Sabtu, 04 Februari 2017

(Kajian Hadits) PETA JALAN MUSLIM; SETELAH TENTUKAN TUJUAN, SEGERA PIKIRKAN AKHIRNYA


عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: "إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا." (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga  maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Ini yang selanjutnya. Memikirkan akhir dari perjalanan kehidupan kita. Bahwa di hadits pertama kita telah dibimbing menetapkan tujuan, bahwa semua amal itu memiliki niat yang ditujunya sehingga setiap amal tergantung padanya. Lalu di hadits kedua kita dibimbing untuk menata ulang pondasi-pondasi amal dan segala bangunan hukum kehidupan, yaitu terkait perspektif tentang Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat. Pada hadits ketiga secara khusus bangunan keislaman kita ditata ulang dengan merekonstruksi perspektif rukun Islam, karena darinyalah semua hukum Islam akan diturunkan. Kini setelah tujuannya tertata dan pondasinya terekonstruksi ulang, maka kita dikenalkan pada peta jalan kehidupan, sejak kelahiran hingga kematian beserta segala ketetapan-ketetapannya.

Bahwa agama ini sangat menekankan pada keseimbangan. Maka bila ada kaedah yang mengatakan bahwa amal itu tergantung pada niat awalnya, sesungguhnya ada pula kaedah yang menyeimbangkan bahwa amal itu tergantung pada akhirnya. Dan inilah yang ditekankan oleh Imam at Tirmidzi terkait hadits ini ketika meletakkannya dalam kitab ‘Ketetapan (al Qadar)’ pada bab ‘Amal Itu Tergantung Akhirnya’. Selain Imam At Tirmidzi, Imam Muslim juga meletakkan pada kitab ‘Al Qadar’, namun dengan judul bab ‘Bagaimana Penciptaan Manusia?’ Abu Dawud dan Ibnu Majah juga menekankan poin al Qadar dalam hadits ini, sehingga Abu Dawud meletakkan dalam Sunan-nya pada kitab ‘as Sunnah’ dengan bab ‘al Qadar’, sedangkan Ibnu Majah meletakkannya dalam Muqoddimah Sunnan-nya dengan bab ‘Al Qadar’. Yang berbeda adalah Imam Bukhari, sebab beliau tetap menekankan hal yang menjadi tema utama hadits ini yaitu penciptaan manusia. Maka beliau mencantumkannya dalam kitab ‘Asal Penciptaan’, namun dimasukkan dalam tiga bab berbeda yaitu bab ‘Ucapan Malaikat’, bab ‘al Qadar’ dan bab ‘Nabi-Nabi’. Karena dalam hadits ini memuat ucapan malaikat ketika meniupkan ruh dan menyampaikan ketetapan-ketetapan bagi manusia, juga memuat ketetapan taqdir bagi manusia, serta memuat pesan tersirat tentang kondisi manusia yang hakikatnya adalah objek dakwah para Nabi.

Baik, kita kembali kepada kaedah-kaedah amal tadi. Bahwa ketika kita membaca hadits keempat ini, seakan kita disadarkan agar setelah menetapkan tujuan hendaknya kita segera memikirkan akhirnya. Sebab amal selain tergantung pada niatnya, juga ditentukan sesuai pada akhirnya. Bila tujuan kehidupan kita adalah mendapatkan ridho Allah, maka hendaknya kita mulai memikirkan akhir kehidupan kita saat bertemu dengan Allah. Karena itulah yang membuat amalan kita sempurna pada mulanya dan pada akhirnya. Karena dengan cara memikirkan akhir dari kehidupan kita, niatan tujuan yang telah kita rajut di muka akan terjaga. Dan kiranya, ini pula yang sekarang banyak dilakukan dalam dunia-dunia manajemen dan perencanaan. Roadmap atau peta jalan itu terkait dengan tujuan yang ditetapkan dan akhir yang digambarkan.

Maka hadits ini bisa dikatakan sebagai peta jalan kehidupan kita. Karena peta jalan, maka poin-poinnya sedikit detail. Dan karena detail itulah, sebagiannya mungkin masih ghaib atau samar bagi kita. Menyampaikan sesuatu yang ghaib dan samar seperti ini, tentu menjadi ujian tersendiri bagi Rasulullah dan sahabat ketika mendistribusikan hadits ini ke khalayak masyarakat yang secara keilmuan belum berkembang hingga mengenali aspek-aspek yang tak tampak luar dari diri manusia.

Oleh karenanya, kita bisa sedikit paham kenapa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits ini merasa perlu menambahkan keterangan setelah menyebut nama Rasulullah dengan istilah ‘ash Shodiq al Mashduq’, yang benar dan membenarkan. Sebab sabda Rasulullah yang akan disampaikannya ini merupakan hal-hal ghaib yang belum dikenali oleh masyarakat pada saat itu. Tentang pertumbuhan janin, bahkan tentang ketetapan akhir bagi setiap manusia. Maka kepada yang menyimak hadits ini perlu diingatkan dahulu bahwa Rasulullah itu adalah sosok yang benar dan membenarkan, sehingga apa yang diterima dari Rasulullah hendaknya kita yakini sebagai kebenaran. Sebab Rasulullah benar perkataannya, dan membenarkan perkataan yang ia terima dari Rabb-nya yaitu al Qur’an. Seakan diingatkan bahwa selain Rasulullah adalah figur yang jujur, sesungguhnya semua yang ia sampaikan berasal dari wahyu Allah. Maka informasi tentang pertumbuhan janin dan ketetapan-ketetapan akhir bagi manusia ini pun sumbernya dari Allah azza wa jalla.

Ada dua poin yang perlu kita dalami terkait dengan peta jalan yang sejatinya kita jalani dalam kehidupan ini. Pertama adalah perkara Proses Penciptaan Kita. Kedua adalah perkara Ketetapan Bagi Kita.

Proses Penciptaan Kita

Ada tiga hal yang hendaknya kita selami terkait proses penciptaan manusia. Pertama tentang Janin. Kedua tentang Ruh. Ketiga tentang Hukum terhadap Janin.

Janin itu pertumbuhan yang paling pentingnya ada pada 120 hari pertama. Dari 120 hari itu, pertumbuhannya dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama adalah 40 hari yang mana masih berupa air mani. Tahapan kedua adalah 40 hari yang mana sudah menggumpal sebagai darah. Tahapan ketiga adalah 40 hari yang mana sudah menjadi gumpalan daging. Jadi selama 120 hari itu adalah proses fisik dari yang mulanya cair menjadi padat.

Proses ini harus kita pahami dengan baik agar kita betul-betul yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala kehendak-Nya. Agar kita kelak tidak bertanya-tanya tentang kemungkinan dibangkitkan dari kubur, sebab pada mulanya kita pun tidak ada lalu diproses menjadi ada hingga mewujud fisik manusia yang utuh. Lalu, bila hanya sekadar membangkitkan fisik yang sudah ada di dalam kubur, tentu itu lebih mudah bagi Allah subhanahu wata’ala. Dan itulah yang diisyaratkan dalam surat Al Hajj ayat 5.

Proses ini juga harusnya kita pahami dengan baik agar kita mengetahui bahwa selalu ada hikmah dari setiap proses. Bukan mustahil bagi Allah untuk menciptakan manusia sekali jadi tanpa proses yang panjang. Tapi Allah subhanahu wata’ala adalah penguasa alam semesta, Allah menciptakan seluruh alam dan isinya, bukan hanya menciptakan manusia. Maka penciptaan manusia juga harus diselaraskan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Agar ada keseimbangan. Dan itulah hikmah sebuah proses, yaitu untuk menghadirkan keseimbangan. Sebab yang tidak berproses, hasilnya akan kurang seimbang. Itulah hukum alam, hukum penciptaan. Terkait proses ini ada paparan yang lebih detail lagi pada surat al Mu’minun ayat 12 sampai 14. Yang disimpulkan oleh Ibnu Abbas sebagai 7 proses penciptaan manusia: sari pati dari tanah, air mani, segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, tulang berbungkus daging, dan tubuh.

Ruh itu hadir setelah proses 120 hari pertama tadi. Menurut Imam An Nawawi dalam Syarh Muslim, bahwa ruh itu berupa jasad yang halus, kira-kira seperti arsiran tubuh manusia yang kemudian dilekatkan ke fisik padatnya. Sementara Imam al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa ruh itu berupa atom yang kecil namun menjadi inti energi kehidupan sesosok manusia. Tapi jawaban sederhana yang dianjurkan oleh Allah subhanahu wata’ala adalah seperti dalam firman-Nya di surat al Isra’ ayat 85, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” Ada satu hal lagi yang hendaknya kita pahami, bahwa bersamaan dengan ditiupkan atau dilekatkan ruh inilah ketetapan akan empat hal inti bagi kehidupan manusia juga disematkan. Empat hal inti tersebut adalah Rezeki, Ajal, Amal, serta nasib Kebahagiaan atau Kesedihan.

Hal ini harus kita pahami dengan baik agar kita mengerti kenapa ada hukum iddah bagi seorang perempuan yang ditinggal suaminya. Hukum iddah itu menetapkan rentang masa menunggu sampai 4 bulan 10 hari, baru kemudian boleh menikah lagi. Sebab proses menghidupkan janin ada pada masa setelah 120 hari atau 4 bulan. Lewat-lewatnya hitungan manusia maka diantisipasi dengan menambahkan 10 hari. Sehingga dapat dipastikan sebelum seorang perempuan menikah lagi, bahwa di rahimnya terdapat janin yang hidup atau tidak. Agar jelas bahwa janin yang kelak dikandungnya itu adalah benih dari suami yang baru atau suami yang lama.

Hal ini juga harus kita pahami dengan baik agar kita mengerti kenapa dalam kehidupan manusia hal yang mendasar dalam segala proses hidupnya berkaitan dengan 4 hal tersebut. Manusia selalu menimbang semua langkah hidupnya dengan dampak rezeki baginya atau keberadaan rezeki padanya. Manusia selalu menimbang semua langkah hidupnya dengan mereka-reka ajal baginya. Manusia selalu menimbang semua langkah hidupnya dengan produktivitas amal. Manusia selalu menimbang semua langkah hidupnya dengan pertimbangan kebahagiaan dan kesedihan. Hampir semua dimensi kehidupannya tidak bisa lepas dari pertimbangan rezeki, ajal, amal serta kebahagiaan atau kesedihan. Rezeki adalah perkara sumber daya, ajal adalah perkara orientasi, amal adalah perkara kemauan dan kemampuan, serta kebahagiaan atau kesedihan adalah perkara suasana batin. Maka bila kita amati para motivator yang berusaha memotivasi manusia, selalu menyentuh empat hal itu atau salah satunya.

Adapun terkait hukum terhadap janin, maka ulama bersepakat bahwa aborsi itu hukumnya haram. Sebab sama dengan membunuh janin. Baik janin yang meninggal sebelum keluar maupun yang meninggal setelah keluar dari rahim, tetap dikenakan denda (diyat). Meskipun ada yang berpendapat bahwa janin bayi yang meninggal sebelum keluar dendanya lebih ringan daripada janin bayi yang meninggal setelah keluar. Hukum ini berlaku juga bilapun belum ditiupkan ruh padanya, sebab hakikatnya ciptaan sosok manusia itu telah berbentuk. Sebab ada sabda Rasulullah yang diriwayatkan Hudzaifah bin Usaid, “Jika air mani telah melewati 42 malam –dalam riwayat lain 41 malam- maka Allah telah mengutus malaikat lantas membentuk rupanya, menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, serta tulangnya.” Sebagaimana membuat sketsa, dibuat sebelum membangun dan membentuk sesuatu.

Ketetapan Bagi Kita

Ada dua hal yang hendaknya kita selami terkait ketetapan bagi kita. Pertama tentang Ilmu Allah. Kedua tentang Nilai atas Pilihan.

Ilmu Allah itu mencakup segala hal di jagat raya ciptaan-Nya, baik yang terindera maupun tak terindera oleh makhluk-Nya, begitupun yang lampau maupun yang akan hadir di masa depan. Allah Maha Mengetahui, sebab Dia-lah Sang Pencipta segalanya.

Menyikapi tentang ketetapan Allah subhanahu wata’ala bagi kita terkait nasib rezeki, ajal, bahkan amal yang akan kita lakukan, termasuk nasib bahagia maupun kedukaan kita dalam menjalani kehidupan, maka yang perlu ditekankan bahwa sesungguhnya semua itu bagian dari Ilmu Allah. Bahwa semua itu telah Allah ketahui dan Allah kehendaki bagi kita. Apapun kehendak Allah, maka itu baik bagi kita. Itulah sikap dasar kita. Itulah iman kita akan qadar-Nya.

Maka tak selayaknya ada kemurkaan kita atas ketetapan-Nya yang berlaku bagi kita. Sejatinya yang harus hadir dalam seluruh perasaan kita adalah rasa ridho atas segala ketetapan tersebut. Begitulah sikap yang lahir dari pengakuan akan kuasa Ilmu Allah.

Sementara nilai atas pilihan itu adalah standar perhitungan Allah atas diri kita. Bahwa bukan ketetapan-Nya atas diri kita itu yang akan mendapatkan penilaian, sebab kita sama sekali tak punya kuasa atas penentuan ketetapan tersebut. Namun sesungguhnya yang dinilai dari diri kita adalah cara kita memilih respon atas segala ketetapan itu, sebab kita punya kuasa untuk memilih cara merespon. Pada pilihan yang kita kuasa atasnya itulah akan dihitung penilaiannya. Dan sesungguhnya inilah seadil-adilnya penilaian Allah subhanahu wata’ala.

Begitupun menyikapi tentang ketetapan Allah subhanahu wata’ala terkait nasib kebaikan dan keburukan amal kita di dunia maupun nasib di akhirat kelak. Dahulu seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Bila telah ditetapkan akan buruk nasib kita di akhirat kelak, lalu kenapa pula kita beramal?” Jawaban Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kala itu sederhana saja, beliau sitir ayat ke 5 dan 6 dari surat al Lail, “Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga).” Sebab mereka yang meyakini adanya pembalasan, maka tak ada alasan untuk tidak beramal sholih.

Bahwa takdir yang kita tak punya kuasa memilihnya seperti tempat kelahiran dan orang tua kita, maka kita tak akan mendapatkan penilaian terkaitnya. Perhitungan Allah hanya diberlakukan kepada sesuatu yang kita memiliki kuasa untuk memilih. Toh, meskipun ada ketetapan-Nya bagi masa depan kita, tetap saja kita tak mengetahuinya. Maka tidak ada alasan untuk tak berusaha mengambil sikap dan tindakan yang akan mengantarkan kita pada kebaikan. Lagi pula, ketetapan-Nya untuk masa depan kita masih mungkin diubah dengan doa dan usaha kita. Justru di situlah ujiannya!

Akhirnya kita paham kenapa Rasulullah mengajarkan sebuah doa, “Wahai yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku pada agama-Mu.” Sebab peta jalan hidup kita memang telah ditetapkan-Nya. Namun tak satupun kita mengetahui secara pasti akan ketetapan bagi masa depan kita tersebut. Bahwa kita tahu adanya ketetapan baik dan ketetapan buruk bagi setiap hamba-Nya, maka meskipun kita merasa telah baik hendaknya tetap menyimpan rasa khawatir akan ketetapan buruk yang belum kita ketahui, sehingga kita selalu menjaga kebaikan dan berdoa agar diteguhkan dalam kebaikan hingga akhirnya. Begitupun sebaliknya, meskipun kita sedang terjerat keburukan hendaknya tetap menyimpan optimisme bahwa sangat mungkin ada ketetapan baik bagi kita kelak, sehingga kita selalu berusaha memperbaiki dan berdoa agar mendapatkan kebaikan pada akhirnya.

Husnul khatimah, akhir yang baik, itulah harapan kita semua. Dengan mengetahui akan adanya dua kemungkinan nasib akhir bagi kita, maka seharusnya meningkatkan semangat dan komitmen kita untuk selalu menuju kebaikan dan berada dalam kebaikan tersebut hingga hanya kebaikan yang layak mengakhiri kehidupan kita. Inilah ujian sesungguhnya, mengambil keputusan bagi peta jalan hidup kita di antara kemungkinan baik dan buruknya. Pada pilihan keputusan itulah akan ada nilai imbalan bagi kita. Sungguh, Maha Adil Allah azza wa jalla.



Jakarta, 3 Februari 2017

Tidak ada komentar: