Minggu, 07 Agustus 2016

BINTANG LANGIT DI LIANG MASJID


"Dulu saya kira tingkah laku para penulis layak dijadikan teladan, tetapi saya melihat sejumlah surat kabar yang tidak tahu adab menyebarkan kebencian. Jika memang seperti itu yang dinamakan sopan-santun, dan jika opini publik jadi kacau, datangkan saksi yang melihat bahwa saya telah meninggalkan teladan semacam itu. Saya tidak ambil bagian di dalamnya. Daripada mempelajari surat kabar, saya lebih baik mempelajari angkasa raya dan bentangan dunia di gunung-gunung tinggi tanah asal saya."

Suara ksatrianya Badiuzzaman Said Nursi itu, dahulu sempat kuresapi di penghujung Ramadhan 1434 H. Tepat tiga tahun lalu, 6 Agustus 2013. Pada tanggal dan bulan yang sama tahun ini, kita diseru oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk menikmati bentangan bintang-gemintang Galaksi Bima Sakti.



Rasanya perlu kita anuti yang sempat diadukan oleh Said Nursi pada penanya itu. Bilapun tidak selamanya, sempatkan sejenak kita beralih ke angkasa raya. "Daripada mempelajari surat kabar, saya lebih baik mempelajari angkasa raya dan bentangan dunia," pungkasnya.

Mari kita temukan makna-makna di langit, makna-makna yang akan meruhi kata-kata kita. Marilah mulai berkata dengan makna-makna langit, makna-makna yang diturunkan Ilahi. Seperti para sastrawan memandang langit laiknya puisi luas, yang lengkungnya tak akan kau temukan ujungnya. Seperti itu pula pembelajaranmu kepada langit, tak akan pernah komplit. Ada yang terus membaharu.

Sebagaimana hati kita, diibaratkan oleh sastrawan filosof Yusmar Yusuf dengan umpama ocean feeling. Samudera rasa, itulah hati nan angkasa tinggi. Pada ketinggian semua semakin luas dan tak akan habis terulas, namun seiring itulah kan kian terhayatinya nash.

Menjaga hati adalah menjaga indera pekerti. Sebabnya, "Akhirat itu terlalu nyata." Begitu kata Raja Ali Haji, "Kepada hati yang tidak buta." Maka pada langit kita binarkan hati nan alit. Pada hati kita suarkan pekerti. Pada pekerti kita jalarkan ukhrawi.

Semoga ‘menatap langit’ kembali menjadi budaya kita. Bila Teeuw (1983) mengatakan bahwa karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya, maka bolehlah kita punya harapan terbalik darinya. Bahwa pada setiap budaya yang terjaga, ada karya yang selalu terjaja.

Budaya menggumuli alam, itu budaya bahari anak negeri ini. Berapa banyak cerita rakyat berhikmah dari muruah hayat bangsa ini? Berapa banyak lagu yang digubah dengan marwah kekayaan alam bangsa ini? Berapa banyak alat musik rakitan dari pelosok perdusunan negeri ini? Berapa banyak tarian dari varian spesies satwa dan panorama negeri ini?

Begitulah kehidupan anak negeri ini sedari kecilnya. Dan kalau kita punya Pahlawan Bahasa bernama Raja Ali Haji, maka salah satu pesannya dalam Tsamarat al Muhimmah adalah sebagai berikut: “Tiliklah edaran dunianya, zaman dahulu bagaimana kabarnya, zaman sekarang apa rupanya, berlain-lain ilmu pandainya.”

Menyeksamai edaran dunia adalah mengarifi kehidupan, seperti menelusuri matahari terbit hingga terbenamnya dan membuntuti munculnya bintang hingga sirnanya. Pada setiap pencermatan, selalu ada hukum yang tertautkan. Itulah modal nenek moyang nelayan kita yang mengembara di lautan lepas hingga tetap bisa kembali ke daratan.

Demikianlah, peradaban itu membutuhkan kearifan. Maka bila bangsa ini ingin menemui peradabannya, lestarikanlah segala kearifannya. Seperti keajaiban seorang Said Nursi yang menemui keabadiannya, karena ia komitmen dengan ‘tanah asal saya’.

Kembalilah ke desa-desa kita, jaga keindahannya dari pugaran imperialis asing. Agar tak perlu kampanye ‘Selamatkan Keindahan Bintang’, sebab bintang-bintang tetap bertahta indah di angkasa nusantara ini. Dan sewaktu-waktu bisa kita nikmati.

Pada ketinggian bintang di langit itu, ada makna kedalaman liang masjid tempat sujud kita. Itulah yang dahulu disarankan dalam senandung nasyid Justice Voice, “Hindari kepenatan, sesaknya kehidupan, peradaban yang melelahkan. Kembali pada alam, kembali pada Tuhan, di sana ada kedamaian.”[]

Mangga Besar, 6 Agustus 2016
Irfan Azizi

Tidak ada komentar: