Dalam berjama'ah, sangat mungkin muncul
persoalan-persoalan. Termasuk persoalan yang membuat situasi dan kondisi
tidak nyaman. Tetapi bila dicermati, persoalan-persoalan itu sebagian
besarnya merupakan persoalan administratif-organisatoris yang berjangka.
Sehingga bisa dievaluasi setiap putaran periode kepengurusan, atau bisa
dievaluasi lima tahunan. Adapun yang langgeng itu dhawabith, ini yang
mesti dijaga. Jadi kalau ada persoalan pada taraf
administratif-organisatoris, sementara dhawabithnya (unsur yang
mengikatnya) masih dijaga, maka InsyaAllah masih baik dan bisa
diperbaiki.
Dhawabith kita adalah Al Quran. Itu yang langgeng, dan tidak boleh berubah. Harus tetap jadi acuan dan pegangan sepanjang masa.
Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam surat At Taghabun ayat 16:
فَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ وَٱسْمَعُوا۟ وَأَطِيعُوا۟ وَأَنفِقُوا۟
خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلْمُفْلِحُونَ
"Maka bertakwalah kalian kepada
Allah menurut kesanggupan kalian dan dengarlah serta taatlah dan
nafkahkanlah yang baik untuk diri kalian. Dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung."
Jadi,
tetaplah bertakwa kepada Allah dengan kesanggupan kita. Dengar dan taat
pada perintah-Nya. Jangan lepas dari dhawabith itu.
Masing-masing
kita punya perbedaan. Ada yang dominan sebagai orang lapangan, ada yang
unggul secara spiritual, ada yang menonjol secara akademis. Tapi
juga tak menutup kemungkinan ada yang memiliki keunggulan di ketiganya.
Seperti
sahabat Abu Dzar al Ghifari radhiyallahu anhu. Ia tampil sebagai sosok
_Rijal Maidani - Ruhi - Akademisi_. Bila kita cermati hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dzar, maka akan kita dapati sabda-sabda
Rasulullah yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Abu Dzar.
Begitulah sosok akademisi-nya yang terus mencari ilmu dan jawaban.
Tapi,
ia sesungguhnya juga sosok yang kuat spiritual, bukan saja kuat
intelektual. Sebagaimana tergambar pada salah satu riwayat saat ia
berhasrat untuk bisa bersedekah seperti orang-orang yang mendapat
karunia harta. Sosoknya selalu haus ibadah.
Bahkan,
bila kita ingat detik-detik awal keislamannya, kita mendapati gambaran
sosoknya yang tak ragu terjun ke lapangan. Ia yang baru berislam, segera
menyatakan keislamannya di depan umum. Atau seperti pada episode Tabuk,
yang menceritakan bahwa Abu Dzar menyusul rombongan walau harus
sendirian menerobos padang pasir.
Dalam
penataan keunikan-keunikan inilah bisa saja muncul perselisihan. Hal
seperti itu lumrah saja. Namun yang perlu diingat, bilapun ada perselisihan
janganlah berbantahan.
Ingatlah firman Allah di surat Ali Imran ayat 105:
وَلَا
تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُوا۟ وَٱخْتَلَفُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا
جَآءَهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Dan
janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat."
Juga surat Al Anfaal ayat 46:
وَأَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ
رِيحُكُمْ ۖ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar."
Jadi, meskipun
perselisihan itu merupakan hal yang lumrah karena adanya
keunikan-keunikan individu, namun jangan berbantahan. Sebab, aslinya
tanaza' (berbantahan) itu tidak ada. Ia muncul saat kita mulai defisit
rahmat.
Begitulah.
Bilapun berselisih, jangan berbantahan. Demi terwujudnya kesatuan
aqidah, kesatuan barisan, kesatuan jalan, dan kesatuan kepemimpinan.
[SM, 2023]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar