Kamis, 05 Januari 2017

(Kajian Hadits) SUNGGUH KEGALAUAN BUKANLAH BAGIAN DARI KEIMANAN

foto dokumen pribadi

عنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ، سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ." [رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح]

Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya, dia berkata: Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam (sabdanya), “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Tirmizi, dan dia berkata: haditsnya Hasan Shohih)


Sungguh apa yang dihafalkan oleh cucu Rasulullah ini sangatlah padat akan pesan. Sabda Rasulullah itu ringkas, namun menghimpun banyak makna. “Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.” Begitu yang dihafalkan oleh Al Hasan, cucu Rasulullah, putra dari pasangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah binti Muhammad radhiyallahu ‘anha. Al Hasan yang kemudian memiliki putra dengan nama Muhammad tersebut, telah mewariskan sabda ringkas itu kepada kita semua. Maka, mari kita telaah warisan suratan tersebut!

Warisan itu oleh Imam at Tirmidzi telah dihimpunkan dalam kumpulan bahasan Sifat-Sifat Kiamat, tepatnya pada bab tentang perintah untuk berpikir dan bertawakkal. Sungguh arif Imam At Tirmizi ketika meletakkan hadits ini dalam bahasan tersebut, yang kini kita dapat pahami bahwa keragu-raguan adalah tabiat yang akan kian marak menjelang Kiamat. Kini pun saat orang gencar menyatakan bahwa masa kehidupan semakin menuju akhir zamannya, maka kita dapati pula bahwa di antara sekian tren yang marak dalam kehidupan kita hari ini adalah tren kegalauan. Galau, itulah kosakata kekinian yang tiba-tiba bisa menghinggapi kepribadian banyak orang.

Sementara Imam An Nasa’i meletakkan hadits ini dalam bahasan yang lebih teknis yaitu tentang minuman. Bahwa Imam An Nasa’i ingin memberikan contoh aplikasi dari hadits ini adalah pada perkara minuman, yaitu pada bab tentang kesungguhan untuk meninggalkan hal-hal yang syubhat. Sebab, di antara yang sering mengandung syubhat adalah pada konsumsi kita, termasuk dalam hal yang kita minum.

Jadi kalau Imam Tirmizi hendak memandang hadits ini dengan sudut pandang umum - filosofis, sementara Imam An Nasa’i ingin memandangnya dari sudut pandang khusus – aplikatif. Selain pada dua kitab Sunan yang disusun kedua Imam Hadits tersebut, hadits ini juga termuat dalam Musnad Imam Ahmad.

Lalu, apa istimewanya hadits ini? Ibnu Hajar al Haitsami telah menyodorkan dua kaedah yang berkaitan dengan hadits ini. Pertama; sifat wara’ adalah inti dari ketakwaan, atau bahasa lainnya bahwa ketakwaan kita tidak akan sempurna bila belum ada sifat wara’ dalam diri kita. Kedua; hal yang meragukan akan menutup cahaya keyakinan, atau bahasa lainnya bahwa kita tidak akan mendapatkan pencerahan dari keyakinan bila masih ada keraguan yang menyelimuti.

Dua kaedah itulah yang disodorkan oleh Ibnu Hajar Al Haitsami, yang sekaligus menguak urgensi dari hadits ini. Sebab hadits ini akan mengantarkan setiap pribadi kita untuk memiliki sifat wara’, yaitu menahan diri dari hal-hal yang meragukan. Sebab pula hadits ini akan mengantarkan setiap pribadi kita untuk menyingkirkan keragu-raguan. Memiliki sifat wara’ tersebut akan mengantarkan kita pada kesempurnaan Takwa, sementara menyingkirkan keragu-raguan akan mengantarkan kita pada cayaha Keyakinan. Sementara Taqwa dan Keyakinan adalah dua hal yang paling mahal dalam kehidupan ini, karena pada keduanya kehidupan beragama kita akan menjadi baik.

Maka, mungkin kita bisa katakan bahwa kegalauan itu bukanlah bagian dari keimanan. Atau bahasa lainnya, bahwa seorang Mu’min tidak akan galau. Bagaimana akan galau, sementara dia meyakini akan Qadha dan Qadar-Nya adalah baik seluruhnya? Bagaimana akan galau, sementara dia bertakwa dan bertawakkal kepada Allah setiap waktunya?

Oleh karena itu, bila hadits ini menghendaki adanya sifat wara’ dalam setiap pribadi kita, maka sesungguhnya yang akan dihasilkan adalah sebuah mentalitas yang solid. Bahwa seorang mu’min sejatinya memiliki mentalitas yang selalu berani bersikap, tidak mudah ikut-ikutan, dan kehidupannya selalu berdasar pada pemahaman rasionalitas yang kokoh.

Memang menariknya, dalam hadits ini kita tidak hanya diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan, namun juga diperintahkan untuk menuju hal-hal yang tidak meragukan. Artinya, seorang muslim tidak cukup hanya berlepas tangan dengan hal-hal yang meragukan, namun seharusnya segera mencari hal-hal yang tidak meragukan. Mencari itu perlu pemahaman, karena itu perlu proses belajar yang terus-menerus. Itulah yang dikehendaki dari hadits ini.

Sayangnya, sekarang umat Islam bila dihadapkan pada hal-hal yang meragukan, hanya memilih menghindarinya. Bahkan seringkali tidak mau membahasnya. Hingga ujungnya hanya melahirkan sikap tak acuh pada persoalan-persoalan. Padahal, selain dipinta untuk meninggalkan yang meragukan, kita juga dituntut untuk beralih ke hal-hal yang tidak meragukan. Karena itu, keyakinan itu adalah hal yang harus kita usahakan. Kita akan yakin pada sesuatu, kalau kita telah sungguh-sungguh mempelajari dan memahami seluk-beluknya.

Sementara untuk dapat meninggalkan syubhat, maka yang paling utama harus dipastikan bahwa kita telah meninggalkan yang haram. Sebab, selama kita masih menyentuh yang haram, maka kita akan sulit meninggalkan yang syubhat. Atau bisa dikatakan, bila kita kesulitan meninggalkan yang syubhat, kemungkinan kita masih berinteraksi dengan yang haram.

Adapun bila kita telah meninggalkan yang syubhat dan memegang keyakinan, maka secara teknis ulama fiqh kita telah merumuskan sebuah kaedah: “Bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.” Artinya, apa yang telah kita yakini tidak bisa tiba-tiba ditinggalkan hanya karena ada desas-desus yang meragukannya. Begitulah sederhananya kehidupan beragama kita; tetaplah pada yang kita yakini, tidak perlu goncang kejiwaan kita hanya karena ada keragu-raguan yang dihembuskan oleh setan, kecuali bila datang hal lain yang lebih meyakinkan.

Semoga dengan kita meninggalkan syubhat dan berpegang teguh pada hal yang tidak meragukan, maka kehidupan kita akan diridhoi-Nya. Sebab itulah indikasi ketenangan hidup kita. Semua itu dimulai dari kejujuran, maka jujurlah pada perkara yang sesungguhnya memang kita yakini! Kejujuran itu sendiri memang akan melahirkan keyakinan. Karenanya mereka yang tidak jujur, akan tampak tidak yakin, dan selanjutnya akan menjalani kehidupan dengan penuh keragu-raguan.

Begitulah. Mereka yang jujur akan hidup dengan penuh keridhoan dan ketenangan. Mereka yang menjalani kehidupan dengan sepenuh keyakinan, akan hidup dengan tenang.

Maka, adakah tempat bagi kegalauan dalam pribadi Imani seperti itu?


Jakarta, 4 Januari 2017


Tidak ada komentar: