Jumat, 12 Juni 2015

Surat untukmu Guru Peradaban


Teruntuk kekasihku, teladanku, dan inspiratorku,
Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Baginda Besar yang terkasih,
Sebelum aku sampaikan untaian demi untaian kalimat dalam surat ini, tak elok kiranya bila aku tiada mengawalinya dengan bershalawat kepadamu. Shalawat yang Allah serukan kepadamu. Shalawat yang juga terlantun oleh para Malaikat-Nya. Shalawat yang dengannya engkau akui kami sebagai orang-orang yang tidak bakhil. Ah, pengibaratanmu tentang sosok yang bakhil itu begitu indah. Dalam, tajam, dan penuh makna. Bagaimana tidak bakhil, jika untuk kerahmatan kami sendiri di padang Hisab nanti, kami tak jua mau bershalawat kepadamu.

Baginda Besar Nabi Muhammad saw.,
Alhamdulillah aku termasuk salah satu pengikutmu. Aku termasuk salah satu manusia yang mempersaksikan seruan tauhidmu, dan jua mempersaksikan ke-Rasul-anmu.
Mungkin memang tidak terlalu rumit bagiku, karena keluargaku telah mempersaksikannya terlebih dahulu. Di sepanjang jalur nasabku itu sudah begitu banyak yang mempersaksikannya. Maka tak sulit bagiku untuk turut serta mempersaksikannya.
Itu kemudahan di awal langkah persaksianku, wahai Rasul. Namun seperti juga apa yang telah engkau firasati dahulu, bahwa zaman ini akan terus berkembang dengan ragam tantangannya bagi hamba-hamba beriman, seperti itu jua apa yang kurasakan saat ini. Bahkan terlalu banyak ranjau keimanan yang tiba-tiba meletup di lahan-lahan keberislaman kami.

Wahai Rasulullah teladan hidup kami,
Aku akhir-akhir ini begitu sedih, melihat banyaknya orang-orang yang dengan pongahnya mengaku sebagai Nabi. Atau mereka mungkin tidak mengaku-ngaku sebagai Rasul, tetapi mereka dengan keangkuhannya sama sekali (atau mungkin pura-pura) tidak mengakui engkau sebagai Rasul-Nya terakhir menggenapi Nabi dan Rasul sebelumnya.
Tak terbayangkan olehku bagaimana sedihnya dirimu, wahai Rasulullah. Engkau yang begitu mencintai seluruh umat manusia. Engkau yang begitu banyak berkorban demi berimannya seluruh anak manusia kepada fitrah keyakinannya. Engkau yang selalu mendambakan segenap anak manusia di pelataran dunia ini agar kelak masuk dengan rupa yang bersinar bersih menuju kamar-kamar surgawi.
Ah, aku tak habis pikir bagaimana mereka bisa-bisanya mengaku sebagai Nabi. Padahal telah jelas firman Allah yang menyatakan bahwa tak ada nabi setelahmu. Oya, aku lupa, pernyataan firman Allah itu jelas tak mengusik pikir mereka, karena mereka memang tak mengimaninya. Walaupun sedikit-dikitnya mungkin mengusik hati mereka.

Wahai teladan kami,
Bagaimanapun aku beserta hamba bertakwa lainnya tetap berusaha untuk menyadarkan mereka. Karena aku sadar betul dengan shahihnya keyakinan ini. Bahkan tentang pernak-pernik dalam perjalanan hidupmu, itupun aku yakini kevalidannya. Sebab sejarah hidupmu, terus terwariskan melalui jalur pewarisan yang teramat rumit. Yang dengannya tetap bisa dijamin kebenarannya. Meskipun kemudian dimunculkan aneka subhat keragu-raguan, namun alur pewarisan yang tak mudah itu akan dapat dengan mudah membantahnya.
Itu yang sebenarnya membuat aku takjub. Valid sekali sejarah hidupmu. Bahkan tak sekadar valid, namun juga lengkap sejak sebelum kenabianmu hingga engkau kembali ke haribaan-Nya. Bahkan lagi, alur penceritaan sejarahmu setelah kenabian itu, tercatat begitu rincinya waktu demi waktu.
Terkadang aku heran juga, bagaimana bisa kevalidan itu terjaga hingga ratusan tahun lamanya. Tapi mungkin itu sudah garis ketetapan Allah. Sebagaimana ketetapan penjagaan validitas Al Qur’an. Oya, aku hampir lupa, dua warisan itu memang pusaka yang terjaga dengan baik. Itulah dua warisan; Al Qur’an dan As Sunnah. Akan kami jaga warisan itu, wahai Guru Peradaban.

Wahai Rasulullah, inspirator kami..
Maafkan aku, yang hingga kini belum tuntas meneladanimu. Sebenarnya, aku teramat sadar bahwa proses meneladanimu tak akan jua tuntas. Karena begitu agungnya pribadimu, karena begitu luasnya sketsa keteladanan yang telah engkau lukiskan di kanvas kehidupan ini.
Sebab, engkau telah memerankan dengan baik segala macam peran kehidupan ini. Pengakuan ini telah menjadi jamaknya pengakuan umum. Bahkan mereka yang tidak mengimanimu pun telah mengakui kecakapanmu dalam menjalani kehidupan ini. Begitu efektif, demikian kami simpulkan.
Bagaimana tidak, jika dalam kurun usia yang hanya 63 tahun, engkau telah sukses memerankan segala hal permainan hidup. Bukankah engkau saudagar cilik yang merintis usaha bersama sang paman. Bukankah dari situ engkau mengenal banyak diplomasi, yang kemudian menjadikanmu diplomat ulung. Bukankah engkau yang dengan penuh jiwa kesatria melamar wanita yang bahkan usianya jauh lebih tua darimu, lalu menjadi suami yang menakjubkan hati para wanita, lalu menjadi ayah yang penuh kewibawaan dan kebersahajaan.
Soal efektivitas karya yang engkau torehkan, mungkin mudah saja menggambarkannya. Setelah masa-masa dakwahmu harus berbenturan dengan kekuatan kafir, engkau melakukan perlawanan-perlawanan fisik-bersenjata yang teramat banyak. Bahkan jeda dari satu perlawanan ke perlawanan lainnya tak lebih dari 1,7 bulan. Teramat sebentar sekali itu. Sebentar untuk istirahat, sebentar untuk persiapan, dan sebentar untuk merancang masa depan. Namun ternyata jeda yang teramat sebentar itu tidak berpengaruh bagi karya-karya besarmu. Engkau tetap mampu merintis kepemimpinan yang agung di setiap jeda itu. Engkau mampu menata administrasi kemasyarakatan di setiap jeda itu. Engkau mampu membangun peradaban ilmu dan keimanan di masjidmu, yang kau rangkai di setiap jeda itu. Bahkan urusan semacam olahraga dan seni-hiburan, engkau juga tetap semaikan dalam lingkungan keluargamu dan masyarakatmu.
Saat itu memang engkau dikagumi oleh masyarakat muslim para pengikutmu, juga masyarakat non muslim semacam Yahudi dan Nashrani yang juga berada di sekitarmu. Dan aku yakin, kekaguman itu akan terus terjaga di hati seluruh umat manusia hingga akhir zaman kelak. Setidaknya ia ada tersemai di hati sanubari mereka, meskipun mereka tak pernah mengungkapkannya karena keangkuhan jiwa manusia.
Itulah yang membedakan cita rasa sejarah hidupmu saat kami menyimaknya. Ada keteladanan yang integral di semua sisi peran kehidupan. Keteladanan semacam ini tidak ada di kisah lainnya. Keteladanan yang berbasiskan pada kuasa ke-Maha Besar-an Allah, namun tumbuh dalam realitas kehidupan manusiawi. Maka, dengan kekhasan semacam itu tak terlalu sulit bagiku untuk meneladani.

Wahai junjungan seluruh alam,
Sebenarnya apa yang aku tuangkan dalam surat ini masih hanya sisi-sisi pinggiran dari bentangan keagunganmu yang aku rasakan. Tapi risalah ini memang tak akan mampu memuat seluruh keangunganmu. Bahkan benakku pun tak mampu menyerap seluruh keangunganmu.
Aku hanya berharap, dengan mengungkap sedikit dari keagunganmu ini, akan semakin subur kecintaanku kepadamu. Tiada lain harapannya agar engkau berkenan mencurahkan syafaatmu di akhirat kelak.
Aku akan terus berusaha meneladanimu. Aku juga akan terus gigih membelamu dari tikaman para pembenci risalahmu. Semoga engkau bisa menerima kecintaanku ini. Semoga dengan membelamu, itu menjadi bukti bahwa aku mencintaimu. Cinta yang melahirkan kecemburuan bila kekasihnya dihinakan.
Mungkin ini dahulu yang bisa kutuliskan. Yang pastinya, Tuhanmu sangat mengetahui kecintaan yang tersemai di hatiku. Semoga Allah mudahkan kepadaku, untuk terus meniti jalanmu. Dan kuharap, engkau berkenan memberikan syafaat di akhirat kelak.

Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

                                                                                    Islamabad, 20 Februari 2011

                                                                                    Salam takzim,
                                                                                    Dari salah satu umatmu yang papa
                                                                                    IRFAN AZIZI

Tidak ada komentar: