Senin, 23 Januari 2017

(Kajian Hadits) URUSAN PENTING MESTI DIDAPAT MELALUI PENGAJARAN


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: "بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ! فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ! قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ! قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ! قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا! قَالَ: أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ. ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا. ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرَ, أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ. قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ."

Dari Umar radhiallahu ‘anhu juga berkata: “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam suatu hari, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya dan meletakkan kedua telapaknya di atas pahanya seraya berkata: ‘Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam!’ Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.’ Kemudian dia berkata, ‘Anda benar.’ Kami semua heran, dia yang bertanya, dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahukan aku tentang Iman!’ Lalu beliau bersabda, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’ Kemudian dia berkata, ‘Anda benar.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Beritahukan aku tentang ihsan!’ Lalu beliau bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.’ Kemudian dia berkata, ‘Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)!’ Beliau bersabda, ‘Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.’ Dia berkata, ‘Beritahukan aku tentang tanda-tandanya!’ Beliau bersabda, ‘Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya!’ Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya, ‘Tahukah engkau siapa yang bertanya?’ Aku berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.’”


Inilah hadits mutawatir, yaitu hadits yang memiliki banyak jalur periwayatannya. Para ulama hadits menganggapnya sebagai ummul hadits atau induknya hadits. Sebagaimana al Fatihah yang disebut induknya al Qur’an karena memuat inti dari semua risalah al Qur’an terkait Ketuhanan, Peribadatan dan Muamalah kehidupan. Maka hadits ini juga memuat inti dari syariat yaitu Iman, Islam dan Ihsan serta Hari Kiamat sebagai ujung dari perjalanan kehidupan dunia.

Imam Muslim, Imam at Tirmidzi dan Imam an Nasa’i sama-sama meletakkan hadits ini pada kitab Iman. Bedanya, Imam an Nasa’i meletakkan secara khusus pada bab Sifat-Sifat Islam, sebab Iman, Islam dan Ihsan adalah sifat-sifat pokok yang hendaknya melekat pada setiap individu muslim. Begitupun kesadaran Hari Kiamat juga merupakan salah satu pesan pokok dakwah Islam pada mulanya, selain pesan Ketauhidan.

Yang sedikit berbeda adalah Imam Abu Dawud, beliau meletakkan hadits ini pada kitab as Sunnah, dan secara spesifik diletakkan pada bab al Qadar. Seakan beliau ingin menekankan poin terakhir dari rangkaian hadits panjang ini yaitu tentang ketetapan Hari Kiamat, agar tak sampai luput dari perhatian umat Islam yang mewarisi sabda Rasulullah tersebut.

Sebelum menelaah hadits ini, ada baiknya kita mengingat pesan Ibnu Daqiiq al ‘Ied ketika membuat penjelasan terkait hadits ini. Kata beliau, hadits ini sesungguhnya merupakan rujukan bagi ilmu-ilmu syariah dan sekaligus menjadi penyempurnanya. Maka alangkah baiknya kita juga mempersepsikan hadits ini sebagai prolog bagi semua proses pembelajaran kita atas ilmu-ilmu syariah dan menjadikannya juga sebagai epilognya.

Sehingga, sebelum kita mengembangkan pembelajaran ilmu syariah, hendaklah telah tuntas bagi diri kita persoalan tentang Iman, Islam dan Ihsan serta hari Kiamat. Sebab ilmu-ilmu syariah itu akan kokoh kita miliki bila pondasi Iman kita telah mapan, pondasi Islam kita telah sempurna, dan pondasi Ihsan kita telah solid, begitupun pemahaman hari Kiamat terus melekat yang melahirkan rasa tanggungjawab atas segala proses berkehidupan kita. Namun setelah kita mempelajari cabang demi cabang ilmu syariah, semestinya pula kita sempurnakan dengan kembali kepada hadits ini, sebab semua amalan baik lahir maupun batin akan sempurna bila sesuai dengan konsepsi Iman, konsepsi Islam dan konsepsi Ihsan serta kesadaran penuh akan konsepsi hari Kiamat sebagaimana yang disabdakan Rasulullah melalui hadits ini.

Atas semua itu, hadits ini memiliki posisi yang sangat penting. Selain pesan-pesannya yang sangat penting, prosesnya pun menjadi sangat penting. Terlebih hadits ini telah diriwayatkan oleh 7 orang sahabat. Yaitu Abu Hurairah, Umar bin Khaththab, Abu Dzar al Ghifari, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abu Amir al Asy’ari dan Jarir al Bajali. Ketujuh sahabat itu telah memiliki keistimewaan masing-masing.

Abu Hurairah telah kita ketahui bersama banyak meriwayatkan hadits Rasulullah, ialah sahabat Rasulullah dari Yaman yang merupakan ahlu shuffah -menetap di Masjid Nabawi-. Umar bin Khaththab sudah tidak kita ragukan lagi komitmen keimanannya dan keislamannya, ialah jawara yang sempat memusuhi dakwah namun berbalik menjadi pembela dakwah yang terdepan. Abu Dzar adalah panggilan bagi pemilik nama asli Jundub bin Junadah yang berasal dari Bani Ghifar yang terpencil, namun ketika mendapatkan kabar kenabian Muhammad segera memburunya ke Makkah dan menyatakan keislamannya. Abdullah bin Abbas adalah sosok yang sejak belia melayani Rasulullah dan mendapatkan doa agar dianugerahi pemahaman agama yang baik. Abdullah bin Umar telah dikenal sebagai salah satu ulamanya para sahabat yang penuh kezuhudan. Abu Amir al Asy’ari merupakan salah satu keturunan dari bani Asy’ari yang banyak memiliki keutamaan, pemilik nama asli Ubaid ini merupakan salah satu komandan mujahidin yang telah syahid di medan perang dan mendapatkan doa kemuliaan derajatnya di akhirat oleh Rasulullah. Sementara Jarir al Bajali adalah sahabat yang memeluk Islam selepas fathu Makkah dan telah membahagiakan Rasulullah dengan perannya menghancurkan Ka’bah Yamaniah berupa berhala Dzul Khalasah milik suku Khas’am, ia pula salah satu komandan mujahidin di medan Qadisiyah. Mereka semua para sahabat mulia yang Allah ta’ala telah meridhoi semuanya.

Melalui hadits ini, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bercerita tentang para sahabat yang sedang berkumpul bersama Rasulullah, lalu terkejut dengan datangnya seorang asing yang tiba-tiba muncul di majelis tersebut. Sosoknya mencolok, karena penampilan yang rapih dan segar. Tapi tak satupun dari para sahabat itu mengenalnya.

Kalau dia orang asing, kenapa tidak ada bekas perjalanan jauh yang melekat di penampilannya? Namun kalau dia orang sekitar mereka, kenapa tak satupun mengenalinya. Demikian kira-kira pertanyaan yang bermain-main di benak para sahabat dalam majelis itu.

Lebih aneh lagi, sosok tersebut seakan sudah sangat akrab dengan Rasulullah. Tanpa basa-basi melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek, tentang Iman, Islam dan Ihsan. Tapi ketika dijawab, bukan terima kasih yang dia sampaikan, justru membenarkan seakan-akan dia sudah tahu dan pertanyaannya hanya menguji.

Dan memang, setelah selesai semua, sosok tadi pun telah pergi, Rasulullah menjelaskan setelah memastikan bahwa para sahabatnya sama sekali tak mengetahui sosok tersebut. “Dia adalah Jibril yang datang untuk menjelaskan agama kalian,” begitu jelas Rasulullah singkat.

Dari episode inilah kemudian kita mendapatkan pengajaran, bahwa sesuatu yang penting memang semestinya didapat dengan pengajaran khidmat. Tidak bisa kita menyerap sesuatu yang penting dengan sepintas dan selintasan saja. Adapun pengajaran yang hakiki adalah tatap muka antara murid dengan guru, sebab di situ akan didapatkan ilmu sekaligus hikmah atas ilmu tersebut.

Maka sebaliknya pula kita dapat memahami, bahwa untuk hal-hal yang penting hendaknya disampaikan melalui pengajaran. Tidak cukup dengan mengirim informasi, melainkan mesti duduk bersama dengan objek-objek yang hendak diberikan informasi-informasi penting.

Tetapi Jibril alaihissalam tidak hanya menekankan urgensi pembelajaran, melainkan juga meneladankan tentang hal-hal yang membuat proses pembelajaran menjadi optimal. Ada dua hal yang telah diteladankan; Pertama adalah penampilan fisik yang prima, Kedua adalah memaksimalkan sarana-sarana bertanya.

Ketika kita hadir dalam majelis pembelajaran dengan penampilan fisik yang prima, maka semua proses pembelajarannya menjadi segar dan mencerahkan. Begitupun ketika kita memaksimalkan sarana-sarana bertanya, maka semua proses pembelajaran kita akan optimal dengan materi-materi yang padat dan cermat. Itulah dua hal yang menjadi faktor penting untuk optimalisasi proses pembelajaran kita.

Sebagaimana juga akhirnya kita tahu akan tanda-tanda Kiamat. Tentang orang-orang yang tadinya miskin, tiada beralas kaki dan tiada berpakaian sempurna, namun kemudian seakan kaya raya sibuk dengan semua asesoris pakaian bahkan bangunan yang menaunginya. Tentang mereka yang tadinya hanya penggembala domba, lalu seakan tampil menjadi pemilik kuasa atas segala kemakmuran bumi.

Maka inilah hadits yang selain pesan-pesannya penting, prosesnya pun penting. Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat itu hal-hal yang penting, sehingga proses penyampaian hal yang penting itu pula menjadi proses yang penting. Pengajaran itulah proses yang penting untuk selalu kita perhatikan. Di saat sekarang kita seringkali mencukupkan diri hanya dengan pemberitaan tanpa pengajaran.

Akhirnya, sesuatu yang sejatinya penting menjadi tak lagi penting. Duduklah dalam majelis-majelis pengajaran, maka akan jauh lebih banyak ilmu yang kita dapatkan. Di majelis pengajaran itulah tempat pokok-pokok ilmu. Di majelis pengajaran itulah ilmu-ilmu pokok kita menjadi matang. Wallahu ‘alam.


Jakarta, 23 Januari 2017


Tidak ada komentar: