![]() |
sumber: kataislam.com |
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
وسلم يَقُوْلُ: "بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ
وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ."
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab
radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa
tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan
Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa
Ramadhan.”
Inilah orientasi keberimanan kita, yaitu amal. Tetapi
setiap amalan juga memiliki orientasinya sendiri. Dan lima pokok berikut adalah
inti dari amalan Islam yang akan menjadi dasar bagi amalan-amalan lainnya. Ia
pulalah wajah dari rangka bangunan keislaman kita.
Hadits ini tentang Rukun Islam. Memang hadits
sebelumnya juga memuat pesan akan Rukun Islam, selain pesan Rukun Iman serta
konsepsi Ihsan dan Hari Kiamat. Tapi pada hadits ketiga yang dipilihkan oleh
Imam an Nawawi ini, Rukun Islam dihadirkan secara khusus. Seakan setelah kita
membenahi konsepsi orientasi tujuan berupa niat lalu membenahi pondasi semua
kerja kehidupan dengan konsepsi Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat yang solid,
berikutnya secara khusus kita diharapkan mampu menyelami secara seksama
poin-poin dari rukun Islam. Hal itu agar kita paham, bahwa inti dari amalan
agama ini adalah kelima rukun tersebut. Lalu bila ada amalan-amalan lainnya,
itu punya landasan ketertautan dari kelima amalan ini.
Zikir dan doa sangat erat tautannya dengan rukun
kalimat syahadat yang tertuturkan. Sholat-Sholat sunah beserta perenungan diri
akan ayat-ayat-Nya sangat erat tautannya dengan rukun Sholat. Infaq, shodaqah
dan muamalah sosial lainnya sangat erat kaitannya dengan rukun Zakat. Puasa
sunah dan semua rasa akan kesyukuran dan kesabaran sangat erat kaitannya dengan
rukun Puasa. Serta kerja-kerja dakwah, pembelajaran dan kekhilafahan sangat
erat kaitannya dengan rukun Haji.
Namun ada satu hal lagi yang ingin ditekankan. Bahwa
setiap amalan itu memiliki tujuannya masing-masing, maka konsen terhadap
orientasi amal adalah suatu hal yang diharapkan. Sebab beramal itu bukan semata
untuk amalan tersebut, namun juga untuk mendapatkan tujuan-tujuan di balik
amalan-amalan tersebut. Dan karena itulah kiranya hadits ini diletakkan di
urutan ketiga, agar kita memahami sedini mungkin bahwa pada akhirnya dari semua
perjalanan amal keberagamaan kita adalah tampilnya sosok pribadi yang
kepribadiannya menjadi etalase bagi pesan-pesan agama. Inilah dasar kepahaman yang
hendaknya kita selesaikan di muka.
Memang uniknya, para ulama hadits sepakat
menempatkannya pada kitab Iman. Padahal jelas ini hadits tentang Rukun Islam,
tentang amalan, bukan tentang keimanan secara khusus. Hal itu seakan ingin
mengatakan bahwa iman memang tidak hanya terhenti pada pengetahuan dan
keyakinan, melainkan hendaknya teramalkan.
Namun begitu, amal juga jangan teramalkan hanya untuk
keterlaksanaan amal tersebut, melainkan lebih jauh lagi untuk mencapai
orientasi-orientasi hakiki dari amalan-amalan yang telah ditetapkan. Maka,
orientasi iman kita adalah amal, namun setiap amal memiliki orientasinya masing-masing.
Jagalah orientasi ini, maka tujuan yang telah kita tetapkan di permulaan niat
itu akan terus kokoh dan terjaga, serta landasan-landasan konsepsi tentang
empat hal sebelumnya juga akan melahirkan bangunan yang sesungguhnya nan
mempesona.
Yang membedakan dalam kitab-kitab hadits itu, Imam
Bukhari meletakkan pada bab khusus tentang ‘Keimanan dan Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa Islam
Itu Terbangun atas Lima’, sementara Imam Muslim meletakkan pada bab khusus
tentang ‘Penjelasan Rukun Islam dan Nilai Keutamaannya’. Begitupun Imam at
Tirmidzi meletakkan pada bab khusus tentang ‘Apa yang Datang pada Kalimat Islam
Dibangun atas Lima’, sementara Imam an Nasa’i meletakkan pada bab khusus yang
unik karena dengan kalimat tanya yaitu ‘Islam Dibangun atas Berapa Hal?’.
Inilah dasar dari hukum-hukum Islam, yang
mempersepsikan Islam sebagai sebuah bangunan. Sekiranya pondasi bangunannya
adalah Syahadat, tiang bangunannya adalah Sholat untuk internal dan Zakat untuk
halaman luarnya, serta kemegahan simbol bangunannya adalah Haji dan Puasa.
Dalam ruang bangunan seperti itulah akan lahir hukum-hukum Islam lainnya yang
sempurna.
Tentang Syahadat, kita telah mengenal sabda Rasulullah
yang menyatakan bahwa siapa yang mengatakan tiada Tuhan selain Allah secara
ikhlas maka telah masuk surga. Artinya, Syahadat menjadi ukuran seseorang bisa
diterima di surga atau tidak. Inilah pondasi awal, sebelum hal-hal lainnya yang
juga akan menjadi daya dorong ke surga. Di atas pondasi seperti inilah bangunan
amal lainnya terbangun dengan kokoh.
Tentang Sholat, kita telah membaca dalam surat al
‘Ankabut ayat 45 yang menyatakan bahwa sholat itu menghalangi dari perbuatan keji
dan munkar. Artinya, produktivitas dan efektivitas waktu kehidupan kita
ditentukan dengan sholat tersebut. Sedikit saja waktu hidup kita tidak
produktif dan tidak efektif, maka kesia-siaan yang akan didapat. Bagaimana
mungkin kita berlaku sia-sia bila tetiba panggilan sholat menyeru kehadiran
kita? Selain juga kita menyimak sabda Rasulullah bahwa pemisah antara seorang
yang terjatuh pada kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.
Artinya, bila sholat adalah totalitas penghambaan dan pengharapan pada Rabb
semesta, maka tanpa sholat akan membuat kita tidak total lagi menghamba dan
mengharap kepada-Nya, sehingga ada celah yang membuat kita menghamba dan mengharap
kepada selain-Nya. Maka, minimalnya jadi syirik, lebih jauh lagi bisa jadi
kufur. Maka tiang yang seharusnya tegak lurus ke atas menjadi miring dan rawan
rapuh.
Tentang Zakat, kita telah membaca dalam surat al
Ma’arij ayat 24 dan 25 yang menyatakan bahwa zakat adalah sebagian harta kita
yang sengaja disisihkan untuk orang-orang miskin yang meminta maupun tidak
meminta. Artinya, selalu ada kesadaran untuk menyisihkan harta kita sedari
awal. Itulah kesucian harta, itupula yang membuat naungan sosial bangunan
keislaman kita tetap tegak. Selalu ada stok untuk menaungi sosial tersebut.
Bila tidak, maka tutup sudah etalase bangunan keislaman kita, dan orang tak
lagi melihat tegak berdirinya.
Tentang Haji, kita telah membaca dalam surat al Hajj
ayat 28 yang menyatakan bahwa haji memiliki tujuan agar setiap kita bisa
menyaksikan berbagai manfaat bagi diri lalu mengagungkan Allah yang telah
menciptakan manfaat tersebut, serta bersyukur dengan cara berbagi kenikmatan.
Artinya, memang seharusnya kita menyaksikan ragam muka bumi, agar kita tahu
begitu banyak manfaat yang telah dihadirkan oleh Allah, dan itulah pra-syarat demi
maksimalnya keterlaksanaan peran khilafah kita di muka bumi. Maka kita akan
mampu tampil dengan keagungan agama ini, bila kita mampu merasakan keagungan
yang telah Allah berikan. Kita juga akan mudah berbagi kenikmatan, bila kita
mengetahui bahwa anugerah kenikmatan itu amatlah besar untuk kita miliki
sendiri.
Tentang Puasa, kita telah membaca dalam surat al
Baqarah ayat 185 yang menyatakan bahwa puasa itu menjadi sarana untuk membina
ketakwaan pada setiap diri orang beriman. Artinya, takwa yang sejatinya
merupakan indikator utama keagungan seseorang memang semestinya selalu dijaga
dan ditingkatkan. Agar kita tetap agung, agar bangunan keislaman kita tetap
memancarkan keagungan. Dan langkah itu dengan puasa.
Tetapi dalam tataran realitanya, memang tidak semua
orang bisa menunaikan lima hal pokok tersebut dalam kehidupan ini. Yang tidak
bisa, sudah tentu merupakan orang kafir. Namun yang muslim sekalipun, tidak
otomatis mudah menunaikan lima hal pokok tersebut.
Kita akan mendapatkan ada sekelompok orang muslim yang
malas-malasan dalam menunaikan kelima hal pokok tersebut. Bahkan karena
malasnya, akhirnya sampai mengabaikannya. Mereka inilah orang-orang Fasik.
Mereka malas untuk mengetahui, dan kalaupun telah mengetahui malas untuk
menunaikan. Malas itulah indikator orang fasik.
Namun kita juga akan mendapatkan ada sekelompok orang
muslim yang semangat menunaikan kelima hal pokok tersebut. Bahkan karena
semangatnya, seakan sangat sempurna. Sayangnya, mereka hanya mencukupkan pada
pengamalannya, tanpa peduli terhadap tujuan dari pengamalannya. Mereka inilah
orang-orang Munafik. Mereka semangat beramal, tetapi getar hatinya tak seirama
dengan gerak fisiknya. Kontradiksi itulah indikator orang munafik.
Akhirnya kita mesti paham dengan sebaik-baik pemahaman.
Bahwa iman itu harus membuahkan amal, namun amal itu juga harus mencapai
tujuannya. Memang orientasi iman kita adalah amal, namun setiap amal memiliki
orientasinya masing-masing. Semoga kita memahaminya dengan baik, sebelum
beranjak kepada kehidupan beragama yang lebih luas.
Jakarta, 27 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar