عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: "إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ."
Dari Amirul
Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia
niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan."
Imam
Bukhari meletakkannya pada kitab Iman, sebab iman tidak sempurna tanpa niat
yang baik, begitupun sebaliknya niat yang benar merupakan cerminan iman yang
benar. Sementara Imam Muslim meletakkannya pada kitab Pemerintahan, sebab
itulah simpul kebijakan dan amalan-amalan dalam tatanan sosial kehidupan, dan
semua itu menjadi baik bila baik pula niatnya.
Adapun para
Imam-Imam hadits lainnya meletakkan hadits ini pada bahasan-bahasan yang lebih
teknis. Imam Abu Dawud misalnya, meletakkannya pada kitab Perceraian. Imam at
Tirmidzi meletakkannya pada kitab Keutamaan Jihad. Imam Ibnu Majah meletakkannya
pada kitab Zuhud. Imam an Nasaa’i meletakkannya pada kitab Bersuci.
Karena
Perceraian adalah perkara yang tidak boleh dipermainkan, bila harus dilalui
maka harus dengan niat yang sungguh-sungguh penuh kesadaran setelah
mempertimbangkan dengan baik. Karena Jihad adalah amalan tertinggi yang lebih
menghajatkan kemurnian niat. Karena Zuhud adalah sesuatu yang berada dalam alam
batin yang tak tampak, maka lebih perlu memastikan bahwa niatnya lurus sebab
godaan batin jauh lebih samar dan pelik. Karena Bersuci adalah amalan pertama
sebelum amalan-amalan lainnya, sehingga perlu dipastikan kesucian niatnya sejak
amalan pertama ini.
Begitulah
para Imam hadits mempersepsikan hadits tentang niat ini dan meletakkannya pada
bagian-bagian penting dalam kitab-kitabnya. Hal itu mencerminkan urgensi hadits
ini. Abu Dawud sendiri mempersepsikan hadits ini sebagai setengah dari keimanan,
sebab bila iman itu tampil dalam batin
dan zahir kehidupan manusia maka niat
itu merupakan bagian batin. Sementara
Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mempersepsikan sebagai sepertiga ilmu, sebab amal
manusia itu mencakup hati, lisan dan fisik, sehingga hadits ini menjadi ilmu
bagi amal hati.
Inilah
hadits yang banyak diletakkan di muqodimah-muqodimah kitab. Bahkan Abu Ubaid
mengatakan, “Tidak ada hadits yang lebih
sempurna manfaatnya kecuali hadits ini.”
Periwayatnya
pun istimewa. Dialah Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang terkenal dengan keberaniannya sebelum dan
setelah masuk Islam, terkenal pula dengan kemurnian rasionalitas imannya
sehingga siap berargumentasi di hadapan orang-orang musyrik dan kafir, serta
juga terkenal dengan kecintaannya yang mendalam kepada Rasulullah sehingga
berat baginya menerima kabar wafatnya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sosok seperti itulah, hadits ini
diriwayatkan hingga sampai kepada kita.
Bila kita
hendak menyelami hadits ini, maka kita akan menemukan dua hal pokok yang
menjadi muatan hadits ini yaitu bahasan tentang Iman dan contoh tentang Hijrah.
Oleh karenanya, dua hal itulah yang kiranya perlu kita hayati dengan seksama.
Tapi
mungkin ada pertanyaan berikut yang menggoda benak kita, kenapa hadits tentang
niat ini contohnya tentang hijrah? Kenapa bukan amal-amal lainnya?
Jawaban
yang paling mendasar dan sederhana tentu karena asbaabul wurud atau sebab tertuturnya hadits ini seperti yang
disampaikan Abdullah bin Mas’ud, bahwa hadits ini merespon seorang sahabat yang
salah niat dalam mengikuti hijrah ke Yatsrib hanya karena ingin menikahi
seorang perempuan bernama Ummu Qais. Tapi tidak ada salahnya bila kita
menyelami makna-makna lainnya, sebab di antara keutamaan sabda-sabda Rasulullah
adalah menghimpun banyak makna pada kalimat yang singkat nan padat. Dan di
antara makna yang bisa kita renungkan, bahwa niat itu perkara tujuan sedangkan
hijrah itu perkara proses beralih ke tujuan. Niat itulah simbol penetapan
tujuan, dan Hijrah itu simbol peralihan ke tujuan.
Dengan niat
kita telah menetapkan tujuan, namun hijrah-lah yang akan mengantarkan kita pada
tujuan tersebut. Hijrah itulah simbolisasi peralihan menuju tujuan yang telah
diniatkan. Maka dari hadits ini secara umum, kita belajar menetapkan tujuan
dalam hidup ini sekaligus belajar proses peralihan menujunya. Seorang muslim
yang unggul dalam kehidupan ini harus memiliki keduanya; punya tujuan dan mau
beralih menujunya. Bila demikian, maka semua yang dicitakannya akan terbuka
kemungkinan besar untuk mencapainya. Begitupun semua peralihannya dalam proses
kehidupan ini akan selalu memiliki arah tujuan.
Terkait Niat,
para ulama telah menyatakan bahwa semua amalan yang tidak disertai niat maka
itu bukan bagian dari amalan syariat. Sebab yang membedakan seorang Muslim dan Non
Muslim adalah Iman. Oleh karenanya, yang membedakan amalan seorang Muslim
dengan amalan Non Muslim adalah niatnya. Maka amalan yang disertai dengan niat
ikhlas, itulah amalan seorang muslim. Sementara yang tidak disertai dengan niat
ikhlas, maka bukanlah amalan seorang muslim. Karenanya tidak dinilai pahala
baginya.
Bahkan
dalam mazhab Syafi’i, niat merupakan bagian dari syarat sah-nya sebuah amalan.
Maka bila tanpa niat, sebuah amalan dianggap tidak sah. Artinya, tak dianggap
dan tak dihitung bahwa amalan itu telah dilakukan.
Singkatnya,
niat itulah pembeda. Ia membedakan amalan seorang Muslim dengan Non Muslim yang
secara tampilan sama, padahal secara esensi berbeda. Memahami persepsi tentang
niat ini penting, agar kita mampu membedakan dua amalan atau lebih yang seakan
sama. Sebab bila kita tidak memahami tentang persepsi niat dan gagal membedakan
beragam amalan yang serupa, maka kita akan jatuh pada kesalahan dalam penilaian.
Salah
menilai inilah yang menjerembabkan seseorang kepada jurang ekstrim keras maupun
ekstrim lunak. Mereka menjadi Khawarij karena gagal membedakan
kebijakan-kebijakan yang diambil para pemimpin umat di zaman Ali bin Abi
Thalib, begitupun mereka menjadi Syi’ah karena gagal membedakan antara
kecintaan kepada ahlul bait yang
dibenarkan dan tidak dibenarkan. Mereka hanya mempersepsi kehidupan ini secara
tampilan semata, lalu dengan gegabah menilainya, dan luput memahami niat-niat
yang membedakannya. Terjadilah generalisasi, terjadilah penyama-rataan;
akhirnya semua dikafirkan atau semua ditoleril. Maka, fungsi niat itulah
sebagai pembeda.
Sementara
terkait Hijrah, secara fisik kita telah mengenali sejarah fenomenalnya yaitu
hijrahnya Rasulullah beserta sahabat dari Makkah ke Madinah. Hingga bertahun
kemudian terjadilah Fathu Makkah atau
pembebasan kota Makkah. Dan keluarlah sabda Rasulullah, “Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah.”
Sebagian
memahami bahwa hijrah secara fisik yang bermakna keluarnya kita dari sebuah
kota ke kota lain karena alasan beban penyiksaan telah tiada lagi setelah fathu
Makkah. Namun sebagian memahami bahwa hijrah secara fisik tersebut tetap
dibolehkan sepanjang kehidupan dunia ini, yang dilarang hanyalah meninggalkan
kota Makkah karena kota tersebut telah dibebaskan menjadi kota kaum Muslimin.
Namun
selain hijrah secara fisik, sesungguhnya hijrah juga menghimpun segala makna
dimensi apapun. Semuanya itu ditautkan dengan benang merah ‘hijrah kepada kebaikan’. Jadi semua
proses menjadi baik atau menjadi lebih baik, itu pula dapat bermakna hijrah.
Kini
setelah kita memahami dua perangkat penting dalam membangun pribadi unggul
yaitu Niat (tujuan) dan Hijrah (proses menujunya), maka kita bisa menyimpulkan
sesuatu yang bisa menjadi kaedah dalam kehidupan kita. Pertama; akhirnya kita
dapat memahami bahwa niat itu seperti ruh dan amal itu seperti jasad, maka niat
tanpa amal itu seperti ruh yang bernilai tapi tanpa bentuk jasadnya, sedangkan
amal tanpa niat itu seperti jasad yang tak berarti karena tanpa ruh. Kedua; akhirnya
kita juga diantarkan pada pemahaman bahwa niat tanpa amal itu masih bernilai
pahala, sedangkan amal tanpa niat tidak bermakna dan tidak mendapatkan pahala.
Karena
itulah, jangan takut untuk berniat atau bercita-cita. Semua yang kita niatkan
dan kita cita-citakan, insyaAllah
telah tercatat pahalanya meskipun bila tak kunjung terwujud selama kita tetap
berusaha mewujudkannya. Tapi tetap; mereka yang memiliki niat dan bersungguh
hijrah menujunya, maka akan unggul di akhirat dan dunianya.
Jakarta,
14 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar