Senin, 15 Juni 2015

TANGISAN JIWA DI UJUNG TAPAK


IRFAN AZIZI, (2/12/2012) _ Aku tergelitik untuk melucuti satu-persatu perasaan jiwa. Saat pada jam-jam penghujung November 2012 aku menyaksikan tangisan seorang kawan. Ia lelaki, dan menangis. Tak mengapa. Bukan ia seorang, aku jumpai lainnya jua seperti itu di waktu-waktu yang lalu. Di momen-momen perpisahan, di momen-momen ujung seutas garis sejarah dari bentangan kehidupan. Demikian pula terkadang denganku. Bagi manusia, bersyahdulah dengan tangisan guna kesyukuran. Sebab tangisan adalah anugerah jiwa yang menyejukkan dan membersihkan. Ia bisa mengair di pelupuk mata, ia bisa pula sekadar merembesi di lubuk sanubari.


Malam itu, sisa 3 jam dari waktu November 2012. Terus mundur dan berkurang. Aku saksikan sahabatku itu mengair matanya; sendu, haru, dan menerawang. Sebagian orang mungkin menganggapnya kelemahan jiwa bagi para lelaki, tapi buatku itu adalah soal kelihaian jiwa mengelaborasi rasa-pikir dan kemauan. Bayangkan! Jika kelihaian itu bermain cantik, maka ada dahsyat di setelahnya. Di titik inilah, sekiranya Islam telah berikan ruang yang sama pada kaum lelaki dan perempuan. Dengan catatan; itu adalah tangisan 'penghambaan', bukan ketidakberdayaan.

Baiklah, aku menuliskan ini hanya sekadar untuk merunut ulang apa-apa rasa jiwa yang terbetik di bening tangisan. Setidaknya dalam hal interaksi anak manusia, baik kenalan, rekan, pun antar pasangan gender. Yang menetes di setiap ujung pertemuan, maupun di batas detik perhentiannya.

1) Merasa Kurang Memberi
Mungkin pernah bagi kita, yang dalam pertemuan atau interaksi dengan kenalan, rekan atau pasangan telah mengambil peran sebagai aktivis yang produktif. Kita aktif memberi, berbagi, dan sebagainya dengan terus memola produktivitas. Interaksi kita adalah misi, bahwa ada hal yang ingin kita berikan, baik yang wujud ataupun tidak. Namun di ujung interaksi itu, kita harus merembesi sanubari, atau bahkan mengairi mata dangan bulir-bulir tangisan. Sebab ada rasa di jiwa yang tiba-tiba menghenyak, bahwa sumbangsih kita selama interaksi belum maksimal. Dan kita 'menangis' atas 'keterbatasan' itu.

2) Merasa Selalu Menerima
Mungkin pernah bagi kita, yang dalam pertemuan atau interaksi dengan kenalan, rekan atau pasangan telah mengambil peran sebagai pasivis. Kita hanya menerima, tanpa berbagi balik, dan sebagainya. Interaksi kita tanpa misi, sehingga kita hanya menjadi penikmatnya. Lalu di ujung interaksi itu, kita harus merembesi sanubari, atau bahkan mengairi mata dangan bulir-bulir tangisan. Sebab ada rasa di jiwa yang tiba-tiba menyentak, kenapa kita hanya mengambil keuntungan dari interaksi itu, tanpa pernah membagi keuntungan. Dan kita 'menangis' atas 'ketidakberdayaan' itu. Terasa tiada manfaat diri ini, dan baru tersadar di titik pengujung. Sungguh naif, sungguh memalukan.

3) Merasa Abai Memetik Buah Keunggulannya
Mungkin pernah bagi kita, yang dalam pertemuan atau interaksi dengan kenalan, rekan atau pasangan telah terlupa menyelisik buah-buah keunggulannya. Interaksi kita hanya berjalan ala kadarnya. Bahkan terkadang mengalir lembut tanpa gejolak jiwa, seakan ruang sungai yang dimilikinya teramat panjang. Lalu tiba-tiba kita terhenti kaget, bahwa perpisahan harus terjadi segera tanpa duga. Sedangkan kita baru tersadar, bahwa ada buah-buah keunggulan pada kenalan, rekan maupun pasangan yang luput dari perhatian sehingga tak sempat dipetik. Maka hanya sanubari yang tiba-tiba membasah, atau mata yang seketika membanjir. Alangkah bodohnya diri yang luput dari perhatian pada keunggulan itu. Teramat sayang kita lepaskan keunggulan kenalan, rekan ataupun pasangan itu tanpa pernah mengecapnya, mengunduhnya, bahkan mengadopsinya.

4) Merasa Tak Bantu Temukan Keunggulannya
Mungkin pernah bagi kita, mendapati kenalan, rekan ataupun pasangan yang jauh dari harapan kita. Memandangnya dengan segala kekurangan. Mendapatinya tak lihai memusar di kelebihannya. Dan kita, hanya merutuki sepanjang jalan pertemuan serta interaksi itu. Hingga, tiba-tiba kita tersesakkan kenyataan bahwa kenalan, rekan atau pasangan itu harus pergi dari kita. Namun bukan bahagia, karena seketika ada rasa salah kenapa kita tak membantu pertemukannya pada pucuk kelebihannya. Menangis atau basahnya sanubari karena kita tak mampu menjadi pelengkap dan penggenap jiwa sang kenalan, rekan maupun pasangan itu.

5) Merasa Salah dalam Memulai
Mungkin pernah bagi kita, yang bertemu ataupun berinteraksi hanya sekadar lalu. Sebab tanpa niatan untuk berjalan lebih panjang. Hanya sekadar memenuhi kebutuhan dari sepotong episode kehidupan. Namun saat tiba perpisahan, yang ada adalah rasa perih di jiwa dan pedas di mata. Karena baru tampak kenyataan, kita telah salah dalam memulai pertemuan atau interaksi itu. Salah memulai yang menjadikan pertemuan serta interaksi singkat itu tak manfaat, bahkan tanpa melahirkan kebaikan.

6) Merasa Salah dalam Mengakhiri
Juga mungkin pernah bagi kita, yang bertemu ataupun berinteraksi hanya sekadar lalu. Sebab tanpa niatan untuk berjalan lebih panjang. Hanya sekadar memenuhi kebutuhan dari sepotong episode kehidupan. Namun saat tiba perpisahan, yang ada adalah rasa perih di jiwa dan pedas di mata. Karena baru tampak kenyataan, kita telah salah dalam mengakhiri pertemuan atau interaksi itu. Salah mengakhiri yang menjadikan pertemuan serta interaksi singkat itu tanpa kesan, bahkan tanpa harapan kelanjutan.

Mungkin enam itu. Mungkin ada lebih lainnya yang bisa Anda tambahkan. Namun, setidaknya dua yang pertama itu adalah ketika kita bertemu dan berinteraksi dengan mengemban misi karya, dua yang ditengah saat kita bertemu dan berinteraksi karena keserasian jiwa, dan dua terakhir kala pertemuan dan interaksi kita itu sekadar wujud dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dari setiap potongan-potongan kehidupan kita.

Akhirnya, kita mesti sadarkan diri, bahwa tangisan sebagai wujud penghambaan dan melahirkan produktivitas amal dalam setiap gerak interaksi kehidupan, merupakan tangisan yang diteladankan. Asal tidak berlebihan, dan terjaga dengan motivasi yang positif. Yaitu tangis yang menetes lembut di mata tanpa tumpah ruah, dan menggelegar di lubuk hati untuk menyuburkan tekad kebaikan yang terus bertumbuh.

Tangisan itu selalu tertaut dengan kuasa Allah subhanahu wata'ala. Ada rasa takut dan khawatir bila telah melewati kesempatan pertemuan atau interaksi antar hamba-Nya dengan sia-sia serta tanpa arti. Bila riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan tentang sabda dua mata yang tidak akan terkena api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang semalaman terjaga fii sabilillah, maka mungkin kita bisa buat turunannya pada setiap keterjagaan kita pada peluang-peluang kebaikan yang dapat diperoleh dan kesadaran kita pada peluang-peluang kebaikan yang tak maksimal direngkuh bahkan kadang terlepas.

Menangislah! Tangisan jiwa di ujung tapak itu, menggairahkan tekad di episode baru kita. Jika lihai mengelaborasinya, maka ada dahsyat di setelahnya. Itulah produktivitas dan pengorbanan yang tak berkesudahan.[]

Tidak ada komentar: