Forum
Lingkar Pena hadir sebagai sarana menguatkan karakter Muslim dan bangsa dengan
nilai-nilai yang disampaikan melalui tulisan. Yang karenanya, ditanamkan dalam
setiap diri kader FLP, visi menghadirkan karya-karya yang mencerahkan. Dengan
pencerahan itu, harapannya tatanan sosial kehidupan umat dan bangsa semakin
membaik. Bahwa individu yang semula lesu, menjadi penuh semangat berpacu.
Begitupun komunitas yang semula rapuh tergoyah isu, menjadi kokoh bersatu padu.
Kemudian kita pun sadar, bahwa perbaikan
yang mendasar itu sejatinya bermula dari perbaikan karakter individu.
Setidaknya tentang bagaimana setiap individu berinteraksi, merespon dan
bersikap. Karenanya, bila FLP ingin berkontribusi mencerahkan kehidupan umat
dan bangsa, maka hendaknya para penulis FLP secara konsisten memperhatikan
aspek-aspek pembangunan karakter individu dalam segenap karyanya.
Kita bersyukur, ustadz Habiburrahman el
Shirazy atau yang akrab disapa Kang Abik telah maju ke hadapan khalayak dengan
novel-novel “Pembangun Jiwa”. Kita juga bersyukur dengan bunda Helvy Tiana
Rosa (Ketua Umum pertama FLP) yang telah hadir mengusung sastra moral untuk
membangun karakter bangsa. Begitu juga kang Muhammad Irfan Hidayatullah (Ketua
Umum kedua FLP) yang banyak hadir dengan karya-karya perenungan jati diri
manusia, mbak Izzatul Jannah (Ketua Umum ketiga FLP) yang telah banyak
menghadirkan buku-buku kepribadian anak-remaja-perempuan, serta mbak Sinta
Yudisia (Ketua Umum keempat FLP) yang konsen pada karya-karya berbumbu psikologi.
Tentu! Pembangunan karakter individu itu
memang selayaknya menjadi fokus karya-karya kader FLP, bila komunitas ini
memang ingin hadir untuk mewujudkan visi pencerahan bagi kehidupan manusia.
Fokus ini pula yang hendaknya terus dijaga oleh semua kader FLP dari masa ke
masa.
Namun, kiranya ada satu pertanyaan yang
perlu kita ajukan untuk evaluasi proses pembangunan karakter yang telah
bergulir hingga kini. Bila kita sehari-hari bergelut dengan alur cerita atau
alur naskah, maka sejauh mana kita telah menghayati alur semestinya dalam
pembangunan karakter yang menjadi target dakwah pena kita?
Dari mana kita memulai? Bagaimana kita
berproses? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu menjadi perenungan bersama,
agar optimal usaha kita dalam membangun karakter.
Sebagai seorang Muslim, tentu kita perlu
melirik teladan Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam terlebih
dahulu dalam setiap usaha menjalani kehidupan ini; merekronstruksi ulang
kehidupan, maupun membangun karakter individu-individunya.
Apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh
Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam untuk
pembangunan karakter? Apa nilai karakter utama dan pertama yang ditanamkan oleh
Rasulullah shalallahu ’alaihi wasalam pada
setiap individu sahabat-sahabatnya?
Ada ungkapan menarik dari Ibnul Qayyim,
ketika beliau berkata bahwa iman itu asasnya adalah kejujuran. Sebaliknya,
beliau juga mengatakan bahwa nifaq asasnya adalah kedustaan. Lalu kata beliau,
“Tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling
bertentangan satu sama lain.”
Menarik! Karena jujur itu identik bagi iman.
Maka, kaum mu’min sejatinya menjaga nilai kejujuran. Bila kejujuran telah pudar
dari dirinya, maka imannya pun cacat.
Rasulullah shalallahu
’alaihi wasalam pun
meninggalkan salah satu wasiat sabdanya, “Kalian
harus jujur, karena jujur itu bersama-sama dengan kebaikan yang sempurna.
Keduanya akan berada di dalam surga. Dan hati-hatilah kalian dengan berbohong,
karena bohong itu bersama-sama perbuatan dosa yang terus-menerus. Keduanya akan
masuk neraka....” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Begitulah nilai pertama yang ditanamkan oleh
Rasulullah; Kejujuran. Sehingga ketika ada seorang pemuda yang datang ingin
memeluk Islam, lalu menyatakan bahwa dirinya tidak mampu meninggalkan kebiasaan
buruknya seperti berjudi, meminum khamar dan berzina, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam menjawab, “Tidak apa-apa.”
Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasalam bertanya, “Maukah engkau berjanji untuk meninggalkan dusta?”
Pemuda itu balik bertanya, “Cuma itu syaratnya,
wahai Rasulullah?”
“Ya,” jawab Rasulullah. Pemuda itupun
berlalu dengan tenang. Namun di kemudian hari ia tersadar, ternyata sikap jujur
itulah yang akhirnya mengharuskan ia meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat
itu. Sebab dengan kejujuran, ia harus mengakui perbuatannya. Dengan kejujuran
pula, ia harus menerima konsekuensi sanksi dari perbuatannya.
Sungguh, Kejujuran adalah nilai karakter
yang utama dan pertama. Bahkan, Ibnul Qayyim juga menyatakan bahwa Kejujuran
adalah nilai bagi kebesaran seseorang dan sebuah bangsa. “Jujur adalah predikat
bangsa besar. Berangkat dari sifat jujur inilah terbangun semua kedudukan agung
dan jalan lurus bagi para pelakunya. Barangsiapa yang tidak menempuh jalan ini,
niscaya ia akan gagal dan binasa. Dengan sifat jujur inilah, akan terbedakan
antara orang-orang munafik dengan orang-orang beriman dan akan terbedakan
antara penghuni surga dengan penghuni neraka,” begitu kata Ibnul Qayyim.
Memang begitulah. Sebab, sebaliknya,
berbohong adalah pangkal segala dosa. Dan kerusakan-kerusakan karakter serta
kehidupan bangsa kita saat ini, pangkalnya adalah hilangnya kejujuran berganti
dengan kebiasaan berbohong.
Setelah nilai kejujuran itu kita tanamkan,
maka alur kedua adalah menanamkan nilai tanggungjawab. Dan bila nilai kejujuran
sudah benar-benar tertanam, sesungguhnya secara otomatis akan lahir nilai-nilai
tanggungjawab. Sebab, bila ada yang melakukan kesalahan, maka ia akan
mengakuinya dan tentunya siap bertanggungjawab atas kesalahannya. Sesungguhnya,
hilangnya rasa tanggungjawab, karena hilangnya pribadi yang jujur.
Setelah nilai kejujuran tertanam, lalu nilai
tanggungjawab juga tertanam, alur selanjutnya adalah menanamkan nilai
keberanian. Bahwa keberanian lahir dari kejujuran dan tanggungjawab. Bila jiwa
jujur dan bertanggungjawab, maka ia akan tampil menjadi pemberani yang
menyelamatkan hak atas kedzaliman.
Bahkan seorang da’i yang ditaqdirkan
menjalani hukuman penjara bukan karena kesalahannya menyatakan, “Orang yang
memiliki kejujuran dengan sendirinya telah menyelamatkan orang lain dari
tuduhan keji, pencemaran nama baik, bahkan bisa jadi hukuman yang dijatuhkan
tidak pada pelaku yang sebenarnya.”
Demikianlah alur pembangunan karakter kita.
Tanamkan pondasi nilai kejujuran, yang karenanya ia akan memiliki nilai
tanggungjawab atas segala yang diperbuat, sehingga ia memiliki nilai keberanian
dalam menyelamatkan kemanusiaan.
Oleh karena itu, jangan heran bila sekarang
kedzaliman merebak. Karena orang tak lagi memiliki Keberanian untuk membela
yang benar, hal itu disebabkan oleh hilangnya rasa Tanggungjawab sang pelaku
kesalahan, dan itu semua berpangkal dari hilangnya nilai-nilai Kejujuran dalam
diri kita.
Semoga, memasuki usia ke-71 Republik
Indonesia, segenap kader-kader Forum Lingkar Pena dapat semakin giat membangun
karakter ummat dan bangsa melalui pena-penanya. Bahwa di setiap karya harus
menjunjung nilai Kejujuran, lalu nilai Tanggungjawab, hingga kemudian nilai Keberanian.
Tentu nilai-nilai itu harus ditanamkan dalam
diri setiap kader FLP terlebih dahulu. Bila tidak memiliki nilai tersebut, maka
akan sulit menjunjung nilai-nilai itu dalam karya-karyanya.
Dan alurnya tetaplah demikian. Kejujuran
didahulukan sebelum Tanggungjawab dan Keberanian. Sebab bila Keberanian
didahulukan tanpa Kejujuran, maka akan lahir sikap-sikap Berani namun gagal
membela kemanusiaan. Lebih-lebih di era ‘manipulasi media’ yang marak
belakangan ini.
Selamat Kader FLP! Dirgahayu Republik
Indonesia! Teruslah komitmen mengikuti alur pembangunan karakter sebagaimana
yang diteladankan Rasulullah, semoga masa depan kita adalah keceriaan bersama.[]
KM 97, 14 Agustus 2015
Muhammad Irfan Abdul Aziz
Staff Divisi Kaderisasi BPP FLP
5 komentar:
Luar biasa Mas.
www.alimuakhir.com
hatur nuhun, kujungannya kang...
Saya pikir tulisan ini tenatng tips penulisan. Ternyata lebih dari sekadar itu
Bang Irfan keren banget lahh.. FLP banget ini mah tulisannya.. Kalau saya apaan aduh.. cuma tulisan hasil iseng.. XD
jadi malu sama mas Koko n mas Mahfuzh... mohon bimbingannya, mas...
Posting Komentar