Rabu, 27 Januari 2016

LGBT DAN KONFERENSI 1994


Awal tahun ini kita dihenyakkan oleh kampanye LGBT, bahkan di sebuah kampus negeri terbesar negeri ini; Universitas Indonesia. Kampus yang identik dengan kalangan intelektual, mesti terbenturkan dengan ketidak-rasionalan. Bagaimana sesama jenis menikah, sedangkan mereka sendiri tidak lahir kecuali dari sepasang ayah dan ibu. Lalu teori biologi apa lagi yang akan dimanipulasi?


Baik. Katakan, mereka yang terkategori LGBT karena terindikasi LGBT itu adalah bawaan lahir. Maka, bukan karena dalih ‘bawaah lahir’ itu kemudian kita menganggap ini sesuatu yang cukup dihargai tanpa perlu diterapi. Bukankah anak-anak yang terlahir dengan keterbelakangan mental pun tetap ada usaha terapi atasnya. Sebab meski itu dianggap ‘bawaan lahir’ namun tetap dikategorikan sebagai penyakit yang menyelisihi kewajaran.

Maka, sikap kita terhadap para LGBT yang berdalih ‘bawaan lahir’ hendaknya tidak sekadar menghargai, namun juga memberikan pendampingan terapi. Sebab, bila dihargai tanpa terapi, bahkan di-support, maka hanya akan menumbuh-kembangkan penyakit sosial. Dan itulah wabah, ia menular bila lingkungannya tidak memiliki imun dan penderitanya tidak segera diterapi.

Nah, para musuh Islam sesungguhnya memahami problem penyimpangan orientasi seks ini sebagai wabah sosial. Sehingga dengan memahaminya sebagai wabah, maka sengaja dikembang-biakkan di masyarakat. Targetnya adalah merusak tatanan masyarakat, yang basisnya adalah tatanan keluarga. Bagaimana tatanan keluarga tidak rusak, bila terjadi penyimpangan orientasi seksual yang mengakibatkan terputusnya mata rantai keturunan.

Sebenarnya LGBT merupakan rangkaian panjang proses merusak tatanan keluarga Muslim. Setelah dilakukan perusakan hubungan laki-laki dan perempuan melalui seks bebas dan sebagainya, kini masuk pada kampanye penyimpangan orientasi seks. Maka tidak hanya rusak moral, namun rusak pula keturunannya.

Pada 5 sampai 15 September 1994, Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di gelar di Kairo. Tujuannya sederhana; memerangi keluarga Muslim melalui agenda peralihan dari ‘Seks Legal’ menjadi ‘Seks Aman’. Sehingga orientasinya bukan hubungan yang sah, melainkan yang penting aman meskipun tidak sah. Bahkan secara tidak langsung proses menuju sah itu sengaja dihambat demi ‘mencoba’ sesuatu yang disebut aman itu.

Pemerintah agar menaikkan usia minimum perkawinan karena hal itu dianggap sangat penting. Apalagi dengan memberikan alternatif yang bisa menyebabkan tidak adanya pernikahan dini.” Begitu bunyi pesan tak langsungnya.

Sejak massifnya pergerakan merusak keluarga Muslim inilah, kemudian tiga tahun berikutnya Dewan Pendiri Muslim Council mengadakan pertemuan yang ke-19 di Kairo, tepatnya pada 6 September 2007. Pertemuan inilah yang melahirkan Piagam Keluarga, sebagai sarana imunisasi dalam menjaga ketahanan keluarga Muslim. Sebab untuk menghadapi wabah yang digulirkan musuh, selain perlu terapi bila wabah itu telah menjangkiti, juga perlu imunisasi sebelum wabah itu menjangkiti.

Alhamdulillah Piagam Keluarga ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Semoga setiap kita yang ada di Indonesia bisa menelaahnya, sebagai imunitas bagi diri dan keluarga kita. Sebelum wabah itu semakin merebak dan menjangkiti lingkungan kita. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: