Selasa, 17 Januari 2017

12 PESAN KYAI HAJI AHMAD CHOLIL RIDWAN


Kajian #ShubuhBerjamaah Pasar Rebo
Masjid Nurul Iman, Cijantung
KH. Ahmad Cholil Ridwan, Lc.
Ahad, 25 Desember 2016

I
SANTRI

Santri tamat pesantren, menjadi ustadz, menjadi Kyai, menjadi Muballigh, menjadi Khatib; itu biasa. Saya bilang, mestinya santri Husnayain, tamatan Husnayain, punya cita-cita menjadi Presiden, RI 1. Jadi Kapolri, jadi Panglima TNI. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur. Jangan jadi Kyai, Kyai banyak. Otomatis. Sudah lumrah, kan. Santri, Ustadz, Kyai, Muballigh, Khatib, Penceramah. Tapi yang kita butuhkan adalah ulama yang menjadi pemimpin. Ulama yang memimpin. Bukan hanya memimpin sholat di dalam masjid, tetapi juga memimpin Negara di luar masjid. Itu yang kita cari. Dan itulah jebolan pesantren Arqom bin Abi Arqom yang Kyai-nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam di Makkah. Sebelum Hijrah, Nabi Muhammad bikin pesantren di Makkah, di rumah Arqom bin Abi Arqom. Alamatnya di kaki bukit Shafa. Kemudian pindah Hijrah ke Madinah, yang menjadi orang nomor satu, Madinah Munawarah 1, adalah jebolan pesantren Nabi Muhammad di Makkah. Abu Bakar menjadi pemimpin di Madinah. Pemimpin Negara, pemimpin pemerintahan, pemimpin perang setelah Rasulullah wafat, menggantikan Rasulullah. Makanya namanya Khalifah, pemimpin yang datang belakangan setelah Rasulullah. Yang kedua Umar, juga jebolan pesantren Makkah. Utsman, Ali, semuanya.


II
ULAMA

Jadi al Ulama waratsatul anbiya’, ulama pewaris para Nabi. Apanya yang diwarisi? Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, memberikan contoh sebagai sunnah sahabat. Ada sunnah Rasul, ada sunnah sahabat. Sunnah Rasul artinya teladan yang diberikan oleh Rasulullah ketika masih hidup. Tetapi kalau Rasul sudah meninggal, tidak ada lagi sunnah Rasulullah, yang ada sunnah sahabat. Boleh tidak sahabat bikin sunnah? Ada haditsnya, “Hendaknya kalian dengan sunnahku dan sunnah Khalifah-Khalifah yang mendapatkan petunjuk setelahku.” Jadi jelas, bahwa pewaris para Nabi sesudah Nabi adalah Ulama. Tapi yang diwarisi apa? Kepala Negara, kepala pemerintahan, panglima perang. Itu yang diwarisi. Kita tidak. Ulama yang diwarisi apa? Imam shalat, Imam do’a, Imam zikir, bukan Imam pemerintahan. Imam Haji, amirul Hajj, amirus Safar, bukan Amir kayak di Imarat. Amir itu kan artinya pemerintah, Imarat itu pemerintahan. Maka sudah lama saya canangkan, bahwa pesantren itu tempat mengkader calon pemimpin umat, pemimpin bangsa, pemimpin Negara, pemimpin pemerintahan, pemimpin militer. Itulah para jama’ah sekalian, bahwa santri itu para kader pemimpin. Kader calon ulama, tapi yang memimpin. Seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Cuma bagaimana pemimpin Negara, apakah ia memiliki derajat yang lebih rendah daripada ulama? Maaf, ulama ibadah mahdhoh, ulama zikir, ulama shalat, ulama ibadah haji. Ini ternyata ulama yang memimpin, dicantumkan namanya oleh Allah subhanahu wata’ala melalui lidah Rasulullah, sebagai orang yang disebut namanya pasti masuk surga. Sepuluh orang yang dapat berita gembira sebagai calon penghuni surga yang pasti, adalah modalnya 4 khulafa ar rasyidin. Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman, di surga, Ali di surga, baru yang lain. Zubair bin Awwam, jawara. Abdurrahman bin Auf; konglomerat, pengusaha, pebisnis, pedagang. Sa’ad bin Abi Waqas, jenderal perang juga. Kesemuanya, sepuluh besar yang dipastikan masuk surga, yang menyebut Nabi Muhammad sendiri, secara eksplisit namanya disebut, tidak ada pemimpin zikir, pemimpin sholat, pemimpin ibadah – spiritual. Semuanya adalah tokoh politik dan tokoh ekonomi. Bukan itu salah; memimpin sholat, memimpin haji. Itu perlu, tapi itu ibadah mahdhoh. Apa bedanya ibadah mahdhoh dengan ibadah ghairu mahdhoh? Ibadah mahdhoh targetnya akhirat, hasanah fil akhirat. Jadi sekarang ini, kita sholat Shubuh-nya cari pahala, kita dengerin taushiyah-nya cari pengertian untuk merebut hasanah fiiddunya.


III
JIHAD

Untuk sholat Shubuh berjama’ah perlu jihad. Jihad melawan kantuk, jihad melawan bisikan setan, jihad melawan jarak yang jauh. Jihad itu kan pengerahan segala potensi yang kita miliki untuk mencapai tujuan fii sabilillah. Yang paling tinggi perang, membunuh atau dibunuh. Membunuh dapat pahala, dibunuh lebih besar pahalanya syahid. Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Yaitu kuat imannya. Dengan kekuatan iman, kita bisa mengalahkan semua musuh. Musuh apa saja bisa kita kalahkan dengan kekuatan iman. Musuh politik bisa kita kalahkan dengan kekuatan iman. Sekarang kan ada bisikan dari setan, politik itu harus punya uang. Kalau tidak punya uang, gak mungkin menang. Itu namanya politik uang. Saya bilang, politik uang hanya bisa dikalahkan dengan politik iman. Karena iman itu tidak bisa dibeli.


IV
POLITIK

Di Indonesia ini kan partai dibagi menjadi dua. Partai nasionalis – Islam dan partai nasionalis – sekuler, semuanya nasionalis. Jangan bilang partai Islam gak nasionalis, gak bener itu. Nah, yang memimpin partai nasionalis – sekuler juga muslim, agamanya Islam. Yang memimpin partai nasionalis – Islam, juga muslim. Mestinya, umat Islam itu tidak hanya Islam agama, tapi juga Islam ideologi.  Secara ideologi, partai nasionalis – Islam ini insyaAllah ideologinya Islam. Partai sekuler adalah agamanya Muslim, baik pemimpin partainya maupun pengurusnya maupun jama’ahnya mayoritas muslim, tapi ideologinya bukan Islam. Inilah bagian dari pendidikan politik yang perlu dipahami umat Islam. 2013, saya dirikan PPI, Pengajian Politik Islam. Karena kita tidak boleh lagi berpolitik diam-diam, sembunyi-sembunyi, malu-malu, segan-segan, ogah-ogahan. Kita harus kibarkan bendera politik. Dari mana? Dari masjid. Maka PPI yang saya dirikan itu, Pengajian Politik Islam, markaznya di Masjid yaitu Masjid Al Azhar. Kan Masjid Al Azhar itu milik umat secara politik. Masjid Al Azhar itu didirikan oleh Walikota Syamsu Rizal. Syamsu Rizal itu adalah tokoh Partai Masyumi. Karena itu, masjid politik warisan dari Masyumi. Makanya, pengurusnya Hasan Basri -tokoh Masyumi-, Buya Hamka –tokoh Masyumi-. Sampai sekarang juga, orang-orang Masyumi ngumpul di situ. Jadi PPI itu markaznya di masjid, pengajiannya di masjid, tapi yang dikaji politik. Ngajinya ngaji kitab, kitab kuning. Judulnya kitab namanya As Siyasah asy Syar’iyah, Politik Syariah, dikarang oleh Ibnu Taimiyah. Al Ahkam as Sulthaniyah, dikarang oleh Imam Al Mawardi. Ahkam Sulthaniyah itu artinya hukum tata Negara, hukum pemerintahan.


V
MASJID

Apa salahnya kita ngomong politik di masjid? Siapa bilang tidak boleh ngomong politik di masjid? Nabi ngomong politik di masjid. Ngomong ekonomi, ngomong akhirat, ngomong dunia, jadinya di masjid. Khatib khutbah kedua bilang, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan.” Ayatnya ayat politik, buat kepala Negara, buat menteri, buat polisi, buat jaksa. Jadi, bahwa masjid itu pusat kegiatan umat sekaligus pusat pemerintahan di zaman Nabi. Jadi saya bikin pengajian politik Islam; dari masjid, ngajinya di masjid, markaznya di masjid. Tabligh Akbar Politik Islam, saya namakan politik agar umat Islam melek politik, kenal politik, dan tidak segan-segan untuk berpolitik. Karena politik itu adalah dakwah, politik itu adalah ibadah ghairu mahdhoh. Motto dari PPI, “Berbeda dalam mazhab, bersatu dalam politik.” Bersatu dalam politik artinya bersatu dalam ekonomi. Mazhab apa saja asal jangan Syiah, jangan Ahmadiyah, jangan Islam Jama’ah.


VI
UMAT

212 itu adalah kekuatan umat Islam dalam bentuk kuantitas, jumlah. Ketika dia disinggung dengan al Qur’an, dia bisa bersatu. Tetapi dia tidak sadar bahwa yang punya kekuasaan adalah lawan-lawan politik Islam, lawan-lawan ideologi Islam. Agamanya Islam. Sama dengan yang memberontak tahun 58, PKI. Ketuanya namanya Muso. Muso itu Muslim, tapi ideologinya komunis. Maka dia berontak. Kenapa dia bunuhin Ulama, bunuhin Kyai? Di Wonogiri, di Ponorogo, dia bikin rumah jagal tapi isinya Kyai. Karena ideologinya, bukan karena agamanya. Ideologinya komunis. Komunis itu sistem politiknya adalah merebut kekuasaan. Dengan kudeta, dengan berontak. Kalau tidak berontak, bukan PKI. Kalau tidak kudeta, bukan PKI. Masyumi, mungkin. Masyumi kan pernah punya jabatan Presiden di Sumatera Barat, PDRI, pak Syafruddin Prawiranegara. Jadi, kalau Masyumi jadi Presiden, setelah Soekarno keluar dari penjara, dipulangin lagi ke Soekarno. Ada serah-terimanya itu penyerahan kekuasaan. Itu kekuasaan sudah di Partai Masyumi, itulah adilnya umat Islam. Dan PKI, Komunis, nggak pernah adil, nggak pernah fair, selalu berontak. Ribuan Kyai menjadi korban. Ulama, polisi, lurah dan sebagainya. Tahun 65, berontak lagi. Maka yang disembelih bukan lagi Kyai, tetapi Jenderal. Jenderal bintang empat.


VII
IDEOLOGI

Dekat dengan kita, Lubang Buaya. Anak-anak wajib kita bawa ke situ untuk paham sejarah bahwa di Indonesia pernah ada partai politik yang berontak membunuh sekian Jenderal, sekian kepolisian. Bawa anak kita, anak-anak sekolah bawa ke situ. Supaya paham, bahwa PKI itu orangnya Muslim tapi ideologinya komunis. Akhirnya memberontak, menguasai Indonesia, dan akhirnya Indonesia menjadi cabang dari Rusia, cabang dari Tiongkok. Sekarang pemimpin kita minimal ideologinya sekuler. Karena sekuler itu ibarat tenda semua ideologi, kecuali Islam. Islam ada tenda sendiri. Jadi ada dua tenda yang berhadapan, merupakan front, tenda Islam dan tenda sekuler. Jadi orang Islam yang ada di tenda sekuler ini, Muslim secara ibadah, secara lahiriah. Tapi secara ideologi, secara hati, dia kafir. Sholat-nya Islam, Haji-nya Islam, formalnya Islam, pakai tasbih lagi. Tapi politiknya kafir, sehingga ketika ada pemilu berhadapan dengan partai Islam, berhadapan dengan orang-orang yang berideologi Islam.


VIII
PERTARUNGAN

Ini harus kita pahami. Jadi hanya ada dua, setiap perang. Apakah perang politik, perang ekonomi, perang budaya, perang intelijen, perang media, selalu unsurnya yang paling tinggi adalah ideologi. Perang budaya, itu perang ideologi. Yang kita tahu kan budaya barat dengan budaya lokal di Indonesia. Tapi sebetulnya, kita perang budaya karena perang dua ideologi, Ideologi Islam dan ideologi sekuler. Dalam sekuler ada ideologi Kristen, kristenisasi. Ini budaya menyerbu, sesungguhnya ideologi yang menyerbu ini, namanya Ghazwul Fikri. Penyerbuan ini sudah sampai ke rumah-rumah orang Islam. Sampai kepada Kyai-Kyai, Ulama-Ulama, kepada masjid. Masjid kita ini diserbu dengan Ghazwul Fikri-nya kristenisasi, westernisasi, sekulerisasi. Seperti tempat kencing berdiri. Itu budaya kufur, yang telah masuk ke masjid. Menurut Islam kalau buang air kecil, buang air besar, berdiri atau nongkrong? Makanya di kota Makkah – Madinah, dua tempat suci, nggak ada WC yang tempat kencing pakai berdiri. Itu budaya Islam, budaya Makkah, budaya Madinah. Tapi kalau dalam budaya ini kita berkiblat ke barat, maka itulah kencing berdiri. Kyai ngawinin anaknya, pesta di aula. Sama nggak dengan pestanya orang sekuler, sama orang Kristen? Nggak ada bedanya. Laki sama perempuan nggak dipisah, makan – minum berdiri. Padahal ada haditsnya, “Janganlah salah satu dari kalian minum sambil berdiri.” Walaupun tidak haram, tapi ini makruh muakkad. Kalau ada sunnah muakkad, ini makruh muakkad. Tapi kita dipaksa oleh tuan rumah untuk makan berdiri, minum berdiri, sambil ngobrol, sambil jalan-jalan lagi. Pakai peci, pakai jilbab, nyampur. Apa bedanya dengan pesta orang Eropa, orang Barat? Ini adalah serbuan budaya kepada umat Islam di Indonesia. Selesai budaya nanti dia masuk ke ideologi. Maka jadi lemah.


IX
MENTAL

Saya punya teman di kerajaan, kaya sekali. Jauh lebih kaya daripada kita. Gaji pembantunya 1000 real. Teman saya itu pegawai kantor pos, pembantunya dari Indonesia. Punya kolam renang, punya mobil, kalau liburan ke Indonesia jalan-jalan. Padahal hanya pegawai pos yang jual prangko di depan. Teman saya sekolah di Madinah. Jadi dia lebih kaya, lebih makmur, daripada kita. Tetapi pesta perkawinan nggak pernah dicampur, sampai sekarang. Raja, apalagi ulama, nggak pernah dicampur. Ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan, kayak di masjid. Kita, masjid itu memberikan contoh untuk kita lakukan di luar masjid. Jadi dipisah. Karena ikhtilat itu haram. Kecuali dalam keadaan darurat dan sebagainya, kayak di pasar darurat. Tapi kalau di pesta walimah kita sendiri, kita yang ngadakan, kita yang kuasa, kita mau ngapain itu pesta, kenapa kita harus ikut budaya Barat? Budaya musuh, budaya Sekuler. Nah, itulah yang saya maksud bahwa perang budaya itu sebetulnya perang ideologi.


X
TANTANGAN

Sekarang kita ini lemah. Dilemahkan oleh lawan-lawan politik umat. Oleh tirani minoritas. Dia minoritas, namun berkuasa. Maka kalau saya bilang, zaman Nabi ada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang bisa hidup berdampingan dengan orang Islam, punya hak dan kewajiban yang sama dengan orang Islam, tunduk kepada sistem Islam – hukum Islam, tunduk terhadap pemimpin Negara Islam yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, tapi dia harus bayar jizyah / pajak. Nah, kita ini juga sama. Kita orang Islam, bayar pajak kepada penguasa yang bukan Islami, hukumnya bukan hukum Islam, bukan hukum Qur’an, bukan hukum hadits, tapi kita bayar pajak dan taat, tapi hak-hak politik kita tidak bisa terpenuhi. Artinya apa? Kita ini muslim dzimmi. Iya, nggak? Kalau kafir dzimmi masih bagus nasibnya, karena minoritas. Yahudi, Nasrani, Majusi, semuanya tunduk sama Nabi Muhammad, sama pemerintahan Islam, dan dilindungi oleh pemerintahan Islam dari segala aniaya – kezoliman umat Islam mayoritas. Tapi bayar jizyah, dia taat hukum, kalau mencuri dipotong, berzina dirajam, maka dia menjadi kafir dzimmi. Kafir itu dibagi menjadi dua, ada kafir dzimmi, ada kafir harbi. Kafir dzimmi itu kafir yang mau hidup berdampingan dengan umat Islam, dan taat kepada hukum Islam. Kalau kafir harbi adalah kafir yang memerangi umat Islam. Bukan hanya perang fisik, tapi juga perang ideologi, perang ekonomi, perang politik dan sebagainya. Perang intelijen, perang budaya, perang medsos.


XI
KESADARAN

Jadi kalau saya melihat 212 adalah merupakan satu keinginan Allah untuk memberikan kesadaran kepada umat. Begitu lemahnya kalian, begitu hinanya kalian, di mata penguasa yang sebetulnya mereka minoritas. Tolikara, itu di Indonesia bukan? Tolikara di Papua. Papua itu Indonesia bukan? Indonesia. Dua tahun yang lalu, umat Islam lagi shalat Idul Fitri dibubarin oleh satu jama’ah gereja. Bukan oleh umat Kristen, bukan oleh umat Katolik, nggak punya Dirjen dia di Departemen Agama. Oleh satu gereja, membubarkan orang lagi sholat Idul Fitri. Sudah Allahu AkbarAllahu Akbar, bubar, batal nggak jadi sholat. Itu di negeri Indonesia, yang dikatakan negeri mayoritas jumlah penduduk muslimnya. Bingung kita, gimana Negara mayoritas muslim kok sholat Idul Fitri bisa dibubarin? Oleh gereja, dilempari batu dan anak panah. Dan yang dibakar itu masjid, bukan musholla. Ada plangnya, Masjid. Kalau tentara, polisi, pemerintah kan bilang Musholla. Itupun bilangnya bukan dibakar, tapi terbakar. Padahal dibakar, pakai bom molotov. Cuma kena genteng, kena tembok, mental kena toko di sebelahnya. Jadinya terbakar pasar. Akhirnya, terbakar pula masjid itu. Nah, itulah gambaran bahwa umat Islam mayoritas tetapi lemah. Dalam politik, dalam ekonomi, dalam intelijen, dalam semua urusan. Media, lemah. Bahkan muncul TV Kompas (Komando Pastur), TV DAAI, tapi bukan Dai Islam, dai Budha. Jadi Kristen punya TV, Budha punya TV, yang sekuler-sekuler punya TV, tapi kita tidak punya TV. Jadi, gimana mau menang? Padahal sekarang TV itu merupakan instrumen yang paling depan, sebelum perang terjadi, dia sudah bisa masuk ke kandang musuh. Ke rumah kita, ke kamar kita. Ada orang kaya Islam, kamar mandinya itu lebar – luas, ada TV. Sembari buang air, sembari nonton TV. Itu artinya, senjata musuh sudah masuk ke WC-nya. Bukan hanya ruang makan, ruang tidur, ke WC-nya sudah masuk. Mana bisa kita menang? Nah, inilah yang harus kita ubah. Mengubah itu bagian dari perintah Allah, nggak boleh kita statis. Harus dinamis, harus selalu berubah. Ayatnya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri.”


XII
PERUBAHAN

Allah tidak akan mengubah nasib umat Islam Indonesia dari urusan politik, urusan ekonomi, urusan pasar, urusan media dan sebagainya, kecuali umat Islam sendiri yang harus berjihad – beramal untuk mengubah nasibnya. Kalau tidak sekarang, maka nasib anak-cucu kita yang kita ubah. Saya sedih, saya susah, bagaimana nasib anak-cucu saya yang akan datang setelah saya mati? Dia akan dimut’ah oleh Syi’ah. Dia akan menjadi kader komunis. Sekarang di DPR itu, ada kader PDIP yang mengarang buku ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’, sekarang jadi Ketua Komisi di DPR. Karena Pemilu, Pilkada, Pilpres dimenangkan oleh partai-partai musuh lawan ideologis, maka nasib kita menjadi seperti PPP (dipecah). Jangan gara-gara ketuanya masuk penjara, kita hijrah ke partai sekuler. Dan inilah semangat perjuangan 212 adalah bagaimana menyadarkan umat melek politik, sadar politik. Agar suatu saat, orang-orang muslim yang ada di partai sekuler, hijrah dari partai sekuler ke partai Islam. Itulah target daripada PPI, Pengajian Politik Islam.


Tidak ada komentar: