Sabtu, 14 Januari 2017

(Kajian Hadits) MENJADI UNGGUL KARENA MEMILIKI TUJUAN DALAM HIDUP DAN MENGETAHUI PROSES PERALIHAN MENUJUNYA


عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: "إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ."

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan."


Imam Bukhari meletakkannya pada kitab Iman, sebab iman tidak sempurna tanpa niat yang baik, begitupun sebaliknya niat yang benar merupakan cerminan iman yang benar. Sementara Imam Muslim meletakkannya pada kitab Pemerintahan, sebab itulah simpul kebijakan dan amalan-amalan dalam tatanan sosial kehidupan, dan semua itu menjadi baik bila baik pula niatnya.

Adapun para Imam-Imam hadits lainnya meletakkan hadits ini pada bahasan-bahasan yang lebih teknis. Imam Abu Dawud misalnya, meletakkannya pada kitab Perceraian. Imam at Tirmidzi meletakkannya pada kitab Keutamaan Jihad. Imam Ibnu Majah meletakkannya pada kitab Zuhud. Imam an Nasaa’i meletakkannya pada kitab Bersuci.

Karena Perceraian adalah perkara yang tidak boleh dipermainkan, bila harus dilalui maka harus dengan niat yang sungguh-sungguh penuh kesadaran setelah mempertimbangkan dengan baik. Karena Jihad adalah amalan tertinggi yang lebih menghajatkan kemurnian niat. Karena Zuhud adalah sesuatu yang berada dalam alam batin yang tak tampak, maka lebih perlu memastikan bahwa niatnya lurus sebab godaan batin jauh lebih samar dan pelik. Karena Bersuci adalah amalan pertama sebelum amalan-amalan lainnya, sehingga perlu dipastikan kesucian niatnya sejak amalan pertama ini.

Begitulah para Imam hadits mempersepsikan hadits tentang niat ini dan meletakkannya pada bagian-bagian penting dalam kitab-kitabnya. Hal itu mencerminkan urgensi hadits ini. Abu Dawud sendiri mempersepsikan hadits ini sebagai setengah dari keimanan, sebab bila iman itu tampil dalam batin dan zahir kehidupan manusia maka niat itu merupakan bagian batin. Sementara Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mempersepsikan sebagai sepertiga ilmu, sebab amal manusia itu mencakup hati, lisan dan fisik, sehingga hadits ini menjadi ilmu bagi amal hati.

Inilah hadits yang banyak diletakkan di muqodimah-muqodimah kitab. Bahkan Abu Ubaid mengatakan, “Tidak ada hadits yang lebih sempurna manfaatnya kecuali hadits ini.

Periwayatnya pun istimewa. Dialah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang terkenal dengan keberaniannya sebelum dan setelah masuk Islam, terkenal pula dengan kemurnian rasionalitas imannya sehingga siap berargumentasi di hadapan orang-orang musyrik dan kafir, serta juga terkenal dengan kecintaannya yang mendalam kepada Rasulullah sehingga berat baginya menerima kabar wafatnya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sosok seperti itulah, hadits ini diriwayatkan hingga sampai kepada kita.

Bila kita hendak menyelami hadits ini, maka kita akan menemukan dua hal pokok yang menjadi muatan hadits ini yaitu bahasan tentang Iman dan contoh tentang Hijrah. Oleh karenanya, dua hal itulah yang kiranya perlu kita hayati dengan seksama.

Tapi mungkin ada pertanyaan berikut yang menggoda benak kita, kenapa hadits tentang niat ini contohnya tentang hijrah? Kenapa bukan amal-amal lainnya?

Jawaban yang paling mendasar dan sederhana tentu karena asbaabul wurud atau sebab tertuturnya hadits ini seperti yang disampaikan Abdullah bin Mas’ud, bahwa hadits ini merespon seorang sahabat yang salah niat dalam mengikuti hijrah ke Yatsrib hanya karena ingin menikahi seorang perempuan bernama Ummu Qais. Tapi tidak ada salahnya bila kita menyelami makna-makna lainnya, sebab di antara keutamaan sabda-sabda Rasulullah adalah menghimpun banyak makna pada kalimat yang singkat nan padat. Dan di antara makna yang bisa kita renungkan, bahwa niat itu perkara tujuan sedangkan hijrah itu perkara proses beralih ke tujuan. Niat itulah simbol penetapan tujuan, dan Hijrah itu simbol peralihan ke tujuan.

Dengan niat kita telah menetapkan tujuan, namun hijrah-lah yang akan mengantarkan kita pada tujuan tersebut. Hijrah itulah simbolisasi peralihan menuju tujuan yang telah diniatkan. Maka dari hadits ini secara umum, kita belajar menetapkan tujuan dalam hidup ini sekaligus belajar proses peralihan menujunya. Seorang muslim yang unggul dalam kehidupan ini harus memiliki keduanya; punya tujuan dan mau beralih menujunya. Bila demikian, maka semua yang dicitakannya akan terbuka kemungkinan besar untuk mencapainya. Begitupun semua peralihannya dalam proses kehidupan ini akan selalu memiliki arah tujuan.

Terkait Niat, para ulama telah menyatakan bahwa semua amalan yang tidak disertai niat maka itu bukan bagian dari amalan syariat. Sebab yang membedakan seorang Muslim dan Non Muslim adalah Iman. Oleh karenanya, yang membedakan amalan seorang Muslim dengan amalan Non Muslim adalah niatnya. Maka amalan yang disertai dengan niat ikhlas, itulah amalan seorang muslim. Sementara yang tidak disertai dengan niat ikhlas, maka bukanlah amalan seorang muslim. Karenanya tidak dinilai pahala baginya.

Bahkan dalam mazhab Syafi’i, niat merupakan bagian dari syarat sah-nya sebuah amalan. Maka bila tanpa niat, sebuah amalan dianggap tidak sah. Artinya, tak dianggap dan tak dihitung bahwa amalan itu telah dilakukan.

Singkatnya, niat itulah pembeda. Ia membedakan amalan seorang Muslim dengan Non Muslim yang secara tampilan sama, padahal secara esensi berbeda. Memahami persepsi tentang niat ini penting, agar kita mampu membedakan dua amalan atau lebih yang seakan sama. Sebab bila kita tidak memahami tentang persepsi niat dan gagal membedakan beragam amalan yang serupa, maka kita akan jatuh pada kesalahan dalam penilaian.

Salah menilai inilah yang menjerembabkan seseorang kepada jurang ekstrim keras maupun ekstrim lunak. Mereka menjadi Khawarij karena gagal membedakan kebijakan-kebijakan yang diambil para pemimpin umat di zaman Ali bin Abi Thalib, begitupun mereka menjadi Syi’ah karena gagal membedakan antara kecintaan kepada ahlul bait yang dibenarkan dan tidak dibenarkan. Mereka hanya mempersepsi kehidupan ini secara tampilan semata, lalu dengan gegabah menilainya, dan luput memahami niat-niat yang membedakannya. Terjadilah generalisasi, terjadilah penyama-rataan; akhirnya semua dikafirkan atau semua ditoleril. Maka, fungsi niat itulah sebagai pembeda.

Sementara terkait Hijrah, secara fisik kita telah mengenali sejarah fenomenalnya yaitu hijrahnya Rasulullah beserta sahabat dari Makkah ke Madinah. Hingga bertahun kemudian terjadilah Fathu Makkah atau pembebasan kota Makkah. Dan keluarlah sabda Rasulullah, “Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah.

Sebagian memahami bahwa hijrah secara fisik yang bermakna keluarnya kita dari sebuah kota ke kota lain karena alasan beban penyiksaan telah tiada lagi setelah fathu Makkah. Namun sebagian memahami bahwa hijrah secara fisik tersebut tetap dibolehkan sepanjang kehidupan dunia ini, yang dilarang hanyalah meninggalkan kota Makkah karena kota tersebut telah dibebaskan menjadi kota kaum Muslimin.

Namun selain hijrah secara fisik, sesungguhnya hijrah juga menghimpun segala makna dimensi apapun. Semuanya itu ditautkan dengan benang merah ‘hijrah kepada kebaikan’. Jadi semua proses menjadi baik atau menjadi lebih baik, itu pula dapat bermakna hijrah.

Kini setelah kita memahami dua perangkat penting dalam membangun pribadi unggul yaitu Niat (tujuan) dan Hijrah (proses menujunya), maka kita bisa menyimpulkan sesuatu yang bisa menjadi kaedah dalam kehidupan kita. Pertama; akhirnya kita dapat memahami bahwa niat itu seperti ruh dan amal itu seperti jasad, maka niat tanpa amal itu seperti ruh yang bernilai tapi tanpa bentuk jasadnya, sedangkan amal tanpa niat itu seperti jasad yang tak berarti karena tanpa ruh. Kedua; akhirnya kita juga diantarkan pada pemahaman bahwa niat tanpa amal itu masih bernilai pahala, sedangkan amal tanpa niat tidak bermakna dan tidak mendapatkan pahala.

Karena itulah, jangan takut untuk berniat atau bercita-cita. Semua yang kita niatkan dan kita cita-citakan, insyaAllah telah tercatat pahalanya meskipun bila tak kunjung terwujud selama kita tetap berusaha mewujudkannya. Tapi tetap; mereka yang memiliki niat dan bersungguh hijrah menujunya, maka akan unggul di akhirat dan dunianya.


Jakarta, 14 Januari 2017

Tidak ada komentar: