![]() |
Foto Dokumentasi ibu Yeni, Pengurus PD Aisyiyah Kapuas Hulu |
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hamzah, Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antaramu hingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keistimewaan hadits ini di
antaranya karena riwayatnya oleh Abu Hamzah, bapaknya singa, julukan bagi keperkasaannya. Yaitu seorang sahabat
yang bernama Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Seakan ingin menekankan sosok periwayat hadits ini, dalam penyebutan
periwayatnya ditambah dengan keterangan Pembantu Rasulullah setelah penyebutan
namanya. Itulah istimewanya Anas bin Malik, sahabat yang paling terakhir
meninggal ini dalam hidupnya memerankan diri sebagai pembantu Rasulullah.
Maka meski hanya 10 tahun ia
membersamai Rasulullah dari total usianya 107 tahun, ia dapat meriwayatkan 2286
hadits sehingga menjadi sahabat yang paling banyak ketiga dalam periwayatan
sabda Rasulullah. Hal itu karena kecerdasannya, juga karena intensitas
pertemuannya dengan Rasulullah yang tinggi karena merupakan pembantunya.
Kearifan agamanya pun semakin mendalam, sebab setelah Rasulullah wafat, ia
terus hidup dan berinteraksi dengan para sahabat senior dari masa ke masa
hingga mereka semua wafat.
Kira-kira demikianlah
keistimewaan Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Ia menjadi sahabat periwayat hadits terbanyak ketiga. Karena ia
menjadi pembantu Rasulullah sehingga sering mendengar sabda Rasulullah. Dan
karenanya pula, ia menjadi sosok yang kehidupan beragamanya paling menyerupai
Rasulullah. Maka menyimak hadits yang diriwayatkan olehnya tentu menjadi
keistimewaan tersendiri. Dan inilah yang akhirnya menjadi salah satu keistimewaan
hadits ini.
Selain itu, memang ulama
juga telah mengidentikkan hadits ini sebagai salah satu poin penting dalam
kaedah Islam. Seperti yang dikatakan oleh al Jurdani dalam Syarh Hadits Arba’in
an Nawawiyah, “Bahwa hadits ini merupakan bagian dari kaedah-kaedah Islam.”
Lebih detail lagi salah seorang ulama mazhab Maliki di Maroko yaitu Abu
Muhammad Abdullah bin Abu Zaid menyatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu
dari empat hadits yang menjadi azas akhlak yang baik. Ketiga hadits lainnya
menurut beliau adalah hadits untuk meninggalkan hal-hal yang tidak manfaat
(hadits ke 12 di Arba’in An Nawawiyah), hadits untuk mencukupkan berkata baik
atau diam (hadits ke 15 di Arba’in An Nawawiyah), serta hadits larangan marah
(hadits ke 16 di Arba’in An Nawawi).
Namun menariknya, tidak
hanya karena diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan diidentikkan oleh ulama
sebagai hadits azas Islam dan azas akhlak, melainkan juga merupakan bahasan
penting bagi awal mula kehidupan beragama kita karena termasuk bagian dari bahasan
tentang iman. Sebagaimana Imam Bukhari dan Imam Muslim meletakkannya di kitab
Iman dalam Shahih-nya. Begitupun Imam An Nasa’i meletakkannya di kitab Iman
pula dalam Sunan-nya.
Tapi yang lebih menarik lagi
ketika kita mendapatinya dalam kitab Sifat Hari Kiamat dalam Sunan At Tirmidzi,
itu seakan-akan bahwa Hari Kiamat kita tidak akan selamat kecuali bila kita
juga telah tuntas dengan amalan hadits ini. Bahkan Ibnu Majah meletakkannya di
Muqoddimah Sunan-nya, seakan mengisyaratkan bahwa kajian dan amalan hadits ini
seharusnya sudah tuntas di permulaan sebelum kita menyelami agama ini lebih
dalam.
Lalu, apa hubungannya dengan
mekanisme perbaikan sosial? Yaitu pada pesan kepedulian sosialnya. Kepedulian
kepada saudaranya yang seharusnya melebihi kepedulian kepada dirinya sendiri. Syeikh
Musthafa Dieb Al Bugha merincikan tentang kepedulian ini hendaknya meliputi 3
hal: Kesukaan dan Kebencian kita, Kesungguhan memberikan nasehat, serta
Penerimaan saudara dan Penunaian haknya.
Pertama; Kesukaan dan
Kebencian kita hendaknya juga kita harapkan ada pada saudara kita. Sebagaimana
kita suka akan sesuatu, maka hendaknya saudara kita pun suka terhadap sesuatu
itu. Sebagaimana kita benci akan sesuatu, maka hendaknya saudara kita pun benci
terhadap sesuatu itu. Dalam ukuran beragama, maka sukanya kita terkait hal-hal
yang dibolehkan dan mengandung ketaatan. Sementara bencinya kita terkait
hal-hal yang merusak dan mengandung maksiat. Sebab dengan menyukai dan membenci
hal tersebut, maka ada kebaikan bagi masa depan abadi akhirat kita. Dan
kebaikan seperti itulah yang kita inginkan juga ada pada saudara kita, bukan
saja menjadi kenikmatan yang kita rasakan sendiri.
Kedua; Kesungguhan
memberikan nasehat kepada saudara kita agar dapat menyukai hal-hal yang
dibolehkan dan membenci hal-hal yang merusak, hingga menyukai ketaatan dan
membenci kemaksiatan. Jadi bila kita hendaknya mencintai saudara kita melebihi
kecintaan kepada diri kita sendiri, maka seharusnya kita tidak cukup hanya
mengharapkan saudara kita menyukai hal yang baik dan membenci hal yang buruk.
Melainkan hendaknya ada usaha yang sungguh-sungguh dari kita untuk membuat
saudara kita sungguh-sungguh mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Usaha
itu berupa kesungguhan memberi nasehat kepada saudara kita tersebut. Jadi tidak
cukup hanya menyodorkan kebaikan kepadanya dan menyingkirkan keburukan darinya,
tapi kita juga mengusahakan agar ia benar-benar menjadi pribadi yang mencintai
kebaikan dan membenci keburukan. Itulah hakikat mencintai saudara yang
seharusnya.
Ketiga; Penerimaan saudara
dan Penunaian haknya. Setelah dua hal tersebut, maka secara teknis sehari-hari
wujud cinta kepada saudara kita adalah menerimanya dengan sebaik penerimaan dan
menunaikan haknya dengan sebaik penunaian. Sungguh menjadi kebahagiaan bagi saudara
kita, bila disambut kehadirannya maupun keberadaannya. Sungguh pula menjadi
kebahagiaan bagi saudara kita, bila ditunaikan hak yang memang menjadi
tanggungan kita maupun yang sekadar menjadi keinginannya. Sebab hakikatnya,
semua yang diinginkan saudara kita adalah hak persaudaraan yang harus kita
bantu penunaiannya. Dan membantu mewujudkan keinginan saudara tentu merupakan
wujud kecintaan yang sejati kepada saudara, sebagaimana kitapun senang bila
keinginan kita terwujud.
Dengan gambaran seperti itu,
maka akhirnya kita paham bagaimana berakhlaknya seorang yang memiliki kecintaan
kepada saudara melebihi kecintaannya kepada diri sendiri. Sebab ia tak lagi
hanya mementingkan dirinya sendiri, namun lebih mementingkan orang lain. Sebab
ia mendahulukan bagi orang lain, sebelum dirinya sendiri. Itulah akhlak yang
sejati. Sebab yang akhirnya merusak akhlak adalah munculnya ego diri yang
meretakkan kehidupan sosial.
Walaupun bukan berarti pula
menghilangkan sikap berlomba-lomba dalam kehidupan sosial. Sebab agama Islam
telah menetapkan kaedah, bahwa kita boleh saling mendahului dalam urusan
ibadah, namun hendaknya saling mempersilakan dalam urusan muamalah. Karena itu,
imbauan berlomba-lomba dalam surat al Muthaffifin ayat 26 kaitannya pada segala
harapan akan kenikmatan akhirat yang dicapai dengan ibadah.
Akhirnya bila kita renungi
tentang kaedah cinta seperti ini, yang oleh para ulama hadits dikaitkan dengan
sifat keimanan, maka kita dapat memahami bahwa orang-orang beriman memang
sejatinya memiliki kecintaan yang lebih besar kepada saudaranya daripada kepada
dirinya sendiri. Dan karena itulah, segala sifat seperti dengki, fitnah, dan
egoisme sesungguhnya bukan bagian dari keimanan. Atau makna sebaliknya adalah tidak
mungkinnya seorang mu’min sejati memelihara sifat dengki, fitnah dan egoisme.
Atau makna lainnya bila ada sifat dengki, fitnah dan egoisme dalam diri
seseorang, maka keimanannya tidak sempurna.
Dari kaedah cinta seperti
ini, kita seakan disadarkan bahwa agama Islam telah menawarkan mekanisme yang
orisinal untuk melakukan perbaikan sosial. Mekanisme orisinal itu adalah kaedah
cinta ini, yaitu mencintai saudara melebihi kecintaan kepada diri sendiri. Maka
hilanglah dengki, hilanglah fitnah dan hilanglah egoisme yang selama ini
meretakkan kehidupan sosial kita dan seringkali menggagalkan semua agenda
perbaikan yang telah dirancang.
Bahwa semua agenda perbaikan
sosial akan efektif dan efisien bila kehidupan sosial kita memiliki keberdayaan
cinta seperti ini. Maka tanpa perlu rekayasa aturan pemerintah, semua aspek
kehidupan sosial kita akan terbenahi bila masing-masing kita punya kemandirian
untuk memperbaiki orang-orang di sekitar kita sehingga memiliki kebaikan
sebagaimana kita sendiri pun menginginkannya. Baik itu bidang ekonomi, politik
maupun tata sosial lainnya.
Dan, bila itu merupakan
indikasi kesempurnaan iman, maka sejatinya seorang Muslim menjadi pelaku inti
dalam perbaikan sosial di manapun dan kapanpun. Wallahu a’lam.
Jakarta, 24
Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar