sumber: dewandakwahjabar.com |
عَنْ
أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِي جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ
فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ
أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ
نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا.
Dari Abu Tsa'labah al Khusyani, Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam beliau telah bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mewajibkan beberapa perkara maka janganlah kamu menyempitkannya, dan telah menetapkan beberapa batasan maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu mendekatinya, dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari tentangnya."
Hadits
hasan ini termuat oleh Ad Daruquthni. Ulama berpendapat, bahwa hadits singkat
ini telah menghimpun perkara Pokok dan perkara Cabang dari syariat Islam. Sebab
di dalamnya tercantum empat perkara: Kewajiban, Larangan, Batasan, dan yang
Didiamkan. Empat perkara itulah yang dikatakan oleh Ibnu Sam’ani sebagai
unsur-unsur dalam syariat Islam. Bahwa syariat itu isinya adalah hal-hal yang
diperintahkan, hal-hal yang dilarang, hal-hal yang dibatasi, dan hal-hal yang
didiamkan. Begitu saja.
Kewajiban
Perkara
pertama adalah terkait Kewajiban. Bahwa kewajiban secara umum terbagi menjadi
dua hal; Fardhu ‘Ain (Kewajiban Individu) dan Fardhu Kifayah (Kewajiban
Kolektif). Kewajiban individu harus ditunaikan oleh semuanya. Sementara
kewajiban kolektif cukup ditunaikan oleh keterwakilan. Maka dalam kewajiban
individu tidak boleh ada yang meninggalkannya dan jumlahnya pun tidak banyak, utamanya
yang paling pokok adalah Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Adapun kewajiban
kolektif lebih fleksibel, karena dia bersifat pendelegasian. Namun karena sifatnya
yang keterwakilan inilah menjadikannya sering diabaikan, dan biasanya
permasalahan terabaikannya kewajiban kolektif ini bila suatu masyarakat dalam
kondisi salah satu dari dua hal berikut ataupun dalam kondisi kedua-duanya: Terdiri dari individu-individu yang Egois ataupun Lemahnya
kepemimpinan ummat.
Perintah
kewajiban ini tidak boleh ditinggalkan. Ia harus ditunaikan. Bahkan istilah
Rasulullah adalah Faradha Faraaidh
(Mewajibkan yang Wajib-Wajib). Sebuah istilah yang unik dan dalam, penekanannya
tidak hanya cukup dengan status kewajiban, namun juga mewajiban yang sudah
dinyatakan wajib. Akan tetapi, istilah selanjutnya lebih menarik lagi; maka
jangan kalian menyempitkannya! Bukan jangan diabaikan atau jangan ditinggalkan,
tapi jangan disempitkan. Begitulah arifnya bahasa Rasulullah, yang tidak hanya
melahirkan makna luarnya, namun juga melahirkan makna tersembunyinya.
Darinya
kita memahami, bahwa respon kita terhadap kewajiban atau perintah itu biasanya
cenderung menunda. Maka bila kita menjadi pemimpin, lalu memerintahkan sesuatu,
menjadi lumrah pelaksanaannya sering tertunda hingga waktu yang sangat sempit
di penghujung batasnya. Begitulah tabiat manusia menghadapi kewajiban ataupun
perintah. Maka pernyataannya; janganlah kalian menyempitkannya.
Batasan
Perkara
kedua adalah terkait Batasan. Bahwa batasan itupun sebenarnya tidak banyak juga
sebagaimana kewajiban. Yang dinamakan batasan, biasanya diletakkan di beberapa
titik saja. Begitupun dalam syariat ini, bahwa batasannya juga hanya ada di
beberapa perkara.
Yang
paling dikenal adalah empat perkara dalam hukum syariat; yaitu pada hukum
perzinahan, hukum mabuk-mabukan, hukum membunuh, dan hukum mencuri.
Masing-masing telah ditetapkan batasan sanksinya, tidak perlu ditambah dan
dikurangi. Kecuali dengan pertimbangan yang matang, kemudian dirasa perlu
menambahkannya dan tentunya tetap memperhatikan ketetapan dalil-dalilnya.
Seperti di masa Umar bin Khathab, hukuman bagi yang mabuk-mabukan ditambah dari
40 cambukan menjadi 80 cambukan. Pendapat Umar ini dimantapkan dengan pandangan
Ali bin Abi Thalib yang mengutarakan surat An Nuur ayat 4, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik.”
Maka,
disetujuilah penambahan menjadi 80 cambukan. Karena dengan semakin maraknya
mabuk-mabukan, akan semakin banyak yang hilang akal sehatnya lalu berkata
dengan tiada kesadaran. Sebagian mereka akhirnya menuduhkan sesuatu secara
semena-mena, sedangkan hukuman bagi penuduh semacam ini adalah 80 cambukan.
Hal
yang unik lagi-lagi pada ungkapan setelahnya; janganlah kalian melampauinya!
Sebab pada batasan, biasanya masalah yang terjadi adalah kelewatan dari batasan
tersebut. Maka yang diwantikan adalah agar jangan melewatinya.
Larangan
Perkara
ketiga adalah terkait Larangan. Bahwa sesuatu itu dilarang dalam syariat ini
biasanya karena dua hal; Merugikan yang lainnya dan/atau Mempersekutukan Allah.
Sebagaimana firman-Nya pada surat al A’raaf ayat 33: “Katakanlah: ‘Tuhanku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.’”
Begitulah
rahmat syariat Islam. Bahwa sesuatu dilarang itu memang semata-mata untuk
menyelamatkan kezaliman di dunia dan kehinaan di akhirat. Maka jangan ragu
untuk meninggalkan larangan, sebab bila ia tidak merugikan orang lain maka ia
mempersekutukan Allah, atau bila tidak mempersekutukan Allah maka ia merugikan
orang lain. Bisa pula karena keduanya. Maka ia dilarang, semata-mata
menghindari kezaliman sesama manusia dan kezaliman manusia kepada Tuhan-nya
dengan mempersekutukannya.
Untuk
perihal larangan ini, maka pernyataannya; janganlah kalian menjerumuskan diri
padanya! Berbeda dengan batasan yang peringatannya agar tidak melewatinya, maka
bagi larangan perintahnya lebih preventif lagi; yaitu janganlah menjerumuskan
ataupun mendekatinya. Jadi, bukan sekedar melanggarnya, bahkan mendekatinya
saja tidak boleh.
Didiamkan
Perkara
keempat adalah terkait yang Didiamkan. Inilah perkara yang paling besar
bagiannya dari syariat Islam. Bahwa perkara yang didiamkan itu jauh lebih
banyak dari perkara yang diwajibkan, yang dibatasi, bahkan yang dilarang. Perkara
yang besar cakupannya ini adalah perkara yang didiamkan, yang karenanya
dibolehkan sebab tidak memiliki ketetapan hukum wajib maupun haram.
Sesungguhnya
Allah subhanahu wata’ala mendiamkan
perkara-perkara ini agar dapat menjadi rahmat bagi hamba-Nya. Sungguh
didiamkannya bukan karena Allah azza wa
jalla lupa. Seperti jawaban Musa kepada Fir’aun ketika berdialog tentang
Tuhan dan beragam fenomena sejarah kehidupan, “Tidak salah Rabb-ku dan tidak
lupa.” (Thaha : 52)
Maka, bagaimana kita menyikapi perkara yang didiamkan ini? Kata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya
kita tidak mencari-carinya. Maksudnya tidak banyak bertanya tentangnya. Sebab
bila ditanyakan, mungkin ketetapan jawabannya justru akan menyulitkan dan
memberatkan kita. Sebab Allah subhanahu
wata’ala saja sudah mendiamkannya, maka jangan dibuat ribut sehingga justru
menyulitkan.
Epilog
Setelah
kita mengupas empat perkara yang sesungguhnya merupakan kandungan syariat
tersebut, maka kini kita meresapinya dalam implementasi kehidupan sehari-hari.
Tentu jelas. Bagi kewajiban maka pilihannya hanya melaksanakan. Bagi batasan
maka pilihannya hanya tidak melampauinya. Bagi larangan maka pilihannya tidak
mendekatinya. Sedangkan bagi yang didiamkan maka pilihannya tidak mencari-cari
atau bertanya-tanya tentangnya.
Sesungguhnya
inilah bentuk kesederhanaan agama ini. Yang karena kesederhanaannya, maka
hendaknya pemeluknya juga menjadi ummat yang sederhana. Lakukan yang wajib,
tinggalkan yang haram, jangan lampaui batasan serta silakan berbuat dengan
hal-hal yang didiamkan.
Maka
di antara cerminan kearifan beragama dan kesederhanaan sikap adalah tidak
banyak bertanya. Sebab banyak bertanya akan berujung pada dua kondisi; akhirnya
tidak kunjung melaksanakan atau justru akan tertimpa kerumitan yang semakin
membingungkan. Cerminan kearifan hidup inilah yang dinyatakan dalam surat al Ma’idah ayat 101, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Jakarta, 12 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar