Rabu, 08 Februari 2017

(Kajian Hadits) KESADARAN BERAGAMA SEPERTI INI YANG HENDAKNYA SELALU KITA TUMBUHKAN


عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: "مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ." [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ]

Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak.” [Riwayat Bukhori dan Muslim, dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.]


Sekarang kita mengulas tentang kesadaran beragama. Hadits ini diriwayatkan oleh ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Terdapat di Shohih Bukhari pada kitab Perdamaian, dengan nama bab ‘Jika Mereka-reka Kebohongan di Atas Kebaikan yang Menyimpang Maka Kebaikan Itu Tertolak’. Terdapat pula di Shohih Muslim pada kitab Pengorbanan, dengan nama bab ‘Batalnya Hukum yang Berasal dari Sesuatu yang Baru’.

Orang banyak mengatakan bahwa hadits ini titik tekannya pada hal bid’ah. Namun Imam Bukhori seakan ingin menampilkan bahwa perkara bid’ah atau yang diada-adakan tersebut sering kali adanya pada saat-saat perjanjian dan perdamaian, sebab ada pembelaan-pembelaan yang sering dibumbui dengan dalih-dalih pribadi. Adapun Imam Muslim menampilkannya untuk perkara-perkara baru yang sering kali liar tak berdalih.

Hadits ini juga terdapat dalam Sunan Abu Dawud pada kitab Sunnah, dengan nama bab ‘Komitmen terhadap Sunnah’. Sementara Ibnu Majah meletakkannya dalam Muqaddimah Sunan-nya, seakan merupakan hal penting yang hendaknya dipahami pada mula-mula pembelajaran agama kita.

Hadits ini istimewa bukan saja karena yang meriwayatkannya adalah orang terdekat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yaitu istri tersayang beliau. Namun, kalau kita ingat dengan keutamaan hadits tentang niat karena menjadi pangkal selamatnya urusan batin manusia, maka hadits ini adalah penyeimbangnya karena menjadi pangkal selamatnya urusan zahir manusia. Semua amalan-amalan hati akan selamat bila selamat niatnya. Begitupun semua amalan-amalan fisik akan selamat bila selamat dari bid’ah.

Menariknya pula, Imam Nawawi meletakkan hadits ini di urutan kelima. Sebab empat hadits sebelumnya membereskan fondasi-fondasi pribadi Muslim. Selanjutnya pribadi muslim yang telah kokoh tersebut akan bergerak dengan amalan-amalan yang dituntunkan oleh agama ini. Namun sebelum menyelami satu-persatu tuntunan amal tersebut, Imam Nawawi ingin mengingatkan kita tentang potensi-potensi bid’ah yang mengancam rusaknya nilai-nilai amal kita. Maka dengan hadits ini, hakikatnya kita diingatkan akan pentingnya kesadaran beragama.

Ibnu Hajar al Haitsami sendiri telah menyatakan tentang hadits ini. Bahwasannya hadits ini merupakan kaedah dari kaedah-kaedah Islam yang memiliki manfaat yang banyak terkait tujuan-tujuannya. Dan bila kita menyelami hadits ini, maka kita akan menemukan salah satu tujuan dasar dari kaedah tentang bid’ah ini adalah tumbuhnya kesadaran beragama.

Bukankah kesadaran beragama memiliki banyak manfaat dalam perjalanan kehidupan kita. Bukankah dengan kesadaran beragama maka kita akan menjalani kehidupan dengan selamat? Bukankah dengan kesadaran beragama maka kita akan mampu memilah hukum-hukum amal beragama sehingga terhindar dari perkara-perkara bid’ah? Maka hadits ini sebagaimana kata Ibnu Hajar al Haitsami, “Merupakan titik tolak dasar bagi hukum syariat.” Mereka yang ingin memahami hukum syariat, maka mulailah dengan hadits ini. Mereka yang ingin membangun kesadaran beragama, maka mulailah dengan hadits ini.

Sebelum kita menyelami perkara amal-amal bid’ah, mari kita seksamai beberapa korelasi firman Allah dan sabda Rasul terkait hadits ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 31, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Begitupun dalam surat Al An’am ayat 153 telah difirmankan, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.

Adapun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga sering mengawali khutbah-khutbah beliau dengan pernyataan, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan seburuk-buruk urusan adalah hal yang baru, dan setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan seluruh kesesatan di neraka.

Dengan firman Allah dan sabda Rasulullah lainnya itu, maka pesan hadits ini mendapatkan penguatan. Bahwa pengikuti teladan Rasulullah tak bisa terpisahkan dari komitmen ketaatan kepada Allah, sebab Muhammad adalah utusan-Nya. Begitupun, menyelisihi petunjuk Rasulullah akan terjatuh pada perkara-perkara baru yang diada-adakan. Itulah yang terkategori bid’ah.

Pertanyaannya, apa saja yang termasuk bid’ah? Maka, marilah kita mendalami detail amal-amal dalam beragama. Bahwa amal itu ada dua macam; amal yang sifatnya ibadah kepada Khaliq dan amal yang sifatnya muamalah kepada sesama makhluk.

Amalan bid’ah terkait ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin Quraisy yang diabadikan dalam surat al Anfaal ayat 35, “Dan tidaklah sholat mereka di sekitar Baitullah itu hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” Atau seperti dahulu yang pernah dilakukan salah seorang sahabat saat bernazar dengan puasa dan berdiri di bawah terik matahari, maka oleh Rasulullah disuruh meneduh dan melanjutkan nazar puasanya. Sebab puasa bagian dari ibadah, sementara berdiri di bawah terik matahari adalah sesuatu yang diada-adakan dan bukan bagian dari mendekatkan diri kepada Allah. Inilah bid’ah dalam kaitan ibadah kepada Allah.

Sedangkan amalan bid’ah terkait muamalah sebagaimana yang pernah terjadi pada salah seorang sahabat yang anaknya telah melakukan zina. Lalu ia menebus perbuatan zina anaknya itu dengan membayar pihak keluarga yang telah dizinai. Oleh Rasulullah, bayaran tersebut disuruh mengembalikan, dan anak yang telah berzina tetap dikenakan hukuman cambuk. Sebab itulah aturan hukum muamalah sosial yang telah dituntunkan, sementara menggantinya dengan bayaran tertentu merupakan sesuatu yang diada-adakan dan bukan bagian dari tuntunan Rasulullah. Itulah bid’ah dalam kaitan muamalah kepada sesama.

Akhirnya, hendaknya kita paham. Bahwa pembahasan tentang penolakan perkara-perkara bid’ah ini mengantarkan kita pada dua hal:

Pertama; hendaknya kita terus meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam. Sebab ketidak-pahaman kita akan ajaran Islam akan membuat kita terjerembab pada perkara bid’ah. Namun dengan memiliki pemahaman Islam yang baik, maka kita akan mengenali hukum demi hukum dari urusan kehidupan yang keseluruhannya diatur oleh agama ini. Dan dengannya, kita akan dapat meminimalisir dan menghindarkan diri dari perkara bid’ah.

Kedua; hendaknya kita hidup dengan sewajarnya. Menjalani hidup yang wajar akan menghindarkan kita dari sikap yang berlebih-lebihan. Baik berlebihan-lebihan dalam hal terlampau menyulitkan maupun dalam hal terlampau memudahkan. Sikap berlebih-lebihan seperti itu akan membuka celah-celah bagi syaitan. Sedangkan ajaran agama ini hakikatnya sederhana. Maka sikap berlebihan membuat kita mudah mengada-adakan perkara yang akhirnya menyelisihi Sunnah.


Jakarta, 8 Februari 2017

Tidak ada komentar: