Jumat, 05 Agustus 2016

AYAH DAN BUNDA… BERSIKAP WAJARLAH TERHADAP KESALAHAN ANAKMU


Dear Ayah dan Bunda,

Pandanglah anakmu sejak lahir sebagai manusia yang mungkin salah. Bahkan bilapun kesalahan itu telah terkoreksi, tetap pandanglah bahwa kesalahan itu mungkin saja terulang. Ya, terulang. Bukan diulang. Terulang tanpa sengaja, dan bukan diulang dengan sengaja. Mungkin saja itu terjadi. Selalulah pandang demikian.


Bahkan jikalau diulang dengan sengaja, sesungguhnya kemungkinan itu juga ada saja. Sisakan saja seruang kemungkinan itu. Jangan takut, sebab itulah hakikat dinamika kehidupan. Ada kebaikan, ada keburukan. Ada kebenaran, ada kesalahan. Ada keinsafan, ada kekhilafan. Ada ketaatan, ada keinkaran. Semua itu mungkin, sekehendak hatinya; pada kutub mana kecenderungannya. Dalam hal inilah pentingnya adaptasi lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kebaikan, kebenaran, keinsafan, dan ketaatan. Agar potensi-potensi keburukan, kesalahan, kekhilafan, dan keinkaran dapat diminimalisir sekecil dan sesempit mungkin peluang tumbuh dan geraknya.

Akan tetapi, satu hal yang perlu kita perhatikan, wahai Ayah dan Bunda. Kejujuran. Ya, kejujuran!

Bahwa apapun yang terjadi dan dilakukan oleh anak kita, pastikan tidak hilang kejujuran darinya. Bahwa seberapapun besarannya keburukan, kesalahan, kekhilafan, maupun keinkaran yang dilakukan oleh anak kita, pastikan tidak menghilangkan nilai-nilai kejujuran darinya. Inilah pentingnya kita memandang dan bersikap wajar terhadap kesalahan anak kita. Sebab sikap wajar tidak akan melenyapkan kejujuran.

Bahwa kebohongan itu muncul ketika adanya tekanan, baik itu keterdesakan maupun ketersudutan. Tetapi bila semuanya hadir sewajar pemakluman, maka kejujuran akan dapat bertahan di situ. Sehingga yang paling utama perlu kita pastikan adalah tiadanya kemarahan yang berlebih terhadap kesalahan. Biarkan anak-anak kita jujur atas kesalahan yang telah ia lakukan. Tetaplah hargai kejujuran itu, dan jangan tergesa-gesa beralih pada sanksi atas kesalahannya.

Ingat! Bila fokus kita mengubah kesalahan, maka apa artinya sanksi? Toh, sanksi bisa ditiadakan, bila kesalahan itu telah dapat diubah tanpanya. Toh, sanksi fungsinya hanya sebagai sarana menuju perubahan, maka ia bisa ada dan tiada. Sebagaimana hukum sarana pada umumnya, keberadaannya menyesuaikan ruang dan waktu. Terkadang dibutuhkan, terkadang ditinggalkan. Sebab bukan itu tujuannya, bukan itu substansinya.

Kembali kepada kejujuran. Apa pentingnya kita menjaga kejujuran agar tetap ada dalam diri anak-anak kita? Hal ini yang perlu kita pahami dan hayati dengan baik. Yang paling mendasar adalah bila kejujuran tiada maka akan hilang pula jiwa penyesalan dalam diri anak kita. Padahal penyesalan adalah salah satu syarat pertaubatan. Maka bagaimana seorang anak akan bertaubat atas kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi bila tidak ada penyesalan pada dirinya?

Sungguh penting menjaga penyesalan agar tetap bersemayam dalam jiwa anak kita. Dan untuk itu kita perlu menjaga nilai-nilai kejujuran agar tetap ada dalam dirinya. Sebab inilah kunci menuju pertaubatan.

Maka dahulu begitu sumringahnya seorang anak muda yang hendak memeluk Islam namun berat baginya meninggalkan beberapa hal yang dilarang oleh Islam. Tanyanya pun beruntut kepada Rasulullah. Apakah seorang muslim mungkin mencuri? Apakah seorang muslim mungkin minum khamr? Apakah seorang muslim mungkin berzina? Dan semua dijawab oleh Rasulullah dengan jawaban singkat, “Ya.”

Bergembiralah anak muda itu dan berkenan masuk Islam. Saat hendak pergi, Rasulullah menegurnya pelan. “Tapi satu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang Muslim,” kata Rasulullah. “Apa itu wahai Rasulullah?” rasa penasaran segera menggelayut ubun-ubun anak muda itu. “Berbohong!” tegas Rasulullah singkat.

Sejak itu, sang anak muda pun paham bahwa satu larangan itu ternyata membuat ia tak mungkin melakukan larangan-larangan lainnya. Bagaimana mungkin ia mencuri, mabuk ataupun berzina, bila kemudian harus jujur mengakuinya? Itulah kejujuran, kepalanya kebaikan. Sebab kebohongan adalah kepalanya dosa-dosa.

Begitulah kejujuran merupakan nilai utama yang harus ada dalam setiap jiwa anak-anak muslim. Tidak ada keimanan tanpa kejujuran. Dan kejujuran itulah yang menjadi kunci utama setiap jeda pertaubatan. Bahwa sepanjang hayat sangat mungkin ada kesalahan-kesalahan yang terlakukan, dan di sepanjang itu pula tersebar pemberhentian-pemberhentian taubat. Jujurlah yang menjadi kunci setiap pemberhentian itu.

Memang demikian, yang terpenting dari sebuah kesalahan adalah terantarkannya ke arah pintu taubat. Dahulu Rasulullah berpesan kepada para sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan Ibnu Majah, “Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah mereka yang bertaubat.

Oleh karena itu, wahai Ayah dan Bunda! Selalulah mampu bersikap wajar terhadap setiap kesalahan anak-anak kita. Kita berharap dengannya mampu menjaga nilai kejujuran yang terkandung dalam jiwanya. Kita pun berharap dengannya dapat mengantarkan anak kita menemui pintu-pintu pertaubatan di setiap kesalahan yang dilakukannya.

Sebab jangan pernah menjadikan diri kita sebagai faktor utama pertaubatan anak kita. Biarkan anak kita memiliki faktor utamanya sendiri bagi pertaubatannya di setiap kesalahan. Biarkan ia memiliki daya imun pribadi terhadap segala peluang kesalahan dan dosa. Karena usia Ayah dan Bunda sangatlah terbatas. Sedang anak-anak kita memiliki usianya sendiri.

Jangan sampai ia berpaling dari kebaikan dan kebenaran setelah tiadanya Ayah dan Bunda. Jangan sampai ia tak lagi memiliki keinsafan dan ketaatan setelah tiadanya Ayah dan Bunda. Titipkanlah kebaikan anak-anak kita pada kejujurannya sendiri. Dan kejujuran yang sejati adalah kejujuran pada dirinya sendiri. Semua itu kita awali dengan sikap wajar, sewajar kesalahan yang mungkin berujung pada pertaubatan.



Depok _ 5 Agustus 2016

Yang pernah menjadi anak,
Muhammad Irfan Abdul Aziz


Tidak ada komentar: