Rabu, 17 Februari 2021

SEMANGAT BELAJAR DI MASA PANDEMI: Kesungguhan Muncul Bila Ada Niat yang Benar

Semangat Belajar di Masa Pandemi

 

< I >

Kita lanjut. Kali ini lebih dalam lagi, tentang dasar wujudnya kesungguhan: itulah niat. Sejauh dan setinggi niat kita, maka sejauh dan setinggi itu pula napas kesungguhan kita. Sebenar niat kita, sebaik itu pula kesungguhan kita. Maka, sekarang kita renungkan perkara niat ini. Niat dalam belajar bagi murid, niat dalam menyekolahkan anak bagi orang tua atau wali murid, dan niat dalam mengajar bagi guru.

Mari kita sederhanakan pembahasannya pada dua hal: hal yang penting menjadi niat kita dan tanda kebenaran niat kita. Syeikh Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim setidaknya membimbing kita untuk menjaga dua niat ini: Niat untuk mendapatkan Ridha Allah dan Niat untuk Bersyukur kepada Allah. Adapun kualitas niatnya, beliau juga menyampaikan, bahwa itu dapat diidentifikasi melalui tampilan diri yang tampak. Dalam hal ini tentunya tampilan yang tampak pada diri seorang murid.

 dasar wujudnya kesungguhan: itulah niat

< II >

Sekarang kita seksamai dahulu dua hal yang perlu menjadi niat kita tersebut. Apa yang dipesankan oleh Imam Az Zarnuji?

Pertama, pesan beliau: “Niat seorang murid dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan dirinya dan orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam akan tetap lestari dengan (umatnya yang) berilmu.

Sudahkah niat untuk diridhai Allah itu kita tanamkan pada anak kita, dan tentunya pada diri kita dahulu? Benarkah kita menyekolahkan anak kita untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat, atau sama sekali tak sempat terpikirkan perkara kebahagiaan di akhirat itu? Sudahkah kita sampaikan ke anak kita, bahwa sukses belajarnya kelak diharapkan dapat membimbing keluarganya dari kebodohan. Membimbing kita orang tuanya, membimbing kakak dan adiknya, juga membimbing orang-orang di lingkungan keluarganya. Adakah usaha kita menghidupkan suasana Islam dalam rumah kita? Bagaimana anak kita akan memiliki niat belajar untuk menghidupkan agama bila di rumah tak tumbuh semangat menghidupkan Islam?

Kedua, pesan beliau: “Dan (dalam menuntut ilmu) hendaknya diniatkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan, tidak meniatkannya untuk dihormati masyarakat, dan tidak untuk mendapatkan harta dunia, juga kehormatan di hadapan pemimpin dan selainnya.

Sudahkah kita menyadarkan anak kita, bahwa sekolahnya dalam rangka bersyukur atas nikmat akal yang telah Allah berikan kepadanya? Dan benarkah kita telah mensyukuri kesempurnaan akal pada anak kita? Atau yang ada justru kufur akan nikmat itu, bahkan hingga mudah melontarkan ‘dasar bodoh’ atau ‘dasar malas’ dan sebagainya? Ketidakterimaan kita, sekecil apapun itu, sesungguhnya merupakan sebentuk ingkar pada nikmat Allah. Sempurnanya Akal dan Primanya Badan pada anak hendaknya kita syukuri, minimalnya tanpa buruk sangka pada segala proses belajar anak. Apakah itu dalam menyikapi kegagalan atau keterbatasan atau keterlambatan pada diri anak kita. Dan penting dicamkan, jangan kita sekolahkan anak untuk mendapatkan kehormatan di tengah masyarakat, biasanya perkara ini dimulai dengan kecenderungan membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya di lingkungan masyarakat kita.

Ketidakterimaan kita, sekecil apapun itu, sesungguhnya merupakan sebentuk ingkar pada nikmat Allah. Sempurnanya Akal dan Primanya Badan pada anak hendaknya kita syukuri, minimalnya tanpa buruk sangka pada segala proses belajar anak.

 

< III >

Selesai merenungi niat tersebut, kini yang perlu pula kita pahami adalah tanda benarnya niat kita dan anak kita. Tentu kita ingin niat kita tetap dalam kerangka yang benar, dan tentu untuk memastikan ia dalam kerangka yang benar perlu bagi kita untuk dapat mengenali kualitasnya.

Imam Az Zarnuji menyampaikan gambarannya dengan mengutipkan syair yang disampaikan oleh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Ash Shofar al Anshori. “Dan siapa yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka ia tidak akan tertarik terhadap apa yang ada pada manusia. Syeikh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Ash Shofar al Anshori membacakan syair kepada Abu Hanifah rahimahullah ta’ala: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, akan mendapatkan anugerah petunjuk kebenaran. Dan kerugian bagi penuntut ilmu, (yang belajar) untuk mendapatkan kemuliaan dari masyarakat.

Darinya kita dipahamkan, bahwa niat yang benar akan membuat kita menikmati yang kita lakukan. Bila benar niat belajarnya, maka akan menikmati belajarnya. Dan niat belajar yang tadi kita canangkan untuk kebahagiaan di akhirat, sesungguhnya akan mengantarkan petunjuk kebenaran kepada pelajar tersebut. Artinya, bila belum kunjung hadir petunjuk kebenaran itu, maka telisiklah kembali niat kita dan niat anak kita.

Petunjuk kebenaran itu dalam tampilannya berupa kenikmatan terhadap ilmu. Sudahkah kita menikmati ilmu? Sudahkah anak kita menikmati belajar? Sudahkah kita menikmati menemani anak belajar? Sudahkah kita menikmati setiap harta yang keluar untuk membeli kuota belajar, membeli buku, membeli alat tulis, dan membayar SPP sekolah? Atau kita belum menikmatinya, belum tergerak beramal dari ilmu yang kita pahami? Bahkan kenikmatan kita pada ilmu masih mudah terkecoh dengan kenikmatan yang melekat pada orang lain, pada tetangga kita, pada teman kita, pada saudara kita? Maka telisiklah niat-niat kita.

Wallahu a’lam bishshowwab.

 

Sudahkah kita menikmati menemani anak belajar? Sudahkah kita menikmati setiap harta yang keluar untuk membeli kuota belajar, membeli buku, membeli alat tulis, dan membayar SPP sekolah?

 

[bersambung]


Tidak ada komentar: