Sabtu, 12 Maret 2016

(Kajian Hadits) INILAH INTI SYARIAT ISLAM

sumber: dewandakwahjabar.com
  
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِي جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا.

Dari Abu Tsa'labah al Khusyani, Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam beliau telah bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mewajibkan beberapa perkara maka janganlah kamu menyempitkannya, dan telah menetapkan beberapa batasan maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu mendekatinya, dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari tentangnya." 


Hadits hasan ini termuat oleh Ad Daruquthni. Ulama berpendapat, bahwa hadits singkat ini telah menghimpun perkara Pokok dan perkara Cabang dari syariat Islam. Sebab di dalamnya tercantum empat perkara: Kewajiban, Larangan, Batasan, dan yang Didiamkan. Empat perkara itulah yang dikatakan oleh Ibnu Sam’ani sebagai unsur-unsur dalam syariat Islam. Bahwa syariat itu isinya adalah hal-hal yang diperintahkan, hal-hal yang dilarang, hal-hal yang dibatasi, dan hal-hal yang didiamkan. Begitu saja.

Kewajiban

Perkara pertama adalah terkait Kewajiban. Bahwa kewajiban secara umum terbagi menjadi dua hal; Fardhu ‘Ain (Kewajiban Individu) dan Fardhu Kifayah (Kewajiban Kolektif). Kewajiban individu harus ditunaikan oleh semuanya. Sementara kewajiban kolektif cukup ditunaikan oleh keterwakilan. Maka dalam kewajiban individu tidak boleh ada yang meninggalkannya dan jumlahnya pun tidak banyak, utamanya yang paling pokok adalah Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Adapun kewajiban kolektif lebih fleksibel, karena dia bersifat pendelegasian. Namun karena sifatnya yang keterwakilan inilah menjadikannya sering diabaikan, dan biasanya permasalahan terabaikannya kewajiban kolektif ini bila suatu masyarakat dalam kondisi salah satu dari dua hal berikut ataupun dalam kondisi kedua-duanya: Terdiri dari individu-individu yang Egois ataupun Lemahnya kepemimpinan ummat.

Perintah kewajiban ini tidak boleh ditinggalkan. Ia harus ditunaikan. Bahkan istilah Rasulullah adalah Faradha Faraaidh (Mewajibkan yang Wajib-Wajib). Sebuah istilah yang unik dan dalam, penekanannya tidak hanya cukup dengan status kewajiban, namun juga mewajiban yang sudah dinyatakan wajib. Akan tetapi, istilah selanjutnya lebih menarik lagi; maka jangan kalian menyempitkannya! Bukan jangan diabaikan atau jangan ditinggalkan, tapi jangan disempitkan. Begitulah arifnya bahasa Rasulullah, yang tidak hanya melahirkan makna luarnya, namun juga melahirkan makna tersembunyinya.

Darinya kita memahami, bahwa respon kita terhadap kewajiban atau perintah itu biasanya cenderung menunda. Maka bila kita menjadi pemimpin, lalu memerintahkan sesuatu, menjadi lumrah pelaksanaannya sering tertunda hingga waktu yang sangat sempit di penghujung batasnya. Begitulah tabiat manusia menghadapi kewajiban ataupun perintah. Maka pernyataannya; janganlah kalian menyempitkannya.

Batasan

Perkara kedua adalah terkait Batasan. Bahwa batasan itupun sebenarnya tidak banyak juga sebagaimana kewajiban. Yang dinamakan batasan, biasanya diletakkan di beberapa titik saja. Begitupun dalam syariat ini, bahwa batasannya juga hanya ada di beberapa perkara.

Yang paling dikenal adalah empat perkara dalam hukum syariat; yaitu pada hukum perzinahan, hukum mabuk-mabukan, hukum membunuh, dan hukum mencuri. Masing-masing telah ditetapkan batasan sanksinya, tidak perlu ditambah dan dikurangi. Kecuali dengan pertimbangan yang matang, kemudian dirasa perlu menambahkannya dan tentunya tetap memperhatikan ketetapan dalil-dalilnya. Seperti di masa Umar bin Khathab, hukuman bagi yang mabuk-mabukan ditambah dari 40 cambukan menjadi 80 cambukan. Pendapat Umar ini dimantapkan dengan pandangan Ali bin Abi Thalib yang mengutarakan surat An Nuur ayat 4, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.

Maka, disetujuilah penambahan menjadi 80 cambukan. Karena dengan semakin maraknya mabuk-mabukan, akan semakin banyak yang hilang akal sehatnya lalu berkata dengan tiada kesadaran. Sebagian mereka akhirnya menuduhkan sesuatu secara semena-mena, sedangkan hukuman bagi penuduh semacam ini adalah 80 cambukan.

Hal yang unik lagi-lagi pada ungkapan setelahnya; janganlah kalian melampauinya! Sebab pada batasan, biasanya masalah yang terjadi adalah kelewatan dari batasan tersebut. Maka yang diwantikan adalah agar jangan melewatinya.

Larangan

Perkara ketiga adalah terkait Larangan. Bahwa sesuatu itu dilarang dalam syariat ini biasanya karena dua hal; Merugikan yang lainnya dan/atau Mempersekutukan Allah. Sebagaimana firman-Nya pada surat al A’raaf ayat 33: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’

Begitulah rahmat syariat Islam. Bahwa sesuatu dilarang itu memang semata-mata untuk menyelamatkan kezaliman di dunia dan kehinaan di akhirat. Maka jangan ragu untuk meninggalkan larangan, sebab bila ia tidak merugikan orang lain maka ia mempersekutukan Allah, atau bila tidak mempersekutukan Allah maka ia merugikan orang lain. Bisa pula karena keduanya. Maka ia dilarang, semata-mata menghindari kezaliman sesama manusia dan kezaliman manusia kepada Tuhan-nya dengan mempersekutukannya.

Untuk perihal larangan ini, maka pernyataannya; janganlah kalian menjerumuskan diri padanya! Berbeda dengan batasan yang peringatannya agar tidak melewatinya, maka bagi larangan perintahnya lebih preventif lagi; yaitu janganlah menjerumuskan ataupun mendekatinya. Jadi, bukan sekedar melanggarnya, bahkan mendekatinya saja tidak boleh.

Didiamkan

Perkara keempat adalah terkait yang Didiamkan. Inilah perkara yang paling besar bagiannya dari syariat Islam. Bahwa perkara yang didiamkan itu jauh lebih banyak dari perkara yang diwajibkan, yang dibatasi, bahkan yang dilarang. Perkara yang besar cakupannya ini adalah perkara yang didiamkan, yang karenanya dibolehkan sebab tidak memiliki ketetapan hukum wajib maupun haram.

Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mendiamkan perkara-perkara ini agar dapat menjadi rahmat bagi hamba-Nya. Sungguh didiamkannya bukan karena Allah azza wa jalla lupa. Seperti jawaban Musa kepada Fir’aun ketika berdialog tentang Tuhan dan beragam fenomena sejarah kehidupan, “Tidak salah Rabb-ku dan tidak lupa.” (Thaha : 52)

Maka, bagaimana kita menyikapi perkara yang didiamkan ini? Kata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya kita tidak mencari-carinya. Maksudnya tidak banyak bertanya tentangnya. Sebab bila ditanyakan, mungkin ketetapan jawabannya justru akan menyulitkan dan memberatkan kita. Sebab Allah subhanahu wata’ala saja sudah mendiamkannya, maka jangan dibuat ribut sehingga justru menyulitkan.

Epilog

Setelah kita mengupas empat perkara yang sesungguhnya merupakan kandungan syariat tersebut, maka kini kita meresapinya dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Tentu jelas. Bagi kewajiban maka pilihannya hanya melaksanakan. Bagi batasan maka pilihannya hanya tidak melampauinya. Bagi larangan maka pilihannya tidak mendekatinya. Sedangkan bagi yang didiamkan maka pilihannya tidak mencari-cari atau bertanya-tanya tentangnya.

Sesungguhnya inilah bentuk kesederhanaan agama ini. Yang karena kesederhanaannya, maka hendaknya pemeluknya juga menjadi ummat yang sederhana. Lakukan yang wajib, tinggalkan yang haram, jangan lampaui batasan serta silakan berbuat dengan hal-hal yang didiamkan.

Maka di antara cerminan kearifan beragama dan kesederhanaan sikap adalah tidak banyak bertanya. Sebab banyak bertanya akan berujung pada dua kondisi; akhirnya tidak kunjung melaksanakan atau justru akan tertimpa kerumitan yang semakin membingungkan. Cerminan kearifan hidup inilah yang dinyatakan dalam surat al Ma’idah ayat 101, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.



Jakarta, 12 Maret 2016

Tidak ada komentar: