Selasa, 16 Februari 2021

SEMANGAT BELAJAR DI MASA PANDEMI: Semangat Muncul Bila Ada Kesungguhan

Semangat Belajar di Masa Pandemi

 

< I >

Mari kita lanjutkan perbincangan tentang semangat belajar di masa pandemi. Bahwa semangat yang terkait suasana hati itu, hanya akan muncul bila ada kesungguhan. Maka, sekarang kita bincangkan tentang kesungguhan. Kesungguhan seperti apa yang diperlukan? Kesungguhan pada siapa saja yang dikehendaki?

Baiklah. Kita coba seksamai dahulu penggalan kalimat dalam kitab Ta’lim Muta’allim. “Dengan kadar kesulitan usahamu, kamu akan mendapatkan apa yang kamu dambakan. Dikatakan, dalam belajar dan memperdalam ilmu itu diperlukan kesungguhan dari tiga orang: penuntut ilmu (murid), ustadz (guru), dan ayah bila masih hidup.”

Apa yang menghenyakkan kesadaran kita dari penggalan kalimat itu? Syeikh Az Zarnuji hendak membangunkan kesadaran itu. Rupanya, dalam belajar tak cukup kesungguhan seorang murid. Perlu kesungguhan guru, bahkan perlu kesungguhan ayah bila masih hidup. Tapi menurut saya, sosok ayah adalah simbolis dari orang tua maupun wali. Artinya, tanggungjawab kesungguhan itu bukan hanya pada ayah, tapi juga pada ibunya maupun wali di sekitarnya. Sehingga, bila pun ayah telah tiada, maka pendidikan anak perlu kesungguhan ibunya ataupun walinya.

Rupanya, dalam belajar tak cukup kesungguhan seorang murid. Perlu kesungguhan guru, bahkan perlu kesungguhan ayah bila masih hidup.

 

Semangat Belajar di Masa Pandemi

< II >

Baik. Setelah kita menyadari beban kesungguhan itu ada pada 3 orang itu, maka selanjutnya kita pahami 6 perkara untuk mendapatkan ilmu. Masih dalam kitab Ta’lim Muta’allim, sebuah kalimat hikmah menyebutkan: “Kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara, yaitu Kecerdasan, Semangat, Kesabaran, Perbekalan, Bimbingan Guru dan Waktu yang Panjang.” Nah, pada keenam perkara itulah dihajatkan kesungguhan dari kita.

Kita harus sungguh-sungguh merawat tumbuh-berkembangnya kecerdasan anak yang sedang belajar, tentu dengan mulai mengenali kecerdasan anak kita yang saat ini sedang belajar. Apakah anak kita memiliki potensi kecerdasan bahasa, atau kecerdasan logika, atau kecerdasan gerak raga, atau kecerdasan visual, atau kecerdasan musikal, atau kecerdasan natural, atau kecerdasan bersosial, dan sebagainya. Setelah kita mengenali potensi kecerdasan itu, maka berikutnya kita merawat tumbuh-berkembangnya dengan penyaluran bakat dan minat sesuai potensi kecerdasan anak kita. Termasuk dalam hal ini adalah mengkomunikasikan potensi anak dari orang tua ke guru, atau dari guru ke orang tua, atau dari orang tua dan guru ke anak, bahkan mungkin dari anak itu sendiri yang menyampaikan potensi dirinya. Inilah wujud kesungguhan merawat kecerdasan. Selain tentunya dalam hal menjaga asupan otak anak, baik dari sisi nutrisi maupun interaksi. Bahwa otak anak harus lebih banyak menyerap nutrisi yang baik dan interaksi yang positif.

otak anak harus lebih banyak menyerap nutrisi yang baik dan interaksi yang positif

 

Kita juga harus sungguh-sungguh merawat semangat, terutama semangat anak, dan diimbangi dengan semangat orang tua dan guru. Ada ungkapan menarik dari seorang Syaikhul Azhar asal Tunisia yaitu Syeikh Muhammad Al Hadhar Husain rahimahullah, “Pada hakikatnya, penderitaan yang dialami oleh orang yang bersemangat adalah kesenangan. Sebaliknya kesenangan yang dinikmati oleh orang yang bercita-cita rendah adalah nestapa.” Apa yang bisa kita tangkap? Semangat itu seiring tingginya cita-cita. Jadi, bila ingin anak bersemangat, pastikan ia punya cita-cita yang tinggi. Tentu juga, pastikan orang tua atau walinya dan gurunya punya cita-cita yang tingga untuk anak tersebut. Dan ukuran semangat menurut Syeikhul Azhar tersebut sederhana saja, bila penderitaan itu dirasa menyenangkan maka itulah tanda adanya semangat. Sebaliknya bila selalu merasa nestapa bahkan bilapun sesungguhnya ada kesenangan, maka itu tanda tiadanya cita-cita. Jadi, merawat semangat itu dengan merawat cita-cita. Masihkah kita punya harapan pada anak tersebut? Dan untuk memastikan anak punya semangat lihatlah caranya menikmati kesulitan-kesulitan belajar, bila dia merasa senang maka artinya ia telah punya semangat.

bila ingin anak bersemangat, pastikan ia punya cita-cita yang tinggi. Tentu juga, pastikan orang tua atau walinya dan gurunya punya cita-cita yang tingga untuk anak tersebut.

Selanjutnya kita harus sungguh-sungguh merawat kesabaran. Karena tak akan ada hasil kebaikan yang akan kita dapatkan bila tanpa adanya kesabaran. Kebaikan hanya akan diraih dengan kesabaran. Jadi, pastikan kita sabar mendampingi proses belajar anak, sehingga anak pun sabar menjalani prosesnya. Sebab, banyak kesabaran yang akhirnya pudar karena ketidak-sabaran lingkungan sekitarnya. 

pastikan kita sabar mendampingi proses belajar anak, sehingga anak pun sabar menjalani prosesnya.

Yang keempat adalah perlunya kesungguhan menyiapkan perbekalan. Apa saja perbekalannya? Di antaranya tentu yang terkait materi; baik itu biaya maupun perlengkapan. Selama kita hidup di alam materi dunia ini, perbekalan materi memang tak bisa dikesampingkan. Tapi yakinlah, bahwa sesungguhnya yang akan menggenapi perbekalan kita adalah Allah. Tinggal kita pastikan diri kita layak mendapatkan penggenapan dari Allah. Kelayakan yang dibuktikan dengan kesungguhan usaha dan keyakinan pada-Nya. Hari ini, tentu perbekalan yang paling dibutuhkan terkait kuota internet. Selain kebutuhan lainnya secara umum semacam buku pelajaran dan alat tulis. Sebab, bagaimana akan mendapatkan ilmu bila buku dan alat tulis pun tak ada. Maka, anak yang sedang belajar, mesti disadarkan untuk sungguh-sungguh merawat bekalnya berupa kuota, buku dan alat tulis. Jangan sia-siakan bekal kuota untuk game, jangan biarkan buku dan alat tulis tak terawat.

anak yang sedang belajar, mesti disadarkan untuk sungguh-sungguh merawat bekalnya berupa kuota, buku dan alat tulis

Yang kelima adalah perlunya kesungguhan mendapatkan bimbingan guru, ini juga niscaya. Sebab dalam adab menuntut ilmu dalam Islam, kita tetap menghajatkan bimbingan guru. Buku mungkin bisa menambah ilmu anak kita, namun guru yang dapat memberikan hikmah atas ilmu yang bertambah pada anak kita. Tentang interaksi terhadap ilmu dan pemanfaatan ilmu, itu hanya bisa didapat dari guru yang memang telah berinteraksi dengan ilmu tersebut dan memanfaatkannya. Nah, untuk mendapatkan bimbingan guru ini memang perlu kesungguhan dari murid, orang tuanya dan guru sendiri. Murid harus sungguh-sungguh menunjukkan kesungguhannya di hadapan guru, agar guru akhirnya mau membimbingnya. Orang tua atau walinya pun demikian, bersungguh-sungguh menyerahkan anaknya untuk mendapatkan bimbingan guru. Begitupun guru sendiri, hendaknya sungguh-sungguh memastikan interaksi dirinya dengan murid sebagai wujud bimbingan.

Murid harus sungguh-sungguh menunjukkan kesungguhannya di hadapan guru, agar guru akhirnya mau membimbingnya. Orang tua atau walinya pun demikian, bersungguh-sungguh menyerahkan anaknya untuk mendapatkan bimbingan guru.

Adapun yang terakhir adalah kesungguhan menjalani waktu yang panjang. Bahwa proses belajar memang memerlukan waktu yang panjang. Tentu panjangnya sangat relatif, tetapi intinya perlu proses waktu. Maka masing-masing kita, para murid, orang tua, dan guru, harus sungguh-sungguh menyadari perlunya proses waktu ini. Lalu bersungguh-sungguh menjalani prosesnya.

masing-masing kita, para murid, orang tua, dan guru, harus sungguh-sungguh menyadari perlunya proses waktu

< III >

Saya ingin menutup pembahasan tentang kesungguhan pada enam hal yang akan membantu capaian ilmu pada seorang anak tersebut dengan membangunkan dua kesadaran: Peran Orang Tua dan Pengaruh Teman. Dua hal inilah yang akhirnya menjadi faktor penentu, dan hari ini dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh atau Belajar dari Rumah, Allah seakan sedang menguji kita terkait dua hal tersebut. Sudahkah ada peran orang tua? Bagaimanakah pengaruh teman?

Terkait peran orang tua kita masuk dari hadits Rasulullah yang menyatakan, “Setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Alhamdulillah saat ini anak-anak kita masih beragama Islam. Tapi, sesungguhnya lebih dalam lagi sabda Rasulullah ini juga bermakna pada segala hal pada anak kita, termasuk terkait enam hal tadi. Bahwa anak kita tak akan bisa sungguh-sungguh menjaga kecerdasannya, menjaga semangatnya, menjaga kesabarannya, menjaga perbekalannya, menjaga dirinya tetap dalam bimbingan guru, dan menjaga proses yang panjang, bila kita sebagai orang tuanya tak bisa menjaga keenam itu ada pada diri anak kita. Karena sesungguhnya enam hal itu adalah fitrah. Jangan harap anak tetap cerdas bila kita tak peduli pada kecerdasannya. Jangan harap anak tetap semangat, bila kita tak semangat. Jangan harap anak tetap sabar, bila kita tak sabar. Jangan harap anak menjaga perbekalannya, bila kita tak apik menyiapkan perbekalannya. Jangan harap anak menghormati guru, kalau kita tak menghormati gurunya. Jangan harap anak menikmati proses, kalau kita justru mengejar hasil. Dan hari ini, Allah menguji kita dengan belajarnya anak di rumah. Bahwa Allah ingin memastikan kita para orang tua sungguh-sungguh menjaga kefitrahan anak tersebut.

hari ini, Allah menguji kita dengan belajarnya anak di rumah. Bahwa Allah ingin memastikan kita para orang tua sungguh-sungguh menjaga kefitrahan anak tersebut

Lalu, terkait pengaruh teman, Syeikh Az Zarnuji melalui kitab Ta’lim Muta’allim-nya mengingatkan: “Seorang murid harus memilih atau berteman dengan orang yang tekun belajar, bersifat wara’ (tidak cinta dunia), dan berwatak istiqomah, serta suka memahami al Qur’an dan hadits. Ia harus menjauhi teman yang malas, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah." Keenam hal yang menjadi syarat mendapatkan ilmu tadi bisa rusak dengan adanya pengaruh teman yang rusak. Dan memilihkan teman ini menjadi tanggung jawab orang tua, terlebih saat ini kita belajar dari rumah. Di satu sisi mungkin karunia, karena pertemanan anak lebih terkontrol di rumah. Berbeda dengan saat di sekolah, selama perjalan pergi dan pulang sekolah, yang interaksi pertemanan tak tampak oleh orang tua. Namun sisi lain juga menjadi tantangan tersendiri, karena banyaknya waktu di rumah membuka pertemanan-pertemanan baru di lingkungannya. Namun sekali lagi, yakini ini cara Allah menguji kualitas kita sebagai orang tua. Mampukah kita memperkenalkan anak-anak kita dengan teman-teman yang baik?
yakini ini cara Allah menguji kualitas kita sebagai orang tua

 

Bismillah. Tetap memohon kepada-Nya, dan teruslah berusaha. Akhirnya, Allah yang akan mencatat pahala setiap usaha kita mendidik anak-anak kita. Pahala yang akan menyelamatkan kita di akhirat-Nya.

 

[bersambung]


Tidak ada komentar: