Minggu, 13 Desember 2015

RIBUT FREEPORT DI MKD MENGINGATKAN KITA PADA PETRAL


Pagi ini (13/12) aku tergelitik dengan sajak puisi-nya Ramon Damora di halaman muka Lembar Budaya Jembia, Batam Pos. Dalam sajak berjudul "YTH: SATU" itu ada penggalan ungkap nan unik.


Saat kapal - kapal Thailand
dibakar seorang
Ibu Menteri
bukan main kami
memuja-muji
tapi beras kami beras Siam.

Demikian penggalannya. Aku tersenyum miris merenungi kontradiksi negeri ini. Puisi itu sesungguhnya ditulis untuk keterpilihan pemimpin daerah baru dalam Pilkada serentak tahun ini. Ia memang ditulis tepat 2 hari setelah Pilkada. Namun bertepatan pula dengan bisingnya jagat nusantara terkait keributan Freeport di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) - DPR RI. Di waktu yang sama, kembali menyeruak di media-media Nasional nama Mohammad Reza Chalid.

Pas-nya, puisi itu terbaca saat aku sedang menyesap kopi di kawasan bisnis Nagoya, Batam. Maka membacanya saat berada di Batam, seakan ingin menyambung ingatan kita tentang keternamaan Mohammad Reza Chalid (yang kembali menggaung di langit politik Indonesia) dengan gagalnya pemindahan kantor cabang operasional PETRAL -Pertamina Energy Trading Limited- dari Singapore ke Batam (yang pernah digagas oleh Arie Sumarno, Direktur Utama Pertamina, 2006-2009).

Di seberang Batam, yaitu di Negara Singapore, Mohammad Reza Chalid dijuluki sebagai Gasoline Father. Karena setengah perdagangan minyak Tanah Air ini memang dikendalikan olehnya.

Tapi bangsa ini sungguh mudah terlupa, hingga menganggap ributnya Freeport di Sidang MKD sebagai fenomena baru yang layak tonton bak festival perayaan kemerdekaan. Padahal itu adalah tontonan klasik yang terus berulang. Pemainnya juga sama; setidaknya ada Presiden, Menteri ESDM, DPR, dan Broker.

Padahal lagi, baru 3 tahun lalu nama Mohammad Reza Chalid diributkan. Kini sudah lupa lagi, seakan ia sosok baru yang belum dikenal. Tidakkah kita ingat rangkaian hiruk pikuk tahun 2012; saat Ketua DPR RI Marzuki Ali (22/2) usulkan untuk mengusut PETRAL karena penyelewengan tender minyak, lalu Guru Besar UI Rhenald Kasali menulis di Kompas (1/3) dengan judul "Bubarkan Petral?", dan Menteri BUMN Dahlan Iskan pada Tabloid PRIORITAS Edisi 8/05-11 Maret 2012 menyatakan "Perlu ada perbaikan di tubuh anak perusahaan PERTAMINA itu supaya tak lagi dijadikan tempat korupsi dan sarang permainan para mafia minyak.”

Itulah fenomena PETRAL yang disebut sebagai perusahaan terbesar ke-8 dari 1000 perusahaan besar yang menjalankan bisnisnya di Singapura dalam rilis 25th Annual Ranking Edition, Singapore 1000 & SME 1000 tahun 2012. Sebuah Perseroan Terbatas anak perusahan Pertamina dengan komposisi Saham 99.83% milik PT. Pertamina dan 0.17% milik Direktur Utama PETRAL Nawazir sesuai UU / CO Hongkong. Tapi ia hanya muncul di pemberitaan sejenak, lalu terlupa. Dan rakyat sepertinya juga tak pernah berusaha mengingatnya. Tak mengapa, asal tidak 'gumunan' bila suatu saat muncul lagi dalam pemberitaan. 

Bila kita ingin sedikit mengenal PETRAL, maka sedikitnya kita perlu tahu juga tentang Global Energy Resources (GER). Sebuah perusahaan tempat Mohammad Reza Chalid mengoperasikan bisnisnya meski namanya tak tercantum dalam Akte Perusahaan.

GER terdaftar di Virgin Island yang bebas pajak. Ia adalah induk bagi 5 perusahan yang berbasis di Singapore; Supreme Energy, Straits Oil, Cosmic Petrolium, Orion Oil dan Paramount Petroleum. Dua nama terakhir itu yang pernah melakukan pembelian batu bara minyak dari Pertamina.

Ada lagi satu perusahaan turunannya yang pernah bermasalah pada Desember 2007. Yaitu Gold Manor International Limited yang melaksanakan impor BBM jenis Zatapi sebanyak 600 ribu barrel.

Adapun terkait personal Mohammad Reza Chalid, ada jawaban menarik dari seorang narasumber Diskusi Anti Korupsi yang pernah diselenggarakan oleh KPK (2012). Saat itu ada yang bertanya, "Siapa orang terkaya di Indonesia dan dari mana kekayaannya itu diperolehnya?"

Jawabannya, "Konglomerat Indonesia terkaya sesungguhnya adalah Muhammad Reza Chalid. Penguasa bisnis migas Indonesia. Mengenai asal kekayaannya apakah dari korupsi atau tidak, kami pikir KPK yang lebih tahu.”

Hmm... Lalu?

Ternyata hujan sudah turun deras di langit Batam. Tak terasa kopi pun sudah habis. Aku panggil pelayan dan pesan satu cangkir lagi.

Sembari menunggu, akupun kembali membuka lembaran budaya Jembia. Semoga dengan menyeksamai Sastra dan Budaya, kita dapat mengarifi beragam peristiwa. Demikian kusimpul harapan sederhana, dalam senyum berendra rinai. Ah!


Batam, 13 Desember 2015

Muhammad Irfan Abdul Aziz
SMART (Studi Masyarakat untuk Reformasi Terpadu)


Tidak ada komentar: