung dengan kompetitor tanpa peduli kemampuan rekan seperjuangannya.

Sesungguhnya tidak salah berhadap-hadapan dengan komtetitor. Bahkan dalam jihad, kita dilarang berbalik ke belakang. Tapi, bila mampu menaklukkan tanpa berhadapan dengan kompetitor bisa dilakukan, maka tentu tidak perlu berhadapan langsung dengan kompetitor. Memang saat tidak berhadapan dengan kompetitor, perjuangan kita terasa sunyi. Tapi, toh perjuangan ini tidak untuk mencari gemuruh tepuk tangan. Yang terpenting dari perjuangan ini adalah kezaliman ditaklukan, walaupun itu dengan kerja-kerja sunyi yang tak terkesan heroik.

Ketiga; Revolusioner. Mengganti serta-merta itu memang paling nikmat, sebab hemat energi dan waktu. Tadinya adalah sesuatu yang tidak kita sukai, lalu kita ganti semuanya dengan sesuatu yang kita sukai; maka itulah kenikmatan. Bukankah simplikasi semacam ini yang kini sedang digandrungi? Tetapi, bila revolusioner digulirkan demi mencapai kesan heroik, maka akan lain hal. Sebab, dalam revolusioner kepahlawan cenderung mengkristal pada sesosok maupun sekelompok orang, sehingga sangat familiar dalam sejarah istilah pahlawan revolusi. Tapi, dakwah sejak awal sangat menekankan kehidupan berjamaah dan menghindari pengkultusan individu. Oleh karenanya, itulah godaannya.

Sesungguhnya, bukan salah pahlawan revolusi, sebab ia hanyalah aktor yang ditakdirkan mengambil peran dalam guliran sejarah revolusi yang bukan atas kehendaknya. Namun, menjadi salah bila revolusi menjadi dambaan demi sebuah hendak diri agar terkesan heroik. Adapun dakwah, sejak awal tidak menghendaki revolusi. Karena dakwah ini dibangun untuk melakukan perubahan yang bertahap, yang bersandar kepada argumentasi, penjelasan, dan bukti kebenaran. Inilah yang diistilahkan oleh seorang da’i dengan pernyataannya, “Kita lebih baik karena melakukan konfrontasi intelektual daripada konfrontasi keamanan, seperti yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi ekstrimisme dan fanatisme.



#SerialDakwahKultural _ 31 Januari 2016

Tidak ada komentar: