Selasa, 19 Januari 2016

(Kajian Hadits) MUSLIM ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN


عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: "إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَي أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً."


Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau meriwayatkan dari Rabb-nya Tabaaraka wa Ta’aala: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatkan baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatkan baginya 10 kebaikan sampai 700 kali kebaikan sampai kelipatan yang banyak. Jika ia berniat melakukan kejahatan tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya satu kejahatan.”

Ini adalah hadits qudsi, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Imam Bukhari meletakkannya pada kitab Ar Riqaaq dan kitab at Tauhid, sementara Imam Muslim meletakkannya pada kitab al Iman. Keduanya memberi judul bab-nya sebagaimana lahfaz haditsnya, yaitu bab “Siapa yang Berniat dengan Kebaikan atau Keburukan” pada shohih Bukhari dan bab “Apabila Seorang Hamba Berniat dengan Kebaikan Maka Dicatat dan Apabila Berniat dengan Keburukan Tidak Dicatat” pada shohih Muslim.

Setidaknya ada 5 istilah dalam hadits ini yang bisa kita ingat-ingat; yaitu Kataba (mencatatkan, menuliskan, atau menetapkan), Hammun (keinginan, atau biasanya disebut Himmah), Dhi’fin (perkalian atau menyetarai), Hasanah (kebaikan), serta Sayyi’ah (keburukan). Dari lima istilah ini, kita akan mendalami tiga di antaranya; yaitu Hasanah, Sayyi’ah dan Hammun. Kebaikan yang seperti apa? Keburukan yang seperti apa? Keinginan yang bagaimana? Kira-kira demikian pertanyaan yang bisa kita ajukan.

Hadits ini memang menanamkan nilai keimanan yang tinggi. Sebab ia menekankan keagungan Allah berupa Kemahabijaksanaan-Nya dalam menetapkan sesuatu dan Kerahmatan-Nya dalam menilai sesuatu. Semakin bertambah lagi pesan Keagungan Allah ketika kita dapati ada lahfadz Tabaarak di awal hadits ini. Tabaarak itu mengidentikkan Kemuliaan dan Keagungan. Tabaarak itu puncak ketinggian, maka Tabaarak hanya sah dinisbatkan bagi Sang Pencipta.

Tapi sebelum kita menyelaminya lebih jauh, kiranya kita perlu menyertakan sebuah ayat dalam surat al An’am yaitu ayat ke 160 bersamaan dengan kajian hadits ini. Arti ayat tersebut, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Ayat ini memiliki dua penggalan. Yang pertanya selaras dengan penjelasan dalam hadits ini bahwa suatu kebaikan sangat mungkin dicatat sepuluh kali lipat, sementara yang kedua selaras dengan penjelasan dalam hadits ini bahwa suatu keburukan hanya dicatat sebagaimana keburukan itu saja.

Kebaikan

Dalam hadits ini, Allah Ta’ala menjelaskan terkait kebaikan; bahwa bila ia baru dalam rencana maka sudah dicatat sebagai sebuah kebaikan, dan bila sudah terlaksana maka dicatat sebagai sepuluh kebaikan sampai 700 kali lipat kebaikan, bahkan bisa berkali lipat yang banyak tak hingga. Kalau merujuk pada penggalan pertama dari ayat ke 160 dalam surat al An’am di atas, maka firman-Nya: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.

Namun ada yang unik dalam hadits tersebut, yaitu tidak cukup sepuluh kali lipat melainkan lebih dari itu sampai 700 kali lipat. Penggambarannya telah dijelaskan dalam surat al Baqarah ayat 261, yaitu firman-Nya saat memberikan perumpamaan nilai kebaikan infaq di jalan Allah. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

Infaq itu seperti menanam benih. Lalu benih itu tumbuh mengeluarkan tujuh bulir, yang mana di setiap bulir itu terkandung seratus biji. Demikianlah ‘pohon kebaikan’, ia selalu tumbuh dan berkembang.

Maka, jangan heran bila suatu ketika ada suatu sahabat datang menghadap Rasulullah sembari menuntun untanya. Sahabat itu ingin menyerahkan untanya untuk digunakan dalam perjuangan meninggikan kalimat Allah. Maka jawab baginda Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau akan mendapati seratus unta di hari kiamat kelak.

Bahkan, ada yang tak terukur pengalian sekehendak Allah semata; sebagaimana untuk amalan puasa. Sebab Allah subhanahu wata’ala telah menyatakan bahwa amalan puasa itu untuk-Nya semata dan Dia yang akan langsung memberikan imbalannya. Lebih-lebih bila kita menghayati seberapa besar nilai kesabaran dalam ibadah puasa, terutama kesabaran dalam menjaga diri baik dari hal yang dilarang bahkan dari hal yang asalnya dibolehkan. Sedangkan Allah telah menyatakan dalam surat az Zumar ayat 10, “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Jadi, yang dimaksud kebaikan di sini adalah kebaikan apapun, kapanpun dan di manapun. Kelipatan catatannya bila terlaksana bisa sepuluh kali lipat sampai 700 kali lipat, bahkan kelipatan yang tak terhitung. Bila sekadar kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat pahala. Bagi kebaikan yang bernilai kemanfaat seperti infak, maka baginya 700 kali lipat pahala. Sedangkan bila kebaikan itu memiliki muatan nilai kesabaran yang tinggi dalam pelaksanaannya, maka baginya kelipatan pahala yang tak terhitung sekehendak Rabb-nya.

Keburukan

Lalu bagaimana penjelasan Allah Ta’ala dalam hadits Qudsi ini terkait keburukan? Bila baru rencana dan tidak dikerjakan maka dicatat sebuah kebaikan yang sempurna, sementara bila sudah dikerjakan maka dicatat sebagaimana keburukan itu saja, namun masih sekadar catatan dan belum menjadi milik hamba tersebut. Ini uniknya, karena catatan keburukan itu sangat mungkin dihapus dengan keinsyafan dan amal sholih berikutnya. Sungguh, Allah Maha Bijaksana.

Kembali mari kita cermati penggalan kedua dari ayat ke 160 dalam surat al An’am di atas, bagaimana firman-Nya di al Qur’an pun menyatakan: “barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

MasyaAllah! Bagaimana keburukan yang dilakukan hanya dicatat sebatas keburukan itu, sementara kebaikan yang dilakukan bisa dicatat berkali lipat hingga ratusan? Begitulah kebijaksanaan Allah subhanahu wata’ala. Bagi-Nya tak ada artinya kebaikan maupun keburukan hamba-Nya, sebab Allah azza wa jalla tak berubah kemuliaan-Nya dan tak akan tercela meskipun berapa banyak kebaikan dan keburukan dilakukan hamba-Nya. Hal ini menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan itu kembalinya kepada hamba-hamba yang melakukannya. Maka, mudah saja bagi Allah Ta’ala untuk menetapkan pembalasannya, sama sekali tidak terkait dengan kemuliaan-Nya. Sebab sekali lagi, Allah azza wa jalla tetap mulia, dan kemuliaannya tidak terganggu dengan apapun yang diperbuat hamba-Nya.

Jadi, yang dimaksud keburukan di sini adalah keburukan apapun. Namun tentu ada pengecualian untuk beberapa waktu dan tempat tertentu yang telah ditetapkan nilainya tersendiri, termasuk pada hamba-hamba tertentu yang juga telah ditetapkan nilainya tersendiri. (lihat di sini)

Keinginan

Yang dimaksud keinginan di sini adalah niat, rencana, kehendak, hingga tekad atau azzam. Namun nilai sebuah keinginan bagi kebaikan dan keburukan memiliki perbedaan. Apa perbedaannya?

Bila keinginan pada kebaikan, maka ia telah terhitung kebaikan. Sebab kebaikan itu ada dua unsur: niatnya dan amalnya. Niat adalah sebabnya, dan amal adalah akibatnya. Kenapa niat atau keinginan pada kebaikan sudah dianggap kebaikan? Karena niat dan keinginan pada kebaikan itu sifatnya inspiratif, ia dapat menginspirasi kebaikan pada siapapun. Begitulah hakikat kebaikan.

Sementara keinginan pada keburukan tidak terhitung keburukan. Sungguh ini semata-mata karena kemurahan Allah subhanahu wata’ala. Selain itu, karena keburukan hakikatnya memang berasal dari syaitan yang membisikkan pada manusia.

Sehingga, bila ia masih sebentuk niat, maka tidak dihitung sebagai keburukan. Bahkan bila tidak jadi dilakukan, maka dicatat sebagai kebaikan. Kenapa? Karena meninggalkan keburukan termasuk kebaikan. Hanya saja ada yang perlu digaris-bawahi di sini, bahwa tidak jadinya melakukan keburukan semata-mata karena ingat Allah subhanahu wata’ala, bukan karena kegagalan dalam prosesnya atau karena takut pada makhluk lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits lainnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari.

Epilog

Jadi, ukuran niat dan amal kebaikan itu dinyatakan sebagai kebaikan adalah keikhlasan si pemilik niat dan amal tersebut. Begitupun ukuran meninggalkan niat keburukan itu dinyatakan sebagai kebaikan juga berupa nilai keikhlasan si pemilik niat tersebut. Sungguh Allah azza wa jalla ingin menegaskan di sini, bahwa yang merugikan seorang hamba itu semata-mata hanya sikap dirinya sendiri, dan bukanlah Allah Ta'ala. Maka, hadits qudsi ini dalam riwayat Muslim ada tambahannya, "atau Allah akan menghapusnya, dan tidaklah seseorang membinasakan dirinya di hadapan Allah melainkan ia akan binasa.

Ikhlas-lah yang menentukan rencana kebaikan itu kebaikan dan meninggalkan keburukan itu kebaikan. Ikhlas itu adalah kemurnian hati. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai keikhlasan, yaitu kemurnian kehendak hati. Sehingga kita mudah mengatasi setiap pilihan kebaikan dan keburukan.


Jakarta, 19 Januari 2016


Tidak ada komentar: